Kewajiban yang Ditawar

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

GUBERNUR DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama alias Ahok menggugat ketentuan Pasal 70 ayat (3) ke Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut mengharuskan kepala daerah yang akan mencalonkan kembali di daerah yang sama, selama masa kampanye, menjalani cuti di luar tanggungan negara. Sebagaimana dilansir berbagai media, Ahok merasa keberatan atas aturan tersebut karena cuti kampanye Pilkada DKI Jakarta, 26 Oktober 2016 sampai 11 Februari 2017 bertepatan dengan masa penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah DKI 2017. Keharusan menjalani cuti bagi petahana saat kampanye menarik dikaji karena terkait dua hal berikut.

Kesatu, apa yang digugat Ahok adalah ketentuan yang sudah sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir ketentuan sebelumnya yang mengharuskan calon petahana mundur enam bulan sebelum pencalonan. Ketentuan ini digugat Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, dan Mahkamah Konstitusi mengganti keharusan mundur menjadi cuti.

Keputusan yang diambil Mahkamah Konstitusi amat mudah diterima akal sehat karena dengan keharusan mundur berarti masa jabatan kepala daerah yang berniat maju kembali dalam pencalonan berikutnya terancam kurang enam bulan. Dengan cuti, masa jabatan kepala daerah tidak terkurangi, namun kedudukannya sebagai calon sama dengan calon lain. Jadi, cuti saat kampanye lebih menjamin adanya kesamaan di dalam kesempatan bagi semua calon.

Kedua, banyak pihak menafsirkan kata “harus” pada Pasal 70 ayat (3) sebagai sebuah “kewajiban” untuk menjalani cuti. Adalah hak Ahok untuk menyatakan keberatan dan menggugat ketentuan tersebut. Ketentuan cuti bagi petahana lebih dari sekadar mencegah calon memanfaatkan posisi dan kekuasaannya untuk kepentingan pilkada tetapi juga menyangkut etika dan moralitas dasar pemerintahan demokratis.

Kontestasi dalam masyarakat demokratis sangat menjunjung asas kesamaan di dalam kesempatan. Karena itu, munculnya ketentuan yang menyebabkan diskriminasi antarcalon harus dicegah. Diskriminasi dimaksud bukan hanya ras, agama, atau etnis, tetapi juga diskriminasi akses terhadap kekuasaan dan sumber daya. Jadi, sejurus dengan mencegah terjadinya diskriminasi karena agama, ras, atau etnis, pembedaan perlakuan antarcalon karena perbedaan akses terhadap kekuasaan dan sumber daya harus dihindari.

Di luar konteks kampanye, ide dasar pemerintahan demokratis adalah adanya pembatasan kekuasaan. Itulah sebabnya, di dalam semua konstitusi pasti terkandung pasal-pasal yang mengatur pembatasan kekuasaan dan jaminan pelaksanaan hak warga. Distingsi semacam ini menegaskan spirit mencegah eksploitasi warga di satu sisi dan menghindari penyalahgunaan wewenang pemimpin di sisi lain.

Akumulasi kekuasaan di tangan pemimpin dan kemenonjolan peran yang mungkin dijalankannya menjadi modal untuk membangun masyarakatya sekaligus sumber godaan penyimpangan kekuasaan. Itulah sebabnya, pembatasan kekuasaan di satu sisi dan jaminan hak-hak warga menurut konstitusi menjadi ide dasar bangunan pemerintahan demokratis.

Demokrasi memberi ruang kepada semua orang untuk mengeskpresikan, bahkan “menjayakan” ambisi dan kepentingan. Namun demokrasi pun menuntut semua orang untuk berkompromi, mengendalikan diri, bahkan tahu diri. Benar bahwa akan selalu ada saluran demokratis bagi penyelesaian setiap perbedaan kepentingan namun mencegah terjadinya benturan kepentingan dinilai lebih bermartabat.

Politik tahu diri demi mencegah benturan kepentingan adalah investasi penting bagi pemuliaan nilai-nilai demokrasi. Hal ini terkait tugas pemimpin yang bukan hanya harus mewujudkan perubahan tetapi juga mempromosikan nilai-nilai kebajikan yang dijunjung tinggi masyarakatnya. Itulah sebabnya, seleksi pemimpin tidak selalu menjadi perkara mudah. Selain mencari sosok yang menjadi bagian dari komunitas (inner-group), seorang pemimpin dipilih karena paling merepresentasikan karakter yang dinisbatkan sebagai ciri khas komunitas, dan sosok yang paling sanggup mewujudkan misi komunitas (baca: warganya).

Terlepas dari apa yang melatari sikap Ahok yang keberataan atas keharusan cuti saat kampanye, mencegah terjadinya penyimpangan dan keburukan harus lebih didahulukan ketimbang mengejar kebaikan yang masih hipotetik. Paling tidak, keharusan cuti akan memaksa petahana tidak menggelar rapat dengan jajaran pemerintah daerah, menanggalkan seragamnya, memarkir kendaraan dinas beserta pengawalnya, serta berbicara layaknya calon lain dalam meraih simpati pemilih.

Dilihat dari perspektif sebagaimana diuraikan di atas, menganulir “kewajiban” petahana untuk menjalani cuti selama kampanye hingga menimbulkan diskrimasi bagi calon lain adalah penodaan demokrasi. Inilah kaidah yang harus disadari semua pihak agar pilkada tidak mereproduksi kemunduran yang disalahpahami sebagai kemajuan.***

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/08/29/kewajiban-yang-ditawar-378672

pak karim 5