Iket Pak Oto

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

DALAM sebuah perbincangan, sehari setelah Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle kedua kabinetnya, Kang Tjetje Hidayat Padmadinata (seorang pelaku dan saksi hidup dinamika politik nasional) menyitir komentar Pak Oto Iskandar Di Nata ketika kepadanya datang seseorang menggunakan “iket” (ikat kepala khas orang Sunda). Kata Pak Oto, “Pek we maneh make iket, da nu leuwih penting mah naon nu aya di jero hulu” (Silahkan saja Anda pake ikat kepala, namun yang lebih penting adalah apa yang ada di dalam kepala).

Komentar Pak Oto tentang “iket” amat menarik karena dua alasan berikut. Kesatu, kepala bisa dipasangi aksesori apa pun, namun apa pun yang melekat di atasnya belum tentu membentuk isi kepala. Artinya, orang bisa menggunakan kopiah, topi, membalutkan syal di kepala, atau apa pun, namun itu semua belum tentu membentuk pemikirannya.

Memang pilihan aksesori/properti mencerminkan preferensi seseorang, baik estetis bahkan mungkin etis. Pemakaian kopiah akan menghadirkan suasana yang berbeda ketika seseorang membalut kepalanya dengan syal. Pilihan seseorang atas sebuah properti bukan tanpa alasan, dan sangat boleh jadi sangat dikendalikan oleh tujuan tertentu (teleologis).

Pilihan seseorang atas sebuah properti tidak bebas nilai, namun terlalu ceroboh bila kita menyimpulkan sistem nilai yang dianut seseorang hanya dari properti yang digunakannya. Artinya, pemakaian “iket” bisa jadi merepresentasikan kesundaan pada pemakainya, namun perjuangan menghadirkan nilai-nilai kesundaan tidak berakhir hanya karena seseorang sudah memakai “iket”.

Kedua, terlalu menyederhanakan persoalan bila kita membaca kadar kesadaran seseorang dari “simbol” yang digunakannya. Layaknya “iket” bagi orang Sunda, sorban dinisbatkan sebagai aksesori khas pak haji. Saking kuatnya penyimbolan seperti ini sampai tercipta syair lagu “Akang haji, sorban palid”. Namun terlalu menyederhanakan persoalan bila kita mencap seseorang sebagai tidak soleh hanya karena tidak pernah menggunakan sorban, kopiah, atau jubah yang biasa dikenakan orang Arab.

Terlepas dari fungsi autentiknya sebagai elemen estetis dalam hidup, makna “iket”, sorban, bahkan kopiah amat cair. Alih-alih tersusun dalam kamus budaya baku, makna atas aksesori tadi diberikan oleh pemakainya berdasarkan rujukan yang ia dapatkan dalam hidupnya. Itulah sebabnya, bagi Karnadi bandar bangkong, kopiah bukan saja penanda kesalehannya, namun lebih berfungsi untuk menyelipkan uang agar tidak ketahuan istrinya.

Apa yang dikatakan Pak Oto mengoreksi pemikiran yang menghubungkan secara langsung makna lambang dengan hal yang melambangkan. Meskipun terdapat beberapa lambang yang maknanya sudah diberi tafsir dalam hukum positif (seperti lambang-lambang negara), terdapat lebih banyak lambang yang maknanya dilekatkan oleh para penggunanya.

Kemerdekaan seseorang menafsirkan lambang telah memungkinkan makna-makna lambang ditafsir ulang. Reinterpretasi makna lambang bisa jadi menghadirkan makna yang benar-benar baru meski hal yang melambangkannya tidak berubah.

Di dalam buku-buku ilmu politik, partai politik digunakan sebagai lambang persekutuan ideologis. Orang bergabung dalam sebuah partai didasari oleh preferensi nilai-nilai politiknya, khususnya tentang masyarakat yang dicita-citakannya. Karena itu, ketika seseorang bergabung dengan partai A, dapat dibaca sebagai persetujuannya atas nilai-nilai politik yang diperjuangkan partai tersebut. Jadi, pilihan partai adalah soal keyakinan politik.

Kenyataannya para politisi telah memberi tafsir ulang atas makna partai politik tadi. Kini, elemen ideologis kian samar dari bangunan partai politik. Alih-alih dilandasi keyakinan tentang nilai dasar tentang keadaan masyarakat yang dicita-citakan, kebanyakan politisi bergabung dengan sebuah partai lebih didorong “libido” politiknya. Boleh jadi satu-satunya ideologi yang menghidupkan partai politik adalah kepentingan politisi itu sendiri. Politisi bisa keluar masuk partai, bergantung kepada hasrat personal dan kepentingan politiknya.

Maka tak heran, bila ia bergabung dengan partai A untuk maju dalam sebuah pemilukada, namun pada pemilukada berikutnya ia maju dari partai lain. Keluar masuk parpol seperti ini mudah saja dilakukan, seperti mudahnya seseorang berganti moda transportasi selagi tujuan perjalanannya belum tercapai.

Apa yang dikatakan Pak Oto tentang “iket” menemukan relevansinya. Andai saja Pak Oto masih hidup dan bertemu dengan orang yang menggunakan ikat kepala berlogo partai, mungkin “Si Jalak Harupat” berujar, “silakan saja Anda menggunakan ikat kepala berlogo parpol, namun yang lebih penting adalah isi kepala Anda”.***

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/08/08/iket-pak-oto-376952

iket pak oto