RUU Kebudayaan Akan Segera Disahkan

Lombok, UPI

Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Rapat Koordinasi (rakor) Pusat dan Daerah Bidang Kebudayaan tahun 2017 di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 1-3 Maret 2017. Rakor yang dihadiri oleh pihak-pihak Kementrian/Lembaga terkait, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, pemerintah daerah dan kota, komunitas budaya dan satuan kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan ini mendorong penuntasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan.

Pada kesempatan yang sama, Rapat Kerja terakhir Komisi X DPRD dengan pemerintah menyepakati mengesahkan RUU Kebudayaan pada Masa Persidangan IV tahun sidang 2016-2017 selambat-lambatnya pada minggu ketiga atau keempat April 2017 dalam pengambilan keputusan tingkat II di Sidang Paripurna DPR.

Wakil Ketua Komisi X sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kebudayaan Ferdiansyah mengatakan rapat kerja Komisi X degan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Parawisata, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, perwakilan Kementerian Agama, dan perwakilan Kementerian Sekertariat Negara pada Selasa, 21 Februari lalu iu, juga telah membahas butir-butir subtansi RUU Kebudayaan. Diantaranya mengenai ketentuan umum, pemajuan, hak dan kewajiban, tugas dan wewenang kelembagaan, pendanaan, penghargaan, hingga ketentuan pidana. “Dari butir-butir itu yang belum terpecahkan dan perlu pendalaman lagi adalah soal pendanaan, sanksi dan kelembagaan. Taoi yang memerlukan diskusi agak panjang adalah soal kelembagaan karena masih terjadi tali-ulur,” tuturnya.

Soal pemajuan budaya, kata Ferdiansyah, disepakati bahwa itu tidak hanya bicara soal ketahanan budaya tapi juga bagaimana budaya ikut mewarnai kebudayaan dunia secara positif. Misalnya dengan membudayakan murah senyum, menyapa, menanyakan kabar, dan tahu soal sopan-santun.

Hal yang menarik dalam RUU Kebudayaan adalah bahwa kebudayaan bukan biaya, tapi investasi. “Dalam hal ini kita dan pemerintah punya kesepahaman yang sama. Karena itu, semua pihak dan semua bidang  harus terlibat, seperti politik, ekonomi dan pendidikan harus berbasis budaya,” kata dia.

Selain itu, pemerintah dan Komisi X DPR juga menyepakati budaya pers Indonesia harus memuat kritik yang kondusif, obyektif, tapi memberi solusi. Begitu juga halnya dengan penghargaan budaya yang bukan hanya sekedar menerima Bintang Mahaputra, tapi juga harus lebih tinggi. “Jika meninggal dunia, orang yang berjasa di bidang kebudayaan harus dimakamkan di Makam Pahlawan. Itu sebagai bentuk penghormatan,” ujar Ferdiansyah.

Dia mengatakan seseorang yang berjuang untuk pemajuan kebudayaan ibarat dua mata pisau berbeda. Pertama, untuk mempertahankan kebudayaan Indonesia dan tidak ada alergi budaya orang lain, tapi tidak menhilangkan ciri khas budaya bangasa. Kedua, untuk memperngaruhi kebudayaan dunia.

Kemudian, soal prospek budaya, RUU ini tidak mengatur terlalu rigid. Menurutya, budaya tidak bisa diatur karena sangat beragam dari Sabang sampai Merauke.

Hal menarik lain, kata Ferdiansyah, kebebasan berekspresi dibuka, tapi harus dalam koridor NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan kebhinekaan yang disebut empat komitmen kebangsaan. “Jadi apa pun yang kita lakukan, dalam undang-undang harus berdasarkan empat komitmen kebangsaan,” ucapnya.

Dalam berbagai forum Ferdiansyah mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut DNA bangsa Indonesia adalah kebudayaan. Artinya, apabila berkarya dalam seni dan budaya dilakukan dengan sungguh-sungguh maka hasilnya akan lebih kuat dari industri manufaktur “Jadi negara harus punya karakteristik budaya dan mohon doa restunya supaya dapat disahkan pada akhir April 2017, karena RUU ini merupakan perjuangan sejak tahun 1982 dan pembahasannya sudah 35 tahun,” imbuhnya. (sumber : Inforial)