Bahasa Prancis Diharapkan Mempunyai Pasar Sendiri

img_4998

Bandung, UPI

Negara Prancis identik dengan Paris sebagai kota mode, maka tidak salah bila mode, bahasa, kuliner dan sepak bolanya menjadi tren di kalangan muda Indonesia saat ini. Bila melihat dari sudut bahasa, posisinya memang tidak menguntungkan, karena tersisih oleh bahasa Inggris yang menjadi bahasa wajib dalam interaksi global.

Demikian ungkap Ketua PPPSI (Perhimpunan Pengajar Prancis Seluruh Indonesia) Dr. Joesana Tjahjani Tjhoa, M. Hum., saat ditemui di sela-sela acara Conference Internationale sur Le francais “Le Francais Enjeux Linguistiques, Politiques, Economiques, et Culturels” di Isola Resort, Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Kamis (3/11/2016).

Lebih lanjut dikatakan,”Bahasa Prancis diharapkan mempunyai pasar sendiri, sehingga bisa menaikan passing grade di tingkat perguruan tinggi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Presiden RI Jokowi yang ingin mengembangkan sektor pariwisata Indonesia. Kita berpikir bahwa bahasa Prancis sebagai bahasa pariwisata, juga sebagai bahasa pendidikan.”

Kita belajar bahasa prancis tidak hanya untuk kepentingan industri saja, katanya, tapi ada gagasan-gagasan, pemikiran, ideologi, bahkan filsafat Prancis yang layak untuk dipelajari, tetapi hal tersebut tidak menjadikan kita sebagai orang Prancis. Identitas diri, bangsa dan negara ditentukan oleh bahasa, oleh karena itu keberadaan bahasa sangat penting.

“Secara historis Indonesia dan Prancis memiliki keterkaitan, ada, tapi bukan karena penjajahan. Indonesia dan Prancis memiliki kesamaan ideologi, yaitu budaya yang dibangun berakar pada tradisi leluhur,” jelasnya.

Dalam konteks pengajaran, kita mempunyai “ancaman” dari bahasa asing lainnya, terutama bahasa Inggris. Contoh dalam dunia kerja, bahasa Prancis belum memperlihatkan pada kebutuhan yang mendesak, karena pada beberapa perusahaan Prancis pun, bahasa Inggris menjadi bahasa global. Saat ini, menurut tracer study ada kewajiban untuk bisa bahasa Inggris, tapi dalam kurikulum sudah diijinkan untuk lintas minat, maka dari itu bahasa Prancis harus bisa mengambil kesempatan untuk bisa bersaing dengan bahasa lain selain bahasa Inggris. Adapun bahasa asing lainnya yang menjadi “ancaman” yaitu bahasa Arab, Jepang, Jerman, Korea, dan Mandarin.

Lebih jauh dikatakan,”Adapun strategi dan upaya yang dilakukan oleh kami untuk menaikan passing grade adalah melalui konferensi, seminar, kemudian menjalin kerja sama dengan kedutaan, serta ada peran aktif para pengurus untuk mengubah paradigma di masyarakat bahwa bahasa Prancis adalah bahasa internasional karena bahasa Prancis merupakan bahasa PBB. Perlu diketahui, jika memiliki kemampuan dan pengetahuan bahasa Prancis, maka ini akan menjadi poin plus. Bisa berbahasa Prancis menjadi bonus, disamping kita bisa berbahasa inggris.”

img_4994

Hal tersebut ditegaskan oleh Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI Prof. Dr. H. Didi Suherdi, M.Ed., dikatakannya,”Bahasa merupakan elemen yang sangat vital, bisa menyebabkan perang, tapi juga bisa menciptakan kedamaian, serta mampu menciptakan kesejahteraan bangsa. Saya sangat mengapresiasi terselenggaranya konferensi ini, dan kita jadikan ini sebagai sarana untuk menjadikan siswa lebih cerdas dalam berbahasa.”

Sementara itu, menurut ketua pelaksana konferensi, Dante Darmawangsa, M.Pd bahwa konferansi ini merupakan hasil kerjasama antara Departemen Pendidikan Bahasa Prancis Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia (FPBS UPI) dengan Perhimpunan Pengajar Bahasa Prancis Seluruh Indonesia (PPPSI) dan Institut Français d’Indonésie (IFI).

Konferensi internasional dengan tema “Le français: enjeux linguistiques, politiques, économiques, et culturels” (Bahasa Prancis:  Pertaruhan Linguistik, Politik, Ekonomi dan Budaya ini menghadirkan lima pembicara utama yakni Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum., Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Jacques Pécheur, Mantan Ketua Redaksi Jurnal  “Français dans le monde” / Penulis buku bahan ajar Internasional bahasa Prancis; François Roland-Gosselin, Atase Kerjasama Bahasa Prancis, Kedutaan Besar Prancis untuk Indonesia – Direktur Nasional Pengajaran Institut Français d’Indonésie (IFI); Dr. Philippe Grangé, Departemen Bahasa Asing Terapan dari Université de la Rochelle, Prancis; dan Dr. Joesana Tjahjani Tjhoa, M.Hum., Ketua Perhimpunan Pengajar Bahasa Prancis Seluruh Indonesia/Universitas Indonesia.

Dikatakan Dante Darmawangsa persoalan tentang bahasa Prancis menjadi wacana yang penting untuk diperbincangkan dalam ranah akademis, terutama terkait dengan persoalan kebahasaaan itu sendiri, politik, ekonomi dan budaya. Di luar negara-negara Frankofon, cukup banyak penutur, pelajar, pengajar, lembaga dan orang-orang yang memiliki kepentingan secara khusus dengan bahasa Prancis. Namun nyatanya hal tersebut tidak menjamin bahasa Prancis mendapatkan tempat yang “spesial”,  terutama di negara nonfrankofon. Pertanyaan utama yang diusung dalam konferensi ini adalah bagaimana bahasa Prancis dapat  menguntungkan penggunanya khususnya di negara-negara nonfrankofon? ”

img_5001

Konferensi ini sendiri ditujukan untuk memperoleh informasi dari berbagai perspektif dalam rangka memperkokoh eksistensi dan meningkatkan status dan peran bahasa Prancis terutama di negara-negara nonfrankofon. Sebagaimana kita ketahui bahwa bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa internasional kedua setelah bahasa Inggris yang secara resmi digunakan dalam forum-forum internasional. Ada sekitar 200 juta penutur bahasa Prancis di dunia yang membuat bahasa Prancis menjadi bahasa ke-9 yang paling banyak digunakan di dunia.

Dalam konferensi ini, bahasa Prancis menjadi wacana yang menarik untuk diperbincangkan oleh para pemakalah atau pun narasumber. Setidaknya bahasa Prancis  tidak melulu dapat dilihat melalui  perspektif politis tapi juga melalui perspektif  didaktiknya. Selain itu juga ada beberapa pemakalah yang mengangkat wacana bahasa Prancis dari persepektif komunikasi, budaya hingga perspektif  kesusasteraan yang membuat  pembahasan tema yang diusung dalam konfrensi ini menjadi lebih variatif.

Selain keragaman subtema yang dibahas, partisipasi yang datang dari luar Indonesia seperti dari Prancis, Jepang, Turki, Thailand, Gaza-Palestina, dan Sudan turut mempertegas bahwa persoalan yang diangkat dalam tema merupakan isu  internasional. Ada sekitar 56 pembicara pararel dari dalam dan luar negeri dengan latar belakang pendidikan dan institusi yang berbeda dan melibatkan kurang lebih 300 peserta. (dodiangga)