Uang Baru

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

SEORANG teman memposting foto viral pecahan uang baru (Senin, 19 Desember 2016) pada beberapa grup media sosial. Tak jelas motif apa yang mendorongnya memposting foto tersebut, apakah ekspresi kebanggaannya terhadap rupiah, atau sekedar tindakan dramaturgis untuk mengesankan bahwa dirinya selalu up to date. Kenyataannya, ia belum mengantongi uang baru tersebut.

Di lain pihak, muncul pula posting yang mempertanyakan langkah redenominasi atau penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah. Dengan percaya diri dia bertanya, “Apa kabar redenominasi, nilai uang baru masih sama dengan uang lama”.

Pertanyaan tentang redenominasi cukup menguat, di tengah kegairahan sebagian orang berburu uang baru. Namun tidak mudah menjawab persoalan ini. Selain mensyaratkan stabilitas ekonomi, kebijakan ini pun akan menimbulkan masalah psikologis dan praktis, yang berujung pada kepercayaan (trust) terhadap rupiah.

Dalam sejarah Indonesia, redenominasi bukan hal baru. Penyederhanaan jumlah digit pada rupiah pernah dilakukan pada 1959 dengan mengurangi satu digit. Berikutnya, pada 19 Desember 1965, Waperdam III Chairul Saleh meredenominasi rupiah dengan menghilangkan tiga digit. Saat itu, uang pecahan 1000 menjadi 1 rupiah. Sayangnya, kebijakan ini memicu lonjakan inflasi yang melangit pada tahun berikutnya.

Apakah peluncuran uang baru pada tanggal yang sama dengan pemberlakuan redenominasi pada 1965 menjadi isyarat bahwa kebijakan penyederhanaan rupiah tinggal menunggu waktu ? Wallahu’alam.

Meski pemerintah tidak mengambil langkah redenominasi, secara sosial langkah ini sudah dipraktikan. Di kafe dan pasar-pasar, telah lama terjadi penyederhanaan rupiah.

Di kafe daftar harga ditulis dengan 55 k, 60 k, dan seterusnya. Tiga nol di belakang angka diganti dengan huruf “k”, yang berarti kilo, atau seribu. Tukang daging di pasar sudah lama menawarkan harga daging per kilo dengan hanya menyebut sembilan puluh, atau seratus. Namun pembeli sudah paham berapa harga yang dimaksud.

Pun ketika batu akik berjaya, para pelaku bisnis di bidang ini menawarkan dagangannya dengan menghilangkan tiga nol di belakangnya. Mereka akan menawarkan batu akik berharga enam juta dengan enam ribu saja.

Apa arti semua ini ? Masyarakat selalu punya cara untuk menyederhanakan persoalannya. Mungkin untuk menciptakan kesan “gaul” dan menyiasati keterbatasan media yang digunakan untuk menulis daftar harga, pengelola kafe meringkas satuan ribuan dengan hurup “k”.

Hal ini tentu saja berbeda dengan cara yang ditempuh pengusaha ritel untuk menjaga “psikologi” pembelinya. Agar terkesan murah, para pengusaha memainkan pecahan di belakang. Misalnya, baju dibanderol 399.950 rupiah, agar tetap terasa tiga ratus ribu, meski kenyatannya hampir menyentuh harga 400 ribu.

Di toko-toko serba ada, cara ini pun sering dipraktikkan. Parahnya, sudah dibuat harga pecahan, namun kembaliannya tidak ada. Dulu uang kembalian sering ditukar dengan permen, namun sekarang, pembeli ditawari apakah kembaliannya akan disumbangkan ?

Bila diberlakukan sekarang, redenominasi bukan hanya akan menimbulkan masalah psikologis tetapi juga praktis. Secara psikologis, orang akan tetap merasa uangnya berkurang meski dengan nilai yang sama. Hal ini lebih karena kata “berkurang” amat sensitif terkait jumlah uang. Bukankah untuk urusan uang orang lebih senang menggunakan operasi penjumlahan dan pengalian ketimbang pembagian dan pengurangan ?

Persoalan praktis akan menghadang saat belanja wortel di warung, atau beli “gehu” di pedagang kaki lima. Bila redenominasi dilakukan dengan menghilangkan tiga nol di belakang, bagaimana bila kita akan membeli tahu bulat, yang digoreng dan dijual di atas mobil, lima ratusan, yang berarti setengah rupiah ? Padahal jangankan setengah, uang pecahan 1, 5, dan 10 rupiah sudah lama hilang dari peredaran.

Inilah keunikan bangsa kita. Menggunakan uang rupiah, dan berhitung mulai dari angka satu, namun sejak lama pecahan 1 rupiah tidak ada. Kini pecahan terkecil 100, meski sulit mencari barang dengan harga satuan 100 rupiah.

Mungkin inilah maksud orang yang mempertanyakan rencana redenominasi berbarengan dengan peluncuran uang baru. Munculnya uang baru dengan pecahan yang sama seakan menunda wacana redenominasi, sebab dengan redenominasi berarti pemerintah harus mencetak uang dengan pecahan baru.

Bagi kebanyakan orang, persoalannya bukan redenominasi atau tidak, melainkan bagaimana pemerintah melakukan langkah nyata bagi penguatan nilai rupiah. Tentu akan sangat bangga, bila nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing kuat dan stabil. Sebab meski tidak berbelanja di warung dengan dolar, namun harga-harga barang kebutuhan pokok nyatanya tetap terpengaruh fluktuasi nilai tukar dan guncangan keuangan global.

Dengan harga yang sama, uang lama dan baru tidak memberi makna signifikan. Mengubah tampilan uang, tak ubahnya mengoleskan lipstick di bibir. Uang kumal sekalipun tetap dicinta, tetap terbayang meski mata tertutup, dan kehadirannya dapat menyeka air mata.

Demikian pula soal redenominasi, perkaranya bukan terletak pada kebutuhan penyederhanaan penyebutan atau penulisan. Orang mengucap seribu sama mudahnya dengan menyebut sejuta. Hanya saja jika ditulis dengan angka menjadi lebih panjang.

Persoalan intinya bagaimana nilai uang tetap terjaga, sehingga orang merasa gagah ketika berada di pasar dan mampu berdiri tegak tatkala mengunjungi tempat penukaran uang, sekaligus merasa aman berinvestasi dalam bentuk rupiah. Kita tak rela bila pasar domestik menjadi surga bagi pemegang uang asing, namun lautan mimpi bagi pengumpul rupiah.

Pada rupiah kita bukan hanya melekatkan nilai tukar, namun juga identitas dan harga diri bangsa. Selain dipersatukan oleh bahasa dan burung garuda, kebhinekaan kita pun dirangkum oleh rupiah. Selayaknya nilai rupiah dijaga, agar nilainya tidak mendevaluasi kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.***

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/12/19/uang-baru-388301