Orang Saleh Harus Banjiri Ruang Publik dengan Publikasi Kebaikan

01
Bandung, UPI

Jurnalisme Islam dalam keadaan mati suri. Penyebabnya, karena orang saleh tidak terbiasa menginformasikan kegiatan dan pemikirannya. Ruang publikasi diambil alih para petualang dan orang yang tidak beriman. Akibatnya, informasi sarat dengan bully, fitnah, bahkan banyak informasi yang mengabaikan norma dan susila.

“Akibat kecanggihan informasi, kita tidak bisa menghentikan arus informasi yang sedemikian deras dan cepat. Yang mungkin bisa kita lakukan adalah, orang baik harus ikut mengisi ruang publik dengan publikasi yang mendorong kebaikan,” kata Dr. H. Wakhudin, M.Pd. dalam diskusi “Jurnalistik Islam” di Aula Masjid Al-Furqan, Kampus UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Kamis (15/9/2016).

Seminar yang dibuka Koordinator Pelatihan Jurnalistik Islam Dewan Kemakmuran Masjid Al-Furqan (Direktur Akademik Universitas Pendidikan Indonesia) Dr. Dadang Anshori, M.Si. juga menghadirkan mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Assalam Dr. Aceng Ruhendi Saifullah, M.Hum. Diskusi yang dipimpin Dr. Mumu Komaro, M.T., dosen Teknik Mesin, Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan UPI dihadiri sekitar 250 peserta.02

Menurut Wakhudin, fenomena jurnalistik Islam saat ini seperti yang digambarkan Rasulullah saw. dalam hadis Riwayat Abu Dawud yang menggambarkan, sekarang adalah waktu di mana umat Islam diperebutkan pemangsa yang memperebutkan makanan laksana bancakan. Umat Islam tidak sedikit jumlahnya, tapi kualitas mereka seperti buih di lautan, terombang ambing ke sana kemari. Maka, Allah mencabut rasa gentar di hati musuh Islam dan menanamkan penyakit wahn di hati umat Islam, yaitu penyakit terlalu cinta kepada dunia dan takut mati.

Maka dalam jurnalistik, media asing dapat menentukan agenda setting berita di Indonesia, kata Wakhudin yang mengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetaguan Sosial UPI ini.  Mereka menginformasikan keburukan umat beragama dan memperindah informasi tentang mereka. Yang paling menyedihkan, mereka membuat stigma bahwa teroris adalah Islam, dan Islam adalah teroris. Karena rumus media mengatakan, “Salah yang diulang seribu kali menjadi kebenaran,” maka seolah-olah stigma seperti itu benar.

“Membangkitkan kembali jurnalisme Islam tidak harus menjadikan kita bersifat reaktif. Kita harus proaktif dan terus mengambil inisiatif. Karena tidak bisa dibendung, silakan sejuta keburukan dipublikasikan, tapi orang yang beriman harus memublikasikan 10 juta kebaikan. Berita baik harus berebut ruang publik dengan berita buruk, dengan volume yang besar, niscaya kebaikan akan memenangi pertempuran informasi dengan keburukan,” kata Wakhudin.03

Sementara itu Dr. Aceng Ruhendi Saifullah, M.Hum. dalam kesempatan itu mengemukakan, agar umat Islam memenangi pertempuran berjurnalistik, maka umat yang beriman harus memperhatikan profesionalisme di samping juga persoalan ideologi. Meskipun meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar, namun penyampaiannya di media harus dilakukan sesuai dengan kaidah jurnalistik.

“Kita tidak bisa mentang-mentang bahwa Islam adalah agama yang benar, kemudian kita menyampaikannya dengen keluar dari kaidah jurnalistik. Cara yang demikian tidak mudah diterima kalangan masyarakat banyak. Harus sinergis antara kaidah jurnalistik dengan agama yang kita usung,” ujar dosen Bahasa Indonesia pada Fakultan Pendidikan Bahasa dan Sastera UPI ini.

Dikemukakan, bisnis media adalah persoalan kredibilitas. Meskipun yang dikemukakan adalah soal agama dan kebenaran, jika dilakukan tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik yang enak dibaca dan mudah dipahami, maka maksud baik tidak akan sampai. “Sebaliknya, meskipun konten yang dijual persoalan remeh temeh, namun jika dikelola secara profesional, maka akan banyak penggemarnya. Maka, orang yang saleh harus mengelola media secara profesional,” ujar Aceng Ruhendi Saifullah. (WAS)04