Pembelajaran Model Dediscerta Layak Jadi Juara Satu

Oleh Ahmad Dahidi

Sepanjang  pengetahuan saya belum  ada kegiatan  yang serupa yang  sifatnya “membongkar” sepak terjang rahasia keberhasilan para guru bahasa Jepang di SMA/SMK atau yang sederajat dalam kegiatan belajar mengajar  (KBM) yang mereka lakukan di lapangan.  Kelangkaan  ini telah ditangkap dengan baik  oleh  Departemen Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI bekerjasama dengan The Japan Foundation, dengan menyelenggarakan kegiatan  yang diberi judul Lomba Inovasi Menulis Artikel Inovasi Pengajaran Bahasa Jepang se Jawa Barat, Kamis, 23 Maret 2017 di Auditorium FPBS UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung.

Tujuan kegiatan ini tiada lain dalam rangka menggali potensi para guru bahasa Jepang tentang ide dan gagasan  mereka  dalam  mengupayakan pembelajaran bahasa Jepang  yang  menarik,  mudah diingat,  dan tentunya tidak membosankan baik bagi gurunya  itu sendiri maupun  untuk  para pelajarnya.  Kegiatan  seperti ini dirasakan pelu dalam rangka memberikan wadah kepada para guru bahasa Jepang di lapangan untuk berkreasi dan menstimulasi mereka untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan inovatif dalam pengajaran bahasa Jepang di tempat mereka bekerja.

Secara rinci ada tiga tujuan utama, yaitu (1) untuk mewadahi ide kreatif dan inovatif para pengajar bahasa Jepang di SMA/MA/SMK dan sederajat; (2) untuk menggali potensi para pengajar bahasa Jepang di SMA/MA/SMK dan sederajat dalam pengembangan ide pengajaran; dan (3) untuk mensosialisasikan ide pengajaran yang terbaru kepada para pengajar bahasa Jepang di SMA/MA/SMK dan sederajat.

Diawali dengan sosialisasi kegiatan ini, yaitu dengan mengirim surat pemberitahuan ke setiap sekolah yang ada pelajaran bahasa Jepang, lalu disusul dengan komunikasi via telepon. Alhamdulillah telah memeroleh respon yang sangat positif dari para guru di lapangan, namun begitu mendekati hari H nya,  para peminat yang memenuhi persyaratan sesuai dengan yang diminta panitia pelaksana “kurang begitu memuaskan”. Mengapa demikian? Sebab jumlah yang betul betul menyerahkan karyanya berupa artikel sangatlah sedikit.

Seperti disampaikan oleh Ketua Pelaksana, Dewi Kusrini, M.Ed., “Yang berminat berdasar kontak pertelepon lumayan banyak, tidak kurang dari 20 orang. Mengingat rentang waktu pendaftaran relatif sempit, mungkin saja banyak kesibukan pekerjaan para guru di sekolah masing masing, atau mungkin juga “ketidakbiasaan” atau kesulitan mereka dalam menulis artikel sehingga tidak ada waktu untuk menulis artikelnya”. Rencana semula, diharapkan kegiatan ini bisa diikuti oleh para guru yang tersebar di pulau Jawa. Namun mengingat sesuatu dan lain hal sehingga diputuskan kegiatan ini hanya dibatasi bagi para guru bahasa Jepang di Jawa Barat. Meskipun target awal tidak tercapai, namun dengan kegiatan yang difokuskan di Jawa Barat pun sungguh berarti sebab peluang dan tantangan ini setidaknya telah membuka wawasan para guru bahasa Jepang untuk mempublikasikan karya mereka dalam mengajarkan bahasa Jepang sesuai dengan upaya mereka berinovasi dalam pembelajaran bahasa Jepang.

Dengan adanya kegiatan ini, setidaknya bagi kami (baca: Departemen Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI) telah membuka mata untuk mencoba melakukan kegiatan yang serupa di masa yang akan datang yang lebih baik dan persiapan yang lebih matang. Di tahun tahun mendatang kami berharap bisa diselenggarakan kegiatan yang serupa dengan topik yang sama atau berbeda dengan ruang lingkup peserta yang lebih luas, bila perlu pesertanya adalah guru bahasa Jepang yang ada di Indonesia. Namun intinya masih seputar “membongkar” inovasi para guru dalam pembelajaran bahasa Jepang.

