Nahdlatul Wathan

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia,

kolumnis Pikiran Rakyat

SULIT disangkal nilai-nilai cinta tanah air yang melahirkan Indonesia merdeka disemai melalui kegiatan keagamaan dan pendidikan. Proses ini telah berlangsung sejak masa kolonial. Lothorp Stoddard dalam bukunya “The New World of Islam” (1921) jelas mengakui berdirinya Syarikat Islam telah mengobarkan jiwa nasionalisme yang tengah tertidur lelap.

Fragmen penanaman nilai cinta tanah air dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan antara lain terekam dalam aktivitas belajar yang diselenggarakan Nahdlatul Wathan. Lembaga yang didirikan Kyai Wahab Hasbullah pada 1914 (dan mendapat status badan hukum pada 1916) dengan dukungan Kyai Mas Mansur, HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto, dan Kyai Abdul Kahar tersebut mewajibkan santrinya menyanyikan lagu perjuangan berbahasa Arab sebelum pembelajaran dimulai. Setelah digubah Kyai Wahab, syair lagu perjuangan tersebut berbunyi sebagai berikut (Choirul Anam, dalam buku “Pertumbuhan dan Perkembangan Nadlatul Ulama”, 1985, halaman 25):

Wahai bangsaku, wahai bangsaku
Cinta tanah air bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan harus dibuktikan dengan perbuatan
Dan bukanlah kesempurnaan itu hanya berupa ucapan
Berbuatlah demi cita-cita
Dan jangan hanya pandai bicara
Dunia ini bukan tempat menetap
Tetapi, hanya tempat berlabuh
Berbuatlah sesuai dengan perintah-Nya
Dan janganlah kalian menjadi sapi tunggangan
Kalian tak tahu orang yang memutarbalikan
Dan kalian tak mengerti apa yang berubah
Di mana akhir perjalanan
Dan bagaimana pula akhir kejadian
Adakah mereka memberimu minum
Juga kepada ternakmu
Atau, mereka membebaskan kamu dari beban
Atau, malah membiarkanmu tertimbun beban
Wahai bangsaku yang berpikir jernih
Dan halus perasaan
Kobarkan semangat
Jangan jadi pembosan

Lagu heroik di atas telah dinyanyikan para santri Nahdlatul Wathan sebelum “Indonesia Raya” berkumandang. Cinta tanah air ditempakan sebagai bauran nilai dalam konstruk keimanan seorang Muslim. Menjadi mudah dipahami bila kalimah toyyibah selalu menggema di medan pertempuran, dan perang melawan penjajah diyakini sebagai jihad. Para ulama bukan hanya guru ngaji, namun juga pemimpin perlawanan terhadap kolonial.

Para ulama telah menanamkan nilai cinta tanah air kepada santrinya lewat tindakan mereka yang tegas menolak penjajah. Para ulama menjadi primus inter pares yang menghimpun kekuatan dan mengerahkan potensi perlawanan rakyat demi membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajahan.

Fakta ini menjadi bukti autentisitas ulama dalam menyiapkan kader pemimpin bangsa, yang dalam ilmunya dan samapta badannya (bathostan fil ‘ilm wal jism), serta kukuh keyakinan ideologi dan nilai kebangsaannya. Peran ini telah dimainkan para ulama jauh sebelum lembaga yang mewacanakan untuk menyertifikasi ulama, atau badan yang mendata keberadaan ulama didirikan. Para ulama dan komunitas santri pun menjadi embrio lahirnya laskar-laskar perjuangan, yang menjadi cikal bakal Tentara Rakyat Indonesia.

Meski tidak pernah mengklaim sebagai satu-satunya aktor yang membidani Republik, signifikansi peran ulama dalam membangun karakter dan bangsa (nation and character building) telah menjadi fakta tak terbantahkan. Karena itu, adalah hal aneh bila belakangan muncul kecurigaan kepada ulama. Bagaimana mungkin ulama mengurai kembali benang yang sudah mereka tenun menjadi kain bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Baru kali ini, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipersoalkan aparat penegak hukum dan pengadilan. Menguji fatwa di peradilan umum tak ubahnya menguji keahlian kambing di kolam renang.

Pun munculnya wacana menyertifikasi ulama adalah ungkapan simbolik kecurigaan terhadap ulama dan pesantren sebagai inkubator tindakan radikal. Kecurigaan ini tidak terucap secara verbal, namun nyata terbaca. Padahal, kalau ulama harus disertifikasi pastilah para pendiri pondok pesantren tradisional yang tersebar di seluru tanah air takkan lupa memberikan ijazah bukti kelulusan kepada para santrinya.

Bila mata yang penuh kasih sayang rabun terhadap kesalahan kekasihnya, maka hal sebaliknya dapat terjadi kepada mereka yang tidak disukai. Seperti cinta yang tak kurang puja, benci takkan pernah sepi caci maki.

Menyudutkan para ulama dan komunitas santri sebagai kelompok yang patut diwaspadai adalah tindakan ahistoris. Sikap ini tak ubahnya Malin Kundang yang tak mengakui ibu kandung yang telah melahirkannya.

Bila sebagian ulama dan komunitas santri bereaksi dalam cara-cara yang kurang disukai pemerintah akhir-akhir ini, itu terjadi karena ada persoalan yang terlambat direspons. Reaksi dimaksud tak ubahnya asap yang muncul karena ada orang yang membakar kayu. Tindakan menyemprotkan air bisa saja mengurangi asap, namun asap takkan pernah benar-benar hilang sebelum kayu yang terbakar diangkat dan dijauhkan dari api.

Perahu bangsa ini akan kehilangan keseimbangan bila hanya sebagian layarnya yang dibiarkan terkembang. Perahu bangsa pun akan oleng bila awaknya yang berbuat culas tidak dihukum. Proses penegakan hukum akan menjadi perkara sulit bila melibatkan orang kuat, dan dilindungi kekuatan penting di tanah air. Namun, apa pun jalan ini harus ditempuh demi mewujudkan kebaikan bersama.

Wahai bangsaku, kini saatnya kita kembalikan pikiran yang jernih, dan perasaan yang halus, demi memelihara kemauan untuk hidup sebagai warga bangsa. Sebuah kemauan yang melintasi ciri-ciri yang membuat kita tampak berbeda. Seperti syair yang dinyanyikan para santri Nahdlatul Wathan, dalam hal membangun karakter dan bangsa, jangan mau menjadi sapi tunggangan dan jangan pernah menjadi pembosan, sebab pembangunan karakter dan bangsa hanya mengenal kata mulai, namun takkan pernah berjumpa dengan kata akhir.***

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2017/02/06/nahdlatul-wathan-392763