Mengunjungi Sekolah Hijau

Bandung, UPI1

Matematika, Bahasa Indonesia, PKn, Fisika, Biologi, Sejarah, dan lainnya. Itu hanyalah beberapa mata pelajaran yang diajarkan di sekolah pada umumnya.Sistem pembelajarannya pun berjalan sebagaimana mesitnya. Siswa diberikan PR. Guru menerangkan. Ada pembelajaran secara kelompok untuk membahas sebuah hal. Tapi, lain halnya dengan sekolah ini. Sekolah ini menerapkan sistem yang berbeda. Namanya Sekolah Hijau.

Sekolah ini mengajarkan beberapa kelas antara lain menggambar, membaca, menari, mengaji, dan Bahasa Inggris. Tim pengajar dari Sekolah Hijau ini berasal dari para sukarelawan. Sukarelawan sekolah ini mayoritas adalah mahasiswa. Minimnya sukarelawan mengakibatkan beberapa pelajaran belum dapat diberikan. Seperti halnya kelas teater yang belum mempunyai pengajar.

Sekolah Hijau ini menerapkan system “back to nature” atau kembali ke alam. Sekolah ini didirikan untuk anak-anak yang kurang mampu. Hal unik dari sekolah ini adalah, setiap anak yang mau belajar mereka cukup membayar dengan cara menabung sampah. Setelahitu, anak ini diajarkan membuat kreativitas dari sampah itu.

Kreativitas itu di antaranya membuat barang yang berguna dan bias dipakai dari sisa sampah nonorganic. Anak yang sudah lebih pintar, nantinya akan diminta juga untuk mengajari anak yang baru. Barang yang dihasilkanakan dijual. Dengan begitu, anak diajarkan untuk tetap menghargai hal kecil. Karena dengan sampah saja mereka bias menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Anak yang ada di Sekolah Hijau tidak hanya diajarkan mengolah sampah non organik. Mereka juga diajarkan memilah sampah organik dan non-organik. Untuk sampah organik, mereka diajarkan juga caramemanfaatkannya menjadi pupuk tanaman.

“Sekolah Hijau tidak boleh besar, kecil tapi menyebar,” inilah yang menjadi napas pendidikan alternatif yang dirintis pendirinya yaitu Prapti Wahyuningsih atau kerap disapa Mba Ning. Inimenjadi pendidikan alternatif bagi kaum bawah. (Kendan Yakin M.P., Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FPIPS UPI)