Untuk kegiatan mendatang, agar gebyar dan hasil yang diharapkan lebih mantap lagi, seyogyanya dilakukan sosialisasi program yang lebih rinci dan lebih awal sebab sosialisasi yang dilakukan pada kegiatan kali ini dinilai terlalu mepet. Hal ini diakui Dewi Kusrini dalam obrolannya dengan saya usai kegiatan.

Kita tahu proses sosialisasi dalam kegiatan seperti ini merupakan hal yang penting. Setidaknya dalam sosialiasi itu harus memuat panduan yang lebih jelas dan rinci, perlu dimuat penjelasan format artikel, ruang lingkup penilaian juri untuk seleksi artikel, informasi yang berkaitan dengan micro teaching (praktek/simulasi mengajar, dan aturan aturan lainnya yang relevan dengan kegiatan presentasi artikel). Diakui Ketua Pelaksana bahwa pada kegiatan kali ini, disadari adanya “ketidakjelasan” ruang lingkung topik artikel. Apakah artikel yang ditulis itu harus hasil penelitian atau cukup mengungkapkan pengalaman riil mengajar bahasa Jepang di lapangan. Demikian pula, dalam simulasi mengajar di micro teaching, sebaiknya dilakukan full sesuai dengan rencana pengajaran yang sudah dirancang oleh masing masing peserta lomba. Untuk kali ini, pelaksanaan praktek di micro teaching dilakukan dengan “mengkerucutkan” waktu KBM, artinya waktu normal KBM dirancang untuk 100 menit, namun dalam pelaksanaannya hanya 30 menit. Tentunya, pemendekan waktu ini, secara psikologis berpengaruh terhadap kesiapan peserta lomba kecuali jauh jauh hari diberitahukan dahulu kepada peserta antara aturan KBM yang seharusnya dengan rencana simulasi yang harus dilakukan guru di micro teaching.

Selanjutnya, kaitannya dengan presentasi tentang isi artikel, dengan waktu yang sempit, mungkin lebih baik waktu itu dialokasikan untuk para juri agar mereka lebih leluasa memberi pertanyaan dan memberikan saran agar finalis dapat mengetahui apa yang kurang dalam artikel tersebut dan bagaimana cara memperbaikinya. Sepanjang pengamatan kami dirasakan ada “kejomplangan” antara pemahaman finalis dengan yang diharapkan oleh para juri. Seandainya, waktu yang disediakan hanya 30 menit, mungkin lebih baik diatur waktu presentasi cukup 10 menit, dan sisanya untuk tanya jawab dan menampung saran saran dari para juri. Pada kegatan kali ini, lebih banyak waktu diberikan kepada para finalis sementara waktu tanya jawab hanya 5 menit.

Satu hal lagi yang perlu dicacat disini adalah “…sepertinya para finalis masih gelap (setidaknya masih ‘remang remang’)” tentang apa itu inovasi pembelajaran bahasa Jepang. Dengan adanya saran saran dari para juri itu, “kegelapan” yang mereka rasakan sedikit banyaknya menjadi “remang remang”, dan insya Allah akan terang benderang apabila semua saran yang diberikan para juri diperhatikan, dan tentunya ditindaklanjuti dengan menggali sendiri ihwal inovasi dalam pembelajaran secara umum atau pembelajaran bahasa asing (Jepang). Saya yakin para finalis akan memahaminya sebab para juri adalah orang orang yang sudah banyak makan garam dalam dunia pendidikan bahasa Jepang.

Adapun rangkaian kegiatan ini diawali dengan pembukaan oleh Ketua Departemen Pendidikan Bahasa Jepang, kemudian simulasi praktek mengajar bahasa Jepang di microteaching. Kegaitan dilanjutkan dengan presentasi para finalis berupa seminar dan tanya jawab dengan para juri, dan diakhir dengan pengumuman pemenang.

