ANDA PENGONTROL ATAU DIKONTROL MEDIA?

Ibeb-1

Oleh FEBRIANY EKA PUTR

(Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)

KEBERAGAMAN informasi di era digital saat ini memang sudah tidak diragukan lagi keberhasilnya dalam menembus tebalnya dinding masyarakat yang sangat plural. Semuanya dapat diakses dengan sangat mudah dan cepat, tidak terburu ruang bahkan waktu melalu media cetak bahkan elektronik. Semakin mudahnya informasi yang didapat, maka semakin sulit pula kita sebagai sasaran media tersebut dalam mengolah informasinya, butuh kejelian dan kekritisan dalam mencerna sebuah informasi baru.

Literasi media adalah kemampuan secara efektif dan secara efisien memahami dan menggunakan komunikasi massa (Strasburger & Wilson, 2002). Suatu perangkat perspektif di mana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya (James W Potter 2005).

Informasi yang kadang tidak sesuai umur pun dapat diakses dengan mudah, informasi yang mengandung SARA serta pornografi semakin marak diselipkan beberapa media massa dalam penerbitan informasinya. Berita yang belum jelas kebenarannya serta tayangan yang sama sekali tidak memiliki unsur “mendidik” kian digandrungi generasi muda. Bahkan kerap generasi muda menajadikan tayangan tidak mendidik tersebut sebagai kiblat mereka dalam berperilaku bahkan dalam berpenampilan yang mengakibatkan tidak adanya penyesuaian dalam individu tersebut dalam lingkungan nyata nya.

Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, Pendidikan Literasi Media sangat dibutuhkan bagi masyarakat yang menjadi segmentasi media massa sejak dini. Yang bertujuan agar masyarakat menjadi audiens yang aktif dan tidak terlalu dikuasai oleh media. Karena selama ini, masayarakat cenderung pasif, “menelan” informasi atau tayangan secara bulat-bulat tanpa melalui tahap filterisasi.

Dengan pendidikan literasi media, masyarakat diharapkan menjadi audiens aktif yang cerdas dalam memilah dan memilih tayangan atau informasi yang diberikan media massa. Sehingga tidak adalagi istilah, media massa dapat membodohi audiens.

Terlebih kita merupakan akademisi yang seharusnya menjadi alat dalam mencerdaskan bangsa terutama ikut membatasi bahkan melarang tayangan-tayangan yang kurang mendidik dan dikonsumsi tidak sesuai dengan umur audiensnya. Begitu mirisnya ketika kita sebagai akademisi bersikap apatis terhadap orang-orang terdekat kita yang menajdi sasaran media massa. Alangkah lebih baiknya kita ikut berperan menjadi pemantau tayangan-tayangan yang menjadi masyarakat luas. Dan ketika kita menemukan pelanggaran, kita memiliki lembaga yang akan menindadak lanjutinya yaitu Komisi Penyiaran yang tersebar disetiap kota.