Punten-Mangga di Ufuk Senja

2

Oleh RESTU PUTERI SUJIWO

(Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi, FPIPS, UPI)

PUNTEN, sudah tak asing lagi ditelinga urang Sunda mah-orang Sunda. Biasanya kata punten diiringi balasan kata mangga, di mana dua kata tersebut saling bertautan dan tak terpisahkan. Jika seseorang mengucapkan punten maka lawan bicaranya akan menjawab mangga. Kamus bahasa sunda sendiri, punten memiliki arti maaf, permisi dalam bahasa Indonesianya, sedangkan mangga dalam bahasa Indonesia berarti silahkan (http://kamusiana.com/).

Kedua kata ini juga merupakan salah satu simbol dari identitas budaya orang Sunda, di mana identitas menurut Collier dan Thomas, sebuah proses identifikasi dan penerimaan ke dalam suatu kelompok sosial yang memiliki seperangkat sistem simbol dan makna bersama serta norma yang mengatur tingkah laku (Jandt, 2006:8).

Searle, menyebutkan bahwa berbicara sebuah bahasa adalah menyatukan dengan sebuah bentuk aturan yang diatur oleh pelaku (Stephen W. Littlejohn, 2014:165). Sehingga kunci punteun mangga dapat menjadi ciri khas yang lahir dari budaya masyarakat itu sendiri, sebab budaya diutarakan Taylor  sebagai sesuatu sistem kompleks yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kapabilitas dan perilaku lain yang didapatkan manusia sebagai anggota dari masyarakat (Mindnesset al, 2006:18).1

Pemanfaatan kata punten-mangga ketika bersosialisasi, menunjukkan moral orang Sundan yakni tingginya rasa sopan satun seseorang kepada orang lain, baik dengan orang yang dikenal maupun tidak dikenalnya. Hal itu terbukti nyata, ketika seseorang melewati sebuah jalan kecil (gang) dan seorang atau beberapa warga yang dilewati, menampakkan rasa sopan dan satunnya maka orang tersebut haruslah mengucapkan punten dan orang yang dilewatinya itu secara tidak langsung akan merasa bahwa ia dihargai dan dihormati dan menyahutnya dengan menuturkan mangga. Walau hal itu adalah hal sederhana namun dapat berdampak besar

Nilai, Punteun-Mangga

Zaman sekarang ini telah berkurang orang sunda yang mengatakan punten-mangga. Nyatanya, ketika dipraktekan rata-rata orang mengucapkannya  dengan volume rendah. Biasanya hal ini karena malu, apalagi jika orang yang tak dikenal, akan semakin pelan saja suara yang terdengar. Lebih baik jika percaya diri saja ketika mengucapkannya, tidak ada rugi yang akan diterima. Namun ada juga yang bahkan seperti ayam, yang hanya lewat saja tanpa ada rasa malu akan sikapnya. Aduh, kaduhung pisan euy, eta mah.

Selain itu, punten-mangga juga dapat menunjukan bahwa orang tersebut ingin melestarikan budaya, adat kebiasaan leluhurnya, dan untuk orang non sunda, mereka ingin mengikuti budaya dari tempat yang ditinggalinya atau dikunjunginya. Apalagi orang pribumi siapapun juga akan senang jika orang asing mengetahui budayanya dan bahasanya.

Meski radar punten-mangga berada diufuk senja, jangan sampai generasi selanjutnya tidak tahu menahu kekuatan sepasang kata ajaib yang menjadi salah satu identitas budaya di tatar Sunda karena jika identitas budaya ini terhenti pada generasi kita, kaduhung-sayang sekali. Lestarikan, mun teu ayeuna mah, iraha deui?