Prof. Juntika: Akhlak Merupakan Jantung Peradaban

JunBandung, UPI

Setiap pendidik di era global yang penuh paradoks ini dituntut menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan bidang yang diajarkannya. Namun akhlak mulia pendidik lebih utama dan penting untuk diperhatikan. Akhlak pendidik diteladani dan ditiru peserta didik, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Imam Al-Ghazali sangat menganjurkan agar pendidik mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadiannya sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan pada peserta didiknya. Antara seorang pendidik dengan peserta didik, oleh Al-Ghazali diibaratkan bagai tongkat dengan bayang-bayangnya. Bagaimanakah bayang-bayang akan lurus, apabila tongkatnya saja bengkok?” kata Prof.Dr. Juntika Nurihsan, M.Pd. saat menyampaikan pidato Majelis Wali Amanat Universitas Pendidikan Indonesia (MWA UPI) pada Wisuda Gelombang II yang berlangsung 24-25 Agustus 2016 di Gedung Ahmad Sanusi, Kampus UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung.

Menurut Prof. Juntika, akhlak pendidik ini memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun peradaban bangsa. Peradaban merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan kemajuan moral, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni suatu bangsa.  Pendidik yang berakhlak mulia yang ditunjukkan dengan penuh kesabaran, penuh kasih sayang, sopan, tidak takabur, bersahabat, menyantuni, membimbing, kerja keras, berani dan adil akan menjadi inspirasi bagi peserta didik dan masyarakat di sekitarnya untuk menampilkan pribadinya yang beradab.

Ini sejalan dengan tujuan dan fungsi  pendidikan nasional, kata Prof Juntika. Yakni, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional, katanya, berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.01

Dikemukakan, akhlak adalah jantungnya peradaban. Peradaban dan akhlak ibarat jasad dan ruh. Bila ruh sirna, maka sirna pula jasad yang fana itu. Selama akhlak suatu kaum masih bertahan, maka kaum itu akan bertahan. Sebaliknya bila akhlak kaum itu sirna, maka lenyap pula eksistensi peradaban kaum itu. Kehancuran peradaban akibat degradasi akhlak ditegaskan dalam firman Allah. Peradaban umat Nabi Nuh hancur akibat kekufuran mereka terhadap risalah tauhid yang disampaikan Nabi Nuh selama 950 tahun. Mereka dilanda banjir bandang (Q.S. Al-Ankabut: 14).

“Dalam sejarah peradaban manusia, moralitas, akhlak, dan budi pekerti selalu beriringan dengan jatuh bangun sebuah kaum. Ambisi pribadi, kemaksiatan, korupsi, dan pengkhianatan adalah bentuk pencemaran akhlak yang berimplikasi langsung terhadap hancurnya peradaban. Peradaban Mesir Kuno yang paling awal dihuni manusia 40.000 tahun yang lalu hancur karena terjadi peperangan perebutan kekuasaan,” ujar Prof. Juntika.

Sementara itu di Tiongkok juga berdiri peradaban kuno pada tahun 2100 SM dan runtuh pada abad ke-19 karena mengalami beragam konflik dan intrik, perebutan kekuasaan, pemberontakan kepada kaisar yang lalim, dan perjanjian yang tidak adil. Peradaban Yunani Kuno yang terdiri atas tiga bangsa, yaitu Doria, Aiolia, dan Ionia, pada tahun 1100 SM hancur akibat saling menjatuhkan dan ambisi kekuasaan. Bangsa Romawi berjaya dari tahun 27 SM sampai tahun 476 M.

“Sayangnya, di balik kemegahan peradaban Romawi, banyak hal yang menggerogoti kejayaan dari dalam. Faktor internal membuat mereka berakhir dengan tragis. Kejayaan yang selama ini dibanggakan runtuh seketika. Kebusukan ini menyebabkan mereka lemah dan rapuh. Harta kekayaan yang dimiliki kaisar, membuat kerajaan selalu berfoya-foya. Pemerintahan Romawi diisi oleh orang yang tidak jelas kerjanya dan korup,” ujar Prof. Juntika.

Demikian pula selama lebih dari satu dekade, Islam pernah berjaya, kata dia selanjutnya. Dinasti Abbasiyah eksis dari tahun 750-1258 M. Puncak keemasan Islam ada pada masa tersebut. Moralitas elite dan sejumlah khalifah yang terlalu cinta dunia awal kehancuran peradaban Islam. “Belajar dari sejarah bangsa-bangsa yang hancur peradabannya akibat dari hancur akhlak bangsanya, mari kita bangun peradaban bangsa Indonesia melalui pendidikan dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang tangguh, yang mampu mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi nilai agama (khlak).”

Mengapa pendidikan perlu dilandasi dengan nilai agama? Whitehead (1947), kata Prof. Juntika, menjelaskan: “ The esence of education is that it should be religious”. Pendidikan harus menanamkan nilai keimanan dan idealisme pada peserta didik. Iqbal berpendapat bahwa pendidikan yang netral agama merupakan pendidikan yang buruk dan sesat. Fakta menunjukkan bahwa pandangan keagamaanlah yang mampu memperkuat kualitas akhlak yang dibutuhkan bagi keberlangsungan pembangunan dan realisasi visi keadilan, persaudaraan, dan kesejahteraan umat manusia seluruhnya.

“Kesejahteraan tidak mungkin dapat terwujud apabila masing-masing individu hanya mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki niat untuk berkorban bagi kesejahteraan umat manusia. Ath-Thahtawi menyebutkan pondasi dasar bagi  berdirinya sebuah peradaban yang kokoh yakni pendidikan moral dengan etika keagamaan dan keutamaan kemanusiaan. Agama akan memalingkan jiwa dari hawa nafsunya dan melembutkan hati atas keinginannya. Agama adalah foundasi terkuat bagi kebaikan dan keberdirian dunia. Agama adalah tali kekang bagi manusia. Agama adalah sendi keadilan dan kebaikan,” kata Prof. Juntika. (WAS)