Tukang Cilok

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

DALAM pengajian setelah Idulfitri di Pesantren Musyahadah Cibabat, CImahi, Jawa Barat, kiai sepuh, Kang Encep Toha Saefudin, menyentil dampak Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bagi masyarakat. Menurut sang kiai, kini hidup tak lagi tunduk pada aturan preferensi kewilayahan. Dalam banyak hal, kompetisi menjadi kata kunci. Masyarakat kita memiliki kebebasan untuk bekerja di negara lain, sama seperti pekerja asing yang bisa masuk dan merebut peluang kerja di tanah air. Karena itu, demikian menurut sang kiai, “bisa jadi sepuluh tahun mendatang tukang cilok yang jualan di Cimindi berasal dari negara lain”.

Mendengar tukang cilok disebut, saya tersentak. Bukan karena popularitas makanan yang terbuat dari aci dicolok (ditusuk) ini yang membuat saraf dalam otak saya berdenyut, tetapi karena banyak penduduk dari kampung berduyun-duyun pergi ke kota selepas Lebaran antara lain untuk menjadi pedagang cilok. Seperti dilaporkan wartawan Pikiran Rakyat beberapa hari pascalibur Idulfitri, banyak petani meninggalkan sawah dan ladang di kampung untuk berebut lapangan kerja di kota pada sektor-sektor informal, termasuk menjadi pedagang cilok tadi.

Adalah hal biasa beralih profesi. Jaminan hak untuk memilih pekerjaan yang layak bagi ke

hidupan sama kuatnya dengan berpindah tempat tinggal. Namun, eksodus penduduk usia produktif dari kampung ke kota memunculkan potret ketimpangan dan ancaman yang cukup serius berikut ini. Kesatu, eksodus tenaga kerja dari kantong-kantong pertanian tradisional ke daerah industri utamanya dipicu oleh ketimbangan upah minimum regional (UMR) yang cukup lebar. Angka UMR di Bekasi misalnya, berbeda jauh dengan Kabupaten Tasikmalaya, Garut, bahkan Subang. Besaran UMR yang menggoda menjadi daya tarik bagi buruh tani (atau petani penggarap) untuk meninggalkan profesi lama dan menjadi buruh pabrik, atau berdagang di area pabrik. Jadi, urbanisasi adalah buah dari ketimpangan pembangunan antarwilayah, dan kesenjangan desa-kota.

Kedua, selain terjadi stagnasi upah pada sektor pertanian, juga terjadi desakralisasi “bertani” pada masyarakat petani di kampung. Bertani tidak lagi dimaknai sebagai sebuah profesi yang terhubung dengan tradisi dan kepercayaan, namun hanya dipahami sebagai aktivitas menanam padi. Bertani tidak lebih dari sekedar mata pencaharian. Nilai yang melandasinya semata-mata ekonomis. Karena kalkulasinya ekonomi semata, maka mudah saja petani meninggalkan sawah dan ladangnya, semudah menutup jongko ketika pembeli tidak lagi datang.

Ancaman semacam ini sudah disadari para leluhur. Itulah sebabnya, hampir di setiap daerah terdapat pranata sosial yang menekankan pentingnya budaya bercocok tanam, dan tanggung jawab sosial untuk mewariskannya. Di Indramayu misalnya, kita mengenal tradisi ngarot, yang tujuan utamanya mendidik pemuda-pemudi untuk mencintai tradisi bertani. Tradisi serupa ditemui di daerah-daerah Riau yang mengenal batobo. Praktik sejenis ditemui pada masyarakat Kendari dalam bentuk robok-robok, atau bahuma di Nusa Tenggara Barat.

Sayangnya, praktik-praktik yang menghadirkan rasa dan kebanggaan bertani kian jarang. Pemerintah terjebak pada narasi besar, semacam pembukaan lahan sawah baru atau modernisasi irigasi. Padahal kalau pun sawah baru jadi dibuka, ini hanya akan menjadi lahan investor untuk menanamkan modalnya, bukan pemihakan terhadap kehidupan Mang Midun atau Mas Paijo, yang sudah terampas sawah dan ladangnya.

Janji pembukaan sawah baru, atau modernisasi irigasi, bukan hal yang tidak penting. Namun dalam konteks pemeliharaan tradisi bertani dan membangun ketahanan pangan yang terlembagakan, langkah ini seperti proyek pembibitan kurma di pinggiran pantai Laut Selatan. Projek itu akan berjalan, pohon kurma akan tumbuh, namun hasilnya tidak akan optimal, karena habitat dan kultur yang menopangnya tidak hadir.

Adalah pemandangan langka, bila tak mau disebut tidak ada, pemuda yang mau memikul cangkul ke sawah. Kalau tidak menjadi buruh pabrik, mereka lebih suka memilih menjadi tukang ojek. Padahal, pengguna ojek di kampung terus berkurang seiring kemudahan kredit kepemilikan motor.

Tidak banyak pihak merisaukan terus menyusutnya lahan pertanian, dan terus berkurangnya minat pemuda bekerja di sektor pertanian. Padahal, ini menjadi taruhan nasib. Mengapa, hingga kini budaya makan orang Indonesia tidak berubah. Masih berorientasi nasi. Di Jawa Barat saja, gerakan sehari tanpa nasi ditanggapi dingin. Bagi orang Jawa Barat, meski perut sudah penuh tapi belum ketemu nasi, tetap serasa belum kenyang.

Ini adalah salah kaprah yang biasa, sekaligus mode berpikir “kekinian” yang pragmentaris. Parahnya, cara berpikir seperti ini menjadi tren, karena dihubungkan dengan kemajuan. Sebagai contoh, berapa banyak aplikasi belanja yang ada pada telefon seluler Anda, namun apakah Anda menambah cara-cara mendapatkan uang? Jaringan seluler menawarkan kemudahan cara berbelanja dan menghabiskan uang, namun tidak banyak orang mendulang sukses berkat pemanfaatan fitur-fitur dalam telefon seluler.

Acara di televisi pun tak luput dari logika dangkal seperti ini. Betapa banyak acara kuliner, namun hanya menyuguhkan beragam olahan berbasis daging, ikan, tepung, beras. Sayangnya, hampir tidak pernah ada acara kuliner yang mengandalkan bahan alami nonberas, atau olahan tanpa daging. Dalam logika sederhana, memasak daging tak perlu usaha rumit, sebab hanya menabur garam dan membakarnya saja pasti menghasilkan daging matang yang empuk dan enak.

Tantangan bagi chef inovatif sebenarnya adalah bagaimana mengolah singkong, ubi, kacang, atau dedaunan yang semula hanya “dilalap”, menjadi sajian dengan rasa dan tampilan yang berbeda. Tantangan semacam ini bukan proyek inovasi belaka, tetapi usaha mengurangi ketergantungan terhadap beras (yang sudah mulai diimpor), atau daging sapi (yang didatangkan dari Australia). Dua hal yang disebut terakhir, terbukti menjadi kebutuhan pokok yang amat penting, namun kita abai untuk menjamin pasokannya dari dalam negeri.

Fenomena petani jadi tukang cilok bukan pilihan pekerjaan semata, namun tak ubahnya tindakan menyirami pohon sambil memotong akar tunggangnya. Mengurangi pasokan padi dari petani padahal ketergantungan terhadapnya tidak berkurang, tak beda dengan pengeroposan tulang, tidak mematikan dalam sekejap, namun mengancam tegaknya badan penopang jiwa.***

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/07/26/tukang-cilok-375738