Yakobus Tri Bagio: Dedikasikan Diri untuk Dunia Tunanetra, Kejar Pendidikan Hingga Jenjang S3

Bandung, UPI

“Waktu itu umur saya sekitar 13 tahun. Sejak itu saya menjadi murung, dan sedih, dunia seakan akan runtuh, tidak akan ada harapan lagi untuk masa depan saya,” demikian ungkap Yakobus Tri Bagio, menceritakan awal mula ia dinyatakan sebagai tunanetra. Tri, begitu ia biasa disapa, terlahir dengan pengelihatan sempurna pada 25 April di Kota Semarang. Akan tetapi, saat kelas 6 SD, Tri mengalami kecelakaan ketika tengah bermain sepak bola dalam pelajaran olahraga di sekolah. “Setelah dibawa ke rumah sakit dan operasi, ternyata sudah tidak bisa ditolong lagi. Dokter menyatakan, bahwa kemungkinan pengelihatan saya akan menjadi total (tidak melihat sama sekali)”, ujarnya.

Satu setengah tahun berlalu sejak kecelakaan itu, Tri merasa semakin frustasi dan putus asa. Betapa tidak, saat itu dokter menyatakan bahwa ia telah benar-benar menjadi tunanetra. Tri berhenti sekolah, bahkan tak ada lagi aktivitas yang bisa ia jalani selama tahun berikutnya. Ia hanya terkurung di rumah, menangisi keadaan tanpa tahu apa yang bisa ia lakukan untuk kehidupannya. Walhasil Tri pun berubah menjadi anak yang pemalu dan tidak mau bergaul.

Suatu hari, Tri didatangi oleh salah satu saudara yang tinggal di Ambarawa ingin mengajak dia mengobati pengelihatannya. Setelah berobat, ternyata memang pengelihatan Tri tetap tidak bisa ditolong lagi. Namun, Tuhan selalu punya rencana baik kepada setiap hamba-Nya. Setelah upaya pengobatan itu, justru orang tersebut mengenalkan Tri kepada temannya yang selanjutnya memberi dorongan untuk disekolahkan.

“Nah, dari situlah saya mulai bangkit, berpikir untuk bersekolah dalam keadaan tunanetra,” jelas anak ketiga dari empat bersaudara ini.

Maka, petualangan Tri pun dimulai. Di kota Kudus Tri pertama kali belajar membaca dan menulis huruf Braille selama satu setengah tahun. Lalu ia pun melanjutkan di SLB Pemalang, sekedar untuk mendapatkan ijasah SD. Lalu melanjutkan SMP di SLB ABC Ciamis, dapat diselesaikan dalam waktu 1,5 tahun. Tri melanjutkan pendidikannya ke SMA Negeri 1 Ciamis. Tak selesai sampai disitu, perjalanan Tri pun berlanjut ke Kota Kembang, Bandung. Di kota inilah Tri banyak mengukir kisah hidupnya, sejak kuliah, bekerja, hingga berkeluarga.

“Saat itu, sarjana PLB untuk tunanetra masih terbilang jarang. Selain itu, memang perhatian saya adalah ketika lulus ingin menjadi guru. Karena waktu itu guru PLB, khususnya yang konsen ke ketunanetraan masih sangat kurang, minim sekali”, ujar Tri, mengungkap alasannya mengambil jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) pada program studi S1 yang dijalaninya di Universitas Pendidikan Indonesia. Pemikiran tersebut muncul, karena saat di Pemalang maupun Ciamis, Tri tidak menemukan tunanetra yang menjadi guru, apalagi yang menempuh pendidikan hingga kuliah. Itulah sebabnya, Tri berkeinginan kuat, mengambil jurusan PLB dengan spesialisasi A untuk tunanetra.

Sebagai mahasiswa penyandang disabilitas, Tri terbilang sosok yang ulet dan berprestasi. Lihat saja, ketika  lulus S1 ia termasuk mahasiswa dengan ranking 3 terbaik. Tak heran jika Bapak Djadja Rahardja, salah seorang dosen saat itu menyarankan agar Tri langsung melanjutkan studi ke program S2.  Keinginan Tri yang kuat untuk terus belajar, akhirnya mengantarkan ia menempuh program magister di UPI dengan jurusan Bimbingan Penyuluhan Bimbingan Anak Khusus (BPBAK) sebuah konsentrasi ilmu konseling yang memfokuskan perhatian pada konseling anak berkebutuhan khusus. Pintu keberhasilan itu, menurut pendapat Tri, adalah ketika seseorang punya motivasi dan kepercayaan diri. Pandangan tersebutlah yang memantapkan Tri mengambil konsentrasi Bimbingan Konseling pada program studi S2-nya yang diselesaikan dalam waktu relatif singkat 2 tahun 4 bulan.

“Ketika lulus, saya ingin membangun paradigma bahwa tunanetra sama dengan orang pada umumnya yang ketika diberi motivasi akan bisa berhasil,” katanya.

Tahun 1999, Tri lulus dari program studi S2. Saat itu, mencari pekerjaan sangat sulit, terlebih bagi seorang tunanetra seperti Tri. Bersama 12 teman tunanetra lainnya, Tri pun bertolak ke Jakarta demi mengikuti tes seleksi pegawai negeri Departeman Pendidikan RI, serta beraudiensi dengan Menteri Pendidikan. Saat pengumuman, ternyata dari 12 orang yang mengikuti tes itu hanya ada empat orang yang dinyatakan lulus sebagai guru PNS, salah satunya Tri. Maka, tahun 2000 pun Tri resmi diangkat menjadi guru di SLBN-A Kota Bandung.