Pada tahap finalisasi kegiatan ini ditampilkan lima orang finalis, dan yang berhasil dan layak meraih posisi juara 1 s.d. 3 yaitu Juara 1, Santie Destiari (guru bahasa Jepang SMAN 10 Bandung) dengan judul artikelnya “ Model Dediscerta Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa”; Juara 2, Murni Setianingrum (Gurus Bahasa Jepang SMA Korpri Bekasi), dengan judul artikelnya “Penggunaan Media Ajar Terhadap 3 Gaya Belajar Siswa dalam Pembelajaran Bahasa Jepang”; dan  Juara 3, Ramaniar Maryunita (Guru Bahasa Jepang SMAN 21 Bandung) dengan judul artikelnya “Pemanfaatan Aplikasi Google Japanese Input dalam Meningkatkan Minat dan Kemampuan Membaca Teks Bahasa Jepang”. Artikel karya para guru tersebut akan dimuat di jurnal Online JAPANEDU. Meskipun demikian dua diantaranya, saya sarikan sebagai berikut.

Santi Destiari mencoba mengangkat salah satu tema pelajaran yang ada di dalam buku ajar  Nihongo 2 (The Japan Foundation, Jakarta) yaitu verba, adjektiva dan pola kalimat yang berkaitan erat dengan tema “perjalanan” dengan metode pembelajaran dediscerta (Demontrasi, Diskusi, Ceramah, dan Tanya Jawab). Langkah langkah yang dilakukan yaitu guru memperlihatkan panel gambar, lalu siswa disuruh menghapalkannya. Setalha itu, dilatih pelafalan (individu maupun kelompok), guru mengecek para siswa hafal atau tidaknya kata yang diberikan secara acak, lalu guru menuliskan huruf kana dari kata yang diajarakan. Bersama siswa guru membaca huruf tersebut. Setelah itu, guru memberikan pola kalimat, dan dijelaskannya. Pola kalimat yang dimaksud fokus …tari… tair suru. Kartu gambar yang ditampilkan memuat gambaran suatu rasa tentang kesan yang berhubunagn dengan perjalanan. Kartu iniditampilkan satu persatu disertai pelafalannya. Langkah selanjutnya, ditampilkan slide yang isinya memuat kosakata yang berhubunga dengan perjalanan. Langkah selanjutnya, masuk pada tahap latihan membaca, yaitu guru menjelaskan teknis kegiatan pembelajaran dengan batas waktu tertentu dan guru membagi kelompok. Pada tahap latihan, para siswa mendiskusikan kegiatan sesuai dengan yang tertera di kartu tugasnya, lalu melaporkan hasilnya diakhir diskusi. KBM diakhiri dengan tampilan kalimat kalimat karya para siswa.

Sedangkan Murni Setianingrum mencoba mengangkat topik media ajar dikaitkan dengan gaya belajar yang berhubungan dengan (1) belajar visual seperti gambar, grafis, dan sejenisnya dibuat warna warni dan bentuk slide power point; (2) pengembangan media ajar yang berkaitan dengan auditori seperti video, rekaman dan sejenisnya dibuat media ajar berupa CD dan video. Dalam hal ini guru hanya memanfaatkan media ajar yang tersedia di youtube diseuaikan dengan materi ajar yang akan ditampilkan; dan (3) media ajar yang berkaitan dengan gaya belajar kinestetik, yaitu berupa gerak,  tingkah laku/praktek kegiatan yang relevan. Dalam hal ini dilakukan gerak gerik guru dan beberapa siswa dengan memperagakan gerakan yang bisa mencerminkan kosakata yang diajarkan. Sebagai ilustasi ditampilkan frase ha o migakimasu ‘menggosok gigi’, kao o araimasu ‘mencuci muka’, dan seterusnya.  Untuk dua verba yaitu menggosok dan mencuci  ini, guru memperagakan tingkah laku yang sesuai dengan gerakan/makna yang terkandung di dua kosakata tersebut.

