MENGINTIP KEARIFAN ADAT KAMPUNG NAGA

2EMBUSAN udara pagi menyambut kami turun dari mobil saat tiba di Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung INI terkenal dengan kearifan adat budayanya yang masih sangat terjaga. Meskipun banyak dikunjungi, namun kampung ini bukan merupakan desa wisata.

Kami berkunjung ke Kampung Naga untuk mengerjakan salah satu tugas penelitian mengenai adat istiadat orang Sunda. Kami berangkat menuju Kampung Naga dari Kota Tasikmalaya kurang lebih 30 kilometer. Saat kami sedang berfoto di depan tugu kujang pusaka, ada seorang lelaki menghampiri kami. Cahyan namanya, salah satu tour guide kampung ini.

“Urang mana Neng Jang? Nembean kadieu? Wilujeng sumping di Kampung Naga,” ujar lelaki itu kepada kami. Kami pun menjawab dengan memakai bahasa Sunda dengan logat yang agak aneh kedengarannya. Cahyan menjelaskan bahwa kawasan Kampung Naga ada dua bagian, yaitu bagian atas yang sudah masuk aliran listrik dan sudah modern. Juga bagian bawah yang masih asli belum ada listrik.1

Memasuki wilayah Kampung Naga bagian bawah tersebut kami harus menuruni kurang lebih 450 anak tangga. Selama menuruni anak tangga, kami bisa melihat pemandangan hamparan sawah yang luas. Baru setengahnya menuruni anak tangga, kami berhenti sejenak untuk melihat salah satu kerajinan tangan asli warga Kampung Naga yaitu finger art (seni jari lukis). Seni jari lukis ini dibandrol dengan harga Rp 10.000 potongan kecil lukisan yang berbeda gambar, dan harga Rp 50.000 untuk lukisan kertas ukuran A4. Kami membeli salah satunya untuk oleh–oleh. Kami melanjutkan perjalanan menuruni anak tangga bersama Cahyan hingga tiba di bagian bawah Kampung Naga.

Mata pencaharian warga Kampung Naga ada yang bertani, berkebun, berternak, dan membuat kerajinan tangan. “Masyarakat di sini mengolah rempah-rempah seperti kapulaga untuk menjadi bahan utama kayu putih atau untuk bumbu lainnya, yang dijual 1 kg seharga Rp 40.000,” ujar Cahyan.3

Setiap pagi sebagian masyarakatnya beraktivitas di sawah. Baru sore hari, mereka pulang ke rumahnya. Kegiatan ibu–ibu di Kampung Naga setiap hari kecuali hari Selasa, Kamis, dan Jumat sekitar pukul 19.00 WIB menumbuk padi. Kebetulan saat itu hari Rabu, kami melihat ada beberapa ibu sedang menumbuk padi di lumbung padi umum. Kami pun ingin mencoba menumbuk padi secara bergiliran.

Sajam tiasa kenging sabaraha kilo bu?” ujar saya. “Sajam tiasa kenging 2 kg-an”, ujar salah satu ibu yang sedang menumbuk padi. Mereka juga menanam padi setiap dua kali dalam setahun. Hasil padinya tidak dijual karena dipakai untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Hasilnya disimpan dalam lumbung. Jika ada yang kekurangan makanan maka bisa pinjam dari lumbung padi umum tersebut, karena warga Kampung Naga bersifat kekeluargaan.

Jumlah semua bangunan di Kampung Naga ada 113 bangunan, termasuk masjid, bale kampung, dan lumbung padi umum. Kepala keluarga di Kampung Naga ada 108 kepala keluarga. Penduduk di Kampung Naga ada sekitar 314 orang. Semua rumah menghadap ke utara dan selatan yang berbahan kayu, bambu dan atapnya dari injuk. Rumahnya berbentuk panggung untuk menghindari runtuhnya rumah jika terjadi bencana alam gempa bumi.

Ukuran rumah berbeda–beda tergantung dari rumah yang mereka miliki sejak nenek moyang mereka. Saat itu kami pun diajak Cahyan untuk masuk ke salah satu rumah warga yaitu tempat tinggal Pak Lebe. Saat kami memasuki rumahnya, pemiliknya sedang bekerja. Warga Kampung Naga memang tidak pernah mengunci rumahnya karena tingkat kepercayaan antara mereka sangatlah tinggi sehingga tindak kriminal di Kampung tersebut tidak ada.

Kamar mandi di Kampung Naga seluruhnya ada di luar rumah, karena jika ada kamar mandi yang di dalam tidak akan terjamin kesehatannya. Ada sekitar 60 Kamar mandi di luar rumah penduduk, yang airnya terus mengalir dari pegunungan tanpa takut kekurangan air. Saat kami berjalan mengelilingi Kampung Naga, ada beberapa warga yang sedang mencuci baju di Jarambah tersebut, ada juga anak kecil yang mandi dan berjemur di depan kamar mandi sambil menunggu ibunya mencuci.

Mengenai kepemimpinan di Kampung Naga, ada dua pimpinan yaitu pimpinan formal dan nonformal. Pimpinan formal diambil dari garis keturunan seperti Pak Kuncen, Pak Punduh, Pak Lebe. Itu semua diambil dari garis keturunan. Pemerintah dari nonformal ada RT/RW tugasnya menyampaikan informasi keluar, seperti membuat KTP, karena warga Kampung Naga juga memiliki KTP.

Tidak ketinggalan mengenai pendidikan warga Kampung Naga, semua dari umur 7-12 tahun tamat SD, melanjutkan SMP hanya ada 1 atau 2 orang. Sedangkan tingkat SMA dan Perguruan Tinggi sangat jarang. Lokasi sekolah SD-nya berada deket tempat parkir, di kawasan atas Kampung Naga.

Kesenian yang dimiliki Kampung Naga yaitu Terbang Sejak, Gembrang Gembrung, dan Angklung. Terbang sejak seperti rebana atau nampah yang dipentaskan jika ada sunatan masal, pernikahan, 17 Agustusan. Sedangkan Gembrang Gembrung dipentaskan pada malam hari jika Idulfitri dan Idul Adha datang serta diiringi takbiran, angklung juga dipentaskan pada sunatan masal.

Kampung Naga juga memiliki hari tabu yaitu hari dilarangnya menceritakan tentang sejarah. Pengunjung boleh datang pada hari tabu tetapi tidak boleh menanyakan tentang sejarah. Hukum adat yang berlaku adalah hukum alam, yaitu adatnya tersirat bukan tertulis.

Setelah sekitar 3 jam kami berkeliling di Kampung Naga kawasan bawah saatnya kami naik ke kawasan atas Kampung Naga. Menurut Cahyan, pengunjung tidak diperbolehkan lebih dari tiga jam jika hanya berkunjung kecuali jika kami menginap namun sebelumnya harus memiliki izin minimal sehari sebelumnya. Kami pun menaiki anak tangga kembali menuju ke kawasan atas Kampung Naga. Walaupun lelah yang harus kami rasakan, namun banyak sekali pelajaran yang dapat dari Kampung Naga tersebut. Seperti jika kita makan nasi jangan sampai sisanya ada yang dibuang karena untuk menumbuk padi hingga beras saja dalam waktu 1 jam hanya dapat 2 kg. Banyak lagi pelajaran yang kami dapat. (Leni Mardiani, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)