Memahami Konstelasi Politik Pilkada DKI Jakarta

a
Oleh MUHAMMAD FAUZAN IRVAN

(Mahasiswa Ilmu Pendidikan Agama Islam UPI Lahir dan Besar di Jakarta)

SEBAGAI anak Jakarta dan Betawi asli, saya sangat aktif mengikuti  perkembangan dan konstelasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 yang akan diselenggarakan 15 Februari 2017. Tentu sebagai putra Jakarta asli harus peduli dan kritis terhadap calon pemimpin Ibu Kota Negara ini. Dewasa ini, semakin dinamis dan pelik perkembangan Politik Jakarta.  Terlebih ketika Partai Keadilan Sejahtera , yang notabene partai tiga besar pemenangan Pemilu Jakarta  mendeklarasikan Dr. Mardani Ali Sera sebagai Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk mendampingi Sandiaga Uno Calon Gubernur Jakarta dari Partai Gerindra yang sudah lama mendeklarasikanya.

Sebelum PKS mendeklarasikan nama calon wakil gubernur, beberapa partai politik yang tergabung dalam Koalisi kekeluargaan (PDIP, PKS, Gerindra, PAN, PPP, PKB dan Demokrat) pun isunya sudah memunculkan nama untuk berduet dengan Sandiaga. PKB mengusulkan Saefullah yang merupakan Sekretaris Daerah DKI Jakarta, PPP Yusril Ihza Mahendra, dll.

Hal demikian yang membuat koalisi kekeluargaan pun cenderung dinamis, bahkan tagline di beberapa media mengatakan, “Koalisi Kekeluargaan Bubar Jalan?” “Rapuhnya Koalisi Kekeluargaan” bahkan ketika PKS mendeklarasikan Cawagub ada media sosial member judul, “Kepentingan Politik Lebih Diutamakan Daripada Kemaslahatan Masyarakat Jakarta.”

Asumsi saya, beberapa permasalahan di atas terjadi karena beberapa partai politik dari Koalisi Kekeluargaan masih belum menerima sepenuhnya Cawagub dari PKS yaitu Dr. Mardani Ali Sera. Dengan alasan tidak ada komunikasi terlebih dahulu dengan partai koalisi. Faktor popularitas dan integritas juga menjadi alasan lainnya.

Di sini saya mulai mengernyitkan dahi dan sedikit miris dengan pemberitaan di atas dan sikap politik dari partai koalisi kekeluargaan kalau asumsi saya benar. Sebab, pencalonan Dr. Mardani Ali mendampingi Sandiaga Uno dalam kontestan Pilgub DKI nanti sudah tepat dan bahkan Ideal. Saya yakin, ini merupakan kekuatan yang mampu mengalahkan petahana Basuki Tjahaja Purnama.

Keyakinan saya ini dukung oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) Faktor Intelektual dan latar belakang pendidikan. Saya sangat terkejut sebenernya ketika membaca latar belakang pendidikan Sandi dan Mardani ini.  Sandiaga Uno Sarjana dari Bachelor of Business Administration dengan predikat summa cum laude dari Wichita State University (1990) dan Masters of Business Administration dari George Washington University(1992), Fantastis! Dan Mardani Sarjana Teknik Mesin Universitas Indonesia dan mengambil gelar Master dan Doktornya di Universitas Tinggi Malaysia dengan jurusan yang sama yaitu Teknik Mesin. Dua akademisi Intelektual yang sangat luar biasa dan layak untuk memimpin Ibu Kota dengan kecerdasannya dengan kondisi masyarakat Jakarta yang sudah modern dan memiliki mayoritas pendidikan menengah ke atas.

(2) Faktor Demografi Pemilih di Jakarta. Berdasarkan data Wikipedia.org, jumlah demografi  penduduk Jakarta didominasi penduduk asal dari suku Jawa dan Betawi, yang berasal dari Jawa berjumlah 35,16% dan Suku Betawi 27,65%. Sandiaga Uno memang memiliki darah keturunan Gorontalo, namun memiliki pendekatan psikologis kepada orang Jawa, dan Dr. Mardani merupakan putra asli Betawi yang lahir dan besar di Galur,Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Secara matematis, kalau jumlah pemilih demografis tersebut memilih sesuai kekuatan suku dan budaya, Sandi-Mardani akan memenangi pilkada DKI.

(3) Faktor Suara Gerindra dan PKS di Jakarta. Gerindra dan PKS merupakan partai tiga besar pemenang pemilu di Jakarta, perolehan suara di pemilihan DPRD DKI pada Pileg 2014 lalu. PDI-P memimpin dengan 27,67 persen suara, setara dengan 694.816 suara. Partai Gerindra menempati peringkat kedua dengan 14,17 persen suara, setara 355.843 suara. Adapun peringkat ketiga ditempati Partai Keadilan Sejahtera dengan 9,34 persen suara, setara 234.467 suara.

Jadi secara logika politik, PKS sah dan tepat memunculkan nama Cawagub DKI karena memiliki kursi yang lebih besar daripada partai koalisi kekeluargaan yang lain. Dan ini juga menjadi kekuatan besar, karena Partai Gerindra dan PKS dikenal dengan partai kader, terlebih PKS yang merupakan partai dakwah memiliki sistem satu komando dalam setiap keputusan. Dan juga memiliki kader yang terkenal disiplin dan militan.

Dengan kekuatan dua partai Gerindra dan PKS menurut UU Pemilu sudah cukup dalam mengajukan calon gubernur dan wakil gubernur, karena Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah berbunyi “Mensyaratkan sekurang-kurangnya partai politik (parpol) atau gabungan parpol memiliki 20 persen kursi atau 25 persen suara sah pemilu 2014, yakni pemilu legislatif DKI Jakarta.”

Sekadar informasi, anggota DPRD DKI Jakarta berjumlah 106 kursi dengan rincian PDIP 28 kursi, Gerindra 15 kursi, PKS 11 kursi, PPP 10 kursi, Demokrat 10 kursi, Hanura 10 kursi, Golkar 9 kursi, PKB 6 kursi, Nasdem 5 kursi, dan PAN 2 kursi. Merujuk aturan tersebut, maka untuk mengusung satu pasang calon harus memiliki minimal 21 kursi dari parpol maupun gabungan parpol. Sedangkan Gerindra dan PKS sudah cukup yaitu 26 kursi. Hanya saja, karena komunikasi politik penting dan harus kolaborasi dengan berbagai kelompok dan partai, Gerindra dan PKS harus mampu bersinergi dengan yang lainnya jika ingin menang.