Adapun cara penyajian ketiga gaya belajar tersebut diawali dengan penampilan gaya belajar visual, lalu auditori dan diakhiri dengan kinestetik. Misalnya, untuk gaya belajar visual diperlihatkan video, lalu siswa ditanya seputar isi video, dan beberapa kegiatan lainnya yang menjadi rutinitas siswa di pagi hari. Dilanjutkan dengan penayangan slide gambar dan diiringi dengan audio kosakatanya. Lalu, untuk mengajarkan pola kalimat yang mendukung aktivitas sehari hari itu digunakan powerpoint. Untuk latihan, digunakan kartu gambar (dalam hal ini guru memberikan kata kunci dengan bahasa Indonesia, dan siswa disuruh untuk menerjemahkannya ke dalam bahaas Jepang baik secara lisan maupun tulisan), dan diakhiri kegiatan belajar mengajar tersebut dilakukan quiz dengan tugas kelompok yang berbeda, yaitu kelompok yang satu bertugas bertanya, sementara kelompok yang lainnya menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut. Diakhir pemelajaran, tidak lupa guru memberikan postest sebagai upaya umpan balik untuk mengetahui tingkat pemahaman para siswa terhadap materi yang diberikan.

Sebagai imbalan dari panitia untuk para finalis, setiap finalis diberikan cinderamata berupa uang tunai, tropy, dan sejumlah buku karya para dosen bahasa Jepang UPI dan buku karya alumni bahasa Jepang lainnya.

Kegiatan seperti ini sunguh bermanfaat dan sangat perlu ada keberlanjutan setiap tahun untuk meningkatkan kualitas menulis artikel berbasis critical thinking para guru bahasa Jepang, bahkan bila perlu bukan hanya diperuntukkan bagi kalangan guru bahasa Jepang di SMA, SMK atau SLTA lainnya yang sederajat, namun perlu juga diadakan bagi kalangan dosen-dosen di perguruan tinggi. Tentunya dengan sebuah harapan agar para dosen pun termotivasi untuk membuat tulisan yang berkualitas dan bisa bersaing di jurnal internasional. Dengan demikian, diharapkan pendidikan bahasa Jepang di Indonesia bisa unjuk gigi dalam banyaknya karya ilmiah yang dihasilkan.

The Japan Foundation sebagai salah satu lembaga yang sangat eksis terhadap pendidikan bahasa Jepang di dunia, termasuk juga di Indonesia sangat diharapkan kontribusi yang lebih banyak dan luas sebab lembaga yang satu ini cukup berpengaruh terhadap pasang surutnya pendidikan bahasa Jepang ini (tentunya di Indonesia juga),  sehingga kontribusi semua lembaga (The Japan Foundation, Monbukagakusho, Dinas Pendidikan di Indonesia, guru guru bahasa Jepang di lapangan (termasuk para dosen dan perguruan tingginya) mesti bergerak bersama sama untuk memajukan pendidikan bahasa Jepang di tempat masing masing. Yang saya rasakan saat ini adalah masih terfokus pada pengembangan kuantitas pembelajaran, sementara yang sifatnya “kualitas pembelajaran” masih dirasakan kurang. Sepanjang pengetahuan saya, khusus di Indonesia, kegiatan yang sifatnya “lomba”, selama ini hanya diperuntukkan bagi para siswa dan mahasiswa. Menurut hemat saya, sekali kali perlu juga untuk para guru dan dosen di perguruan tinggi lebih diperbanyak. Bila perlu ada juga perlombaan pidato bahasa Jepang bagi guru dan dosen, lalu ada juga perlombaan debat dengan bahasa Jepang bagi guru dan dosen, dan lomba-lomba lainnya yang ujung ujungnya bisa memotivasi para pengajar untuk terus eksis dalam pembelajaran bahasa Jepang. Bisa juga dipikirkan program khusus bagi guru bahasa Jepang yang dinilai aktif berkontribusi berjasa memajukan pendidikan bahasa Jepang di Indonesia. Saya sebagai salah seorang generasi yang bergelut dalam pendidikan bahasa Jepang angkatan tahun 70 an, saya mengapresiasi kepada para pendahulu yang telah berjuang meletakkan cikal bakal pendidikan bahasa Jepang di Indonesia. Tanpa jasa mereka, sangat tidak mungkin pendidikan bahasa Jepang di Indonesia demikian besarnya bisa berkembangn cukup pesat sampai sampai bisa menyelia peminat bahasa Jepang di dunia.

