Seperti Silet, Hukum harus Tajam ke Atas dan ke Bawah

1

Oleh MUHAMMAD ALI ASSAJJAD FILAIL

(Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)

HUKUM memang seharusnya tak pandang bulu. Walau pelaku pidananya adalah  seorang ahli hukum sekalipun, hukum harus tetap ditegakkan. Ini terjadi karena seperti yang sering dikatakan Bang Napi bahwa, “Kejahatan tidak hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan”. Namun teori tinggalah teori, keadilan dalam hukum tak lagi terlihat di negara kita, di mana hukum ibarat pisau yang hanya tajam pada bagian bawahnya.

Hukum sangat tajam terhadap kalangan bawah sedangkan terhadap kalangan atas hukum selalu tumpul. Kasus di Indonesia banyak sekali. Salah satu contohnya adalah kasus popular seorang nenek, rakyat kecil, mencuri buah coklat yang nilainya tidak sampai ratusan ribu dihukum berat, sementara kalangan atas dan bahkan mereka yang seharusnya menegakkan hukum melakukan korupsi triliunan atau pelanggaran hukum hanya dihukum ringan serta mendapat fasilitas yang nyaman di penjara.

NET
NET

Bahkan banyak sekali kasus pelanggaran hukum yang melibatkan para penguasa yang belum diproses atau tidak diproses sama sekali sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Inilah kenyataan yang menunjukkan hukum menjadi sangat tumpul bagi kalangan atas, penguasa dan penegak hukum sendiri.

Kini, hukum bagaikan sebuah permainan yang dapat diputarbalikan sesuka hati sang penguasa hukum. Ada kalanya pidana yang semestinya hanya mendapatkan teguran ataupun hukuman yang ringan berubah menjadi tindakan yang seakan–akan menyangkut hidup orang banyak sehingga mendapat hukuman yang sangat berat. Namun di sisi lain sangat kontras terlihat perbedaan 180%, di mana para “tikus” (dibaca: Koruptor) yang gemar ngemil uang rakyat dengan tenangnya melenggak lenggok melewati proses hukum dengan mudahnya, bahkan beberapa tersangka korupsi nyaris tak diproses sama sekali.

Situasi hukum di Indonesia sejak berdirinya negara ini sampai sekarang tidak menjadi semakin baik namun malah menjadi semakin amburadul. Para penegak hukum semakin banyak yang tidak dapat dipercaya. Uang semakin merajalela menghambat penerapan supremasi hukum di Indonesia. Maka jangan heran manakala penegak hukum sudah tidak dipercaya lagi, lalu masyarakat semakin banyak pula yang main hakim sendiri.

Pertikaian antar kelompok yang berbeda pendapat atau berebut lahan terjadi di mana-mana dan mencoba menyelesaikannya sendiri dengan cara mereka. Semuanya jadi barbar dan tidak beradab alias biadab. Kalau penegak hukum sudah biadab, maka wajar pula kalau masyarakat juga menjadi tidak beradab lagi

Jika ini semua terus terjadi, apa bedanya negara dengan hutan rimba, di mana yang berkuasa dengan bebas menikmati hidupnya sedangkan kaum tertindas harus rela tetap tertindas. Jika diibaratkan para hukum adalah seekor singa, dan uang adalah kuku tajamnya, maka para kancil kecil tanpa tanduk harus siap diterkam ganasnya hukum rimba tersebut.

Alangkah hinanya sistem hukum jika ketidakadilan dapat digantikan oleh uang, penjara dapat disulap menjadi istana dengan barang mewah didalamnya, ranjang kayu diganti sofa, lantai dingin dan kotor disulap menjadi permadani yang indah, ditambah AC di dalamnya. Bagaimana mungkin hotel bernamakan penjara itu dapat membuat jera para koruptor?

Efek korupsi yang dilakukan para pejabat mempengaruhi pola pikir dan pola hidup masyarakat, sehingga ada yang namanya penimbunan BBM (Bahan Bakar Minyak) hingga manipulasi data kerusakan jalan yang tidak langsung diperbaiki melainkan menunggu rusaknya semakin parah agar biaya yang diajukan semakin besar.

Hukum seharusnya seperti sebuah silet yang sama tajam di kedua sisinya, baik ke atas maupun ke bawah, keadilan mutlak harus hadir dalam kehidupan, mulai dari keseharian kita. Kebiasaan kecil seperti mencontek yang  jika menjadi kebiasaan dapat menyebabkan ketagihan hingga terjadilah korupsi besar–besaran.

Mulai sekarang, mari kita tanamkan kejujuran mulai dari hal terkecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari saat ini, agar keturunan kita bersih dari semua keburukan yang terjadi saat ini.