Pak Diding, Bekerja Tak Memandang Hari

Bandung, UPI

NET
NET

Di tengah kerumunan orang yang sedang menikmati jalan kaki di hari Minggu, justru seorang pria paruh baya dengan beralaskan terpal sibuk bekerja menjadi tukang pijat di Taman Lanjut Usia (Lansia), Gasibu Bandung. Tergambar rasa lelah dari raut wajahnya, namun ia tetap semangat menunggu seseorang menghampirinya hingga pukul 15.00 WIB. Rasa lelah dikalahkan dengan rasa semangat demi mendapatkan uang untuk menafkahkan keluarganya. Berbagai cuaca yang datang berubah-ubah tidak membuat semangatnya surut. Karena yang terpenting baginya adalah mencukupi kehidupan keluarganya.

Pria asal Soreang itu bernama Diding (47) yang merupakan ayah dari dua orang anak dan kakek dari satu orang cucu. Ia dibesarkan di Majalengka tepatnya di Talaga. Setelah menikah, ia dan istrinya merantau ke Bandung untuk mencari uang. Awalnya ia bekerja di rumah makan di daerah Cicaheum bersama istrinya, namun karena ia nomaden sering berpindah-pindah tempat tinggal, maka pekerjaannya pun tidak tetap. Sehingga pada akhirnya ia dan keluarga mempunyai tempat tinggal tetap di Soreang dan pekerjaannya pun sebagai pemijat dan pedagang.

“Saya sudah bekerja sebagai tukang pijat di Taman Lansia (Lanjut Usia) sejak delapan tahun yang lalu,” ujar Pak Diding. Kepiawan ia dalam memijat sudah bakat dan turun temurun dari nenek moyangnya. Selain memijat di Taman Lansia, ia pun memijat di daerah rumahnya jika ada yang memanggilnya.

Hari minggu, hari yang seharusnya digunakan istirahat dan berkumpul bersama keluarga tidak berlaku pada Pak Diding. Baginya bekerja tak memandang hari meskipun hari libur tetap ia jalani, bahkan hari libur tersebut dijadikan kesempatan untuk mendapatkan pengahasilan yang lebih besar dari sehari-harinya berjualan di pasar. Jarak tempuh yang jauh pun diterjang oleh Pak Diding dari rumah menuju Taman Lansia dengan menggunakan angkutan seadanya yaitu Bus dan Angkutan Umum (Angkot). Pak Diding mulai berangkat pukul 05.30 WIB dari Soreang ke Taman Lansia dengan pembekalan keahlian dalam memijat. Di Taman Lansia, Pak Diding sudah mempunyai tempat sendiri untuk memijat. Pak Diding memilih tempat dibawah pohon sebagai tempat pijatnya karena dianggap lebih sejuk dan bisa membuat pengguna jasa nyaman. Cara ia memijat menggunakan tangan sendiri, terkadang ia menggunakan alat yang terbuat dari kayu berbentuk seperti tanduk kambing yang ujungnya runcing dan menggunakan alat pijat punggung, yang ujung atasnya bulatan  kecil seperti bola dan ujung bawahnya berbentuk tangan. Alat pijat yang seperti tanduk tersebut berfungsi untuk melancarkan peredaran darah yang digunakan di bagian kaki. Dan alat pijat seperti bola dan berbentuk tangan digunakan untuk mengurangi rasa pegal di punggung dan membantu menggaruk punggung.

Berbagai pahitnya kehidupan telah Pak Diding lalui, pekerjaannya sebagai tukang pijat hanya menjadi pekerjaan sampingan di hari Minggu. Hari-hari biasa ia bekerja menjadi pedagang bersama istrinya di Pasar Katapang, Soreang, Kabupaten Bandung. Berbagai macam dagangan yang Pak Diding dan istrinya jajakan dari mulai berdagang ayam kampung hidup, sayuran, tahu, tempe hingga berbagai masakan. Dari sejak kecil ia sudah mempunyai pengalaman dalam berdagang dengan menjajakan berbagai macam minuman dari sirup yang dijual di sekolah – sekolah dan pengalaman berdagang di pasar.

Kesibukan Pak Diding dan sang istri dalam bekerja sangatlah menyita banyak waktu istirahatnya. Mereka harus mulai bangun pada dini hari pukul 02.00 WIB untuk memasak masakan yang akan dijual, berikutnya pukul 04.00 WIB mereka harus mulai berangkat ke pasar untuk berdagang dan mereka baru pulang ke rumah pukul 13.00 WIB. Sisa waktu dari bekerja tersebut mereka gunakan untuk istirahat sejenak dan mempersiapkan jualan untuk keesokan harinya. Dagangan yang dijajakan kadang tidak habis, masih tersisa tetapi mereka dagangkan kembali keesokan harinya. Namun, berbeda dengan jualan berbagai masakan, hasil dari makanan yang tidak habis mereka bagikan kepada tetangganya ataupun dibuang.

Siapa sangka dari semua kesibukannya ia selama bekerja tidak pernah lupa akan kewajibannya kepada sang pencipta. Ia melaksanakan kewajiban tersebut tepat waktu di sela-sela kesibukannya. Baginya beribadah merupakan jalan untuk melancarkan segala usahanya. Hal itulah yang menjadi prinsip hidupnya dan senantiasa selalu ia ajarkan kepada istri dan anak-anaknya.

Dari penghasilan yang didapatkan Pak Diding, digunakan untuk kehidupan sehari-hari tetapi digunakan pula untuk biaya sekolah anaknya yang terakhir yang masih duduk dibangku kelas 1 SMA.  Penghasilan perharinya yang didapatkan dari menjadi tukang pijat yaitu Rp 150.000 sampai dengan Rp 200.000 dan penghasilan perharinya dari penjualan di pasar dengan istrinya yaitu Rp 70.000 sampai Rp 100.000. Penghasilan dari menjadi tukang pijat untuk satu orang pengguna jasa dihargai 50.000 per jam dengan dipijat seluruh tubuh tetapi jika dipijat hanya bagian tangan dan kaki hanya dihargai Rp 30.000 per ¼ jam. Biasanya Pak Diding mendapat pengguna jasa yaitu lima orang, tetapi jika lagi banyaknya pengguna jasa yang datang bisa mendapatkan hingga 7 orang pengguna jasa. Pengguna jasa yang datang tersebut kebanyakan laki-laki dan yang mengalami keluhan penyakit seperti pegal-pegal, sakit kaki, keseleo dan lain-lain. Pekerjaan menjadi tukang pijat sangatlah melelahkan karena harus mengeluarkan seluruh tenaga agar pijatannya bisa dinikmati oleh pengguna jasa. Namun, menurutnya pekerjaan sebagai pemijat adalah pekerjaan mulia karena dapat membantu orang kesakitan dan menghilangkan berbagai penyakit. “Tidak semua orang ingin dan dapat melakukan pekerjaan mulia ini, karena harus didasari dengan keahlian. Meskipun penghasilan saya menjadi tukang pijat tidak besar, tetapi saya tetap harus bersyukur atas rejeki dari hasil keringat saya sendiri,” ucapnya sambil tersenyum. (Nurani Aulia Oktaviona Putri, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)