Menurut survey The Japan Foundation (2012), Indonesia menduduki peringkat kedua dari seluruh negara dalam jumlah orang yang mempelajari bahasa Jepang terbanyak di dunia (sebelumnya peringkat ketiga). Sedangkan, jumlah pemelajar bahasa Jepang untuk negara yang tidak menggunakan kanji, sama seperti pada survei sebelumnya yaitu Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia. Jumlah pembelajar bahasa Jepang di Indonesia saat ini mencapai 21% dari jumlah total pelajar bahasa Jepang di dunia, dan 78% dari jumlah total pemelajar di Asia Tenggara. Lalu, apabila dibandingkan dengan survei sebelumnya (tahun 2009), di Indonesia menunjukkan peningkatan yang tinggi sebesar 21% terhadap peningkatan jumlah pemelajar bahasa Jepang di dunia sebesar 9,1%. Negara-negara Asia Tenggara seperti Pilipina (45%), Malaysia (44%), Thailand (64%), dan Kamboja (37,5%) menunjukkan peningkatan yang tinggi juga, sehingga negara-negara Asia Tenggara yang berpusat di Indonesia berpotensi untuk menjadi pendorong peningkatan jumlah pemelajar bahasa Jepang di dunia. Adapun dilihat dari perkembangan pemelajar berdasarkan tingkat pendidikan diperoleh data bahwa Pendidikan Dasar 5,750 orang (meningkat 0.6%), Pendidikan Menengah 835,938 orang (meningkat 95.8%), Pendidikan Atas 22,076 orang (2.5%), Pendidikan Non Formal dan Informal 8,642 orang (menurun 0.9%).

Pada hasil survei tahun 2012, jumlah pemelajar bahasa Jepang pada tingkat Pendidikan Menengah di Indonesia menduduki peringkat pertama, yaitu mencapai 40% dari jumlah pemelajar pendidikan menengah di seluruh dunia, dan 87% dari total pemelajar pendidikan menengah di Asia Tenggara.

Selanjutnya, jika dilihat jumlah pemelajar bahasa Jepang berdasarkan provinsi dari seluruh Indonesia, secara berturut turut lima besar ditemukan data sebagai berikut. Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat pertama, dengan jumlah pemelajar sebanyak 225.566 orang, urutan berikutnya provinsi Jawa Timur: 138.431 orang, Jawa tengah 80.416 orangm, dan provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta : 79.934 orang, dan  Urutan ke-5, Provinsi Bali: 71.911 orang. Pemelajar Bahasa Jepang di Pulau Jawa dan Bali mencapai 74.3% dari total pemelajar bahasa Jepang di Indonesia.

Tentunya perkembangan yang sungguh mengejutkan itu bukan berarti tidak menimbulkan sejumlah permsalaahan. Dalam survey tersebut ditemukakan salah satu masalah yang dihadapi di lapangan adalah banyak lembaga yang menyatakan “kekurangan informasi bahan ajar dan metode pengajaran” (61.4%).

Memang bahan ajar dan metode pengajaran adalah dua hal yang cukup krusial dalam ketercapaian sebuah pembalajaran. Namun jika seroang guru mempunyai jiwa inovatif, kreatif, dan tentunya senantiasa mengali berbagai potensi diri dalam memunculkan gagasan atau ide, maka kedua masalah tersebut bisa diatasi dengan mudahnya. Informasi ihwal perkembangan pengajaran bahasa Jepang di Indonesia yang lebih rinci bisa dibaca di http://mayantara.sch.id/artikel/survei-lembaga-pendidikan-bahasa-jepang-di-indonesia-tahun-2012.htm]

Oleh sebab itu, sangat wajar dan sangat masuk akal jika di masa yang akan datang jenis lomba yang serupa bagi guru dan dosen dikembangkan. Tentunya akan lebih baik jika diiming-imingi honor yang menjanjikan baik untuk para juri, para peserta lomba, dan tentunya perhargaan bagi para pendahulu dan tokoh pengembang pendidikan bahasa Jepang di Indonesia yang lebih layak. Dengan demikian diharapkan para pelaku pendidikan bahasa Jepang akan termotivasi untuk tidak berhenti mengali, berinovasi, dan berkreasi dalam menjalankan tugasnya sebagai guru dan dosen bahasa Jepang. Semoga!!! (Bumi Siliwangi, 24 Maret 2017)