“Waktu itu, dari dua belas orang yang berangkat ke Jakarta, hanya saya yang pendidikannya sudah S2. Jadi, bagi saya mungkin inilah hikmahnya saya menempuh pendidikan hingga jenjang S2 “ tutur ayah dari satu orang puteri ini.

Pasca penempatannya di SLBN-A Kota Bandung yang merupakan SLB-A tertua di Asia Tenggara, Tri sepenuhnya mendedikasikan diri untuk pendidikan anak tunanetra, khususnya bidang konseling. Selama 10 tahun pertama, di sanalah satu-satunya SLB yang menerapkan bimbingan konseling kepada siswa-siswanya. Pantaslah, jika kemudian Tri menemukan dinamika yang luar biasa dari siswa-siswa bimbingannya. Banyak tunanetra yang menceritakan keluh kesahnya kepada Tri tidak hanya pertemuan langsung, tetapi juga via telepon, SMS, email, bahkan inbox facebook. Dari banyaknya keluhan dan masalah yang ia dengar, Tri menyadari bahwa banyak anak tunanetra yang merasa tertekan dengan kondisinya sebagai tunanetra, bahkan tak jarang yang ingin bunuh diri karena tak kuat menahan tekanan itu. Situasi tersebut membuat Tri sadar, bahwa ketika anak tunanetra mengalami tekanan mental seperti itu, seharusnya ada sosok yang selalu hadir untuk mendampingi dan membimbingnya, yakni orang tua. Menyadari betapa pentingnya kehadiran orang tua bagi tumbuh kembang anak tunanetra, maka Tri pun mengambil  disertasi terkait konseling keluarga, yakni berjudul  “Konseling Keluarga dalam membantu penerimaan Orang Tua yang Memiliki Anak Tunanetra” pada program studi S3 yang tengah ditempuhnya saat ini.

Ya, Tri memang tak pernah setengah-setengah dalam memberikan pengabdiannya untuk kemajuan tunanetra. Meski sadar menempuh pendidikan di jenjang S3 tidak mudah, toh ia tetap memutuskan untuk menjalaninya. Di samping butuh biaya, butuh konsentrasi, butuh juga aspek keuletan, karena dinamika problematikanya sangat banyak, baik dalam perspektif mengatur waktu, keuangan, maupun kegiatan lainnya. Terlebih, Tri  juga adalah seorang kepala rumah tangga yang harus membangun keluarganya, sebagai guru di sekolah juga harus mengajar, serta berbagi waktu untuk kegiatan organisasi.

Tak hanya bidang akademis, Tri juga mendedikasikan dirinya untuk kegiatan organisasi, salah satunya Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia). Tri menjelaskan, bahwa ia sebenarnya sudah mengenal dan terlibat kegiatan Pertuni saat SMA di Ciamis. Namun, keinginan berkontribusi di Pertuni kembali terkuatkan setelah ia lulus S2, yakni tahun 2000. Bagi Tri, membagi waktu untuk kegiatan organisasi adalah sebuah kebutuhan tersendiri demi membangun hidup yang seimbang, sehingga hidup tak hanya soal mencari uang secara professional dan membangun keluarga, tetapi juga berbagi kepada sesama tunanetra serta masyarakat pada umumnya. Menurut Tri, melalui organisasi ia dapat menyalurkan dan memediasikan update info berkaitan pengembangan tunanetra.

“Organisasi ini adalah wadah untuk membangun, khususnya jika saya memiliki ide-ide yang sifatnya untuk memajukan. Nah, itu penyalurannya lewat organisasi. Yang saya tekuni dalam hal ini kan Pertuni, berarti saya di Pertuni sudah 16 tahun,” ujar pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua III Bidang Penelitian dan Pengembangan DPP Pertuni.

Dengan masih banyaknya diskriminasi yang ada di Indonesia, tentu tak mudah melalui perjalanan hidup seperti yang Tri alami. Ia memotivasi dirinya sendiri, bahwa kunci sukses adalah apabila ia selalu menjalankan lima tindakan yang ia singkat dalam sebuah akronim “TUYUN”, yakni Tekun, Ulet, Yakin, Usaha, dan Niat. Dalam bahasa Sunda, kata “tuyun” sendiri berarti “membimbing” atau “menuntun”. Ketika menemui kegagalan pun, Tri tidak mudah menyerah. Ia berprinsip, apabila orang lain bisa, maka sesungguhnya ia pun bisa.

“Orang lain punya waktu 24 jam, saya juga punya 24 jam. Kuncinya, bagaimana kita memanfaatkan 24 jam yang kita miliki untuk melakukan hal-hal yang bermakna bagi diri sendiri dan bagi sesama,” katanya, mantap.

Dengan segala hal yang telah ia lakukan untuk tunanetra, Tri berharap, agar para tunanetra di Indonesia bisa lebih maju lagi, juga dapat lebih diterima di tengah masyarakat. Pemerintah juga perlu lebih membukakan ruang bagi tunanetra untuk berkontribusi dalam membangun negara. Dengan demikian, tunanetra tidak lagi dianggap sebagai individu yang bergantung dan kelompok marginal atau kelompok yang terpinggirkan. Mereka juga punya hak untuk mendapat pekerjaan, pendidikan,  pelayanan publik, dan seterusnya.

“Jika di generasi sekarang sudah ada empat doktor dan satu lagi calon doktor yang ke lima, maka di generasi berikutnya mudah-mudahan ada yang bisa sampai profesor, peneliti, bahkan pengusaha sukses,” pangkas Tri.

Tri Bagio akan menempuh Promosi Doktor pada tanggal 26 Januari 2017 Pkl. 09.30 WIB di Gedung Ahmad Sanusi Universitas Pendidikan Indonesia. Berarti sejarah akan mencatat bahwa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) telah meluluskan 4 orang Doktor tunanetra mempersembahkan untuk bangsa dan negara Indonesia. (DN)