Bandung, Perpaduan Sejarah dan Mode

Bandung, UPI

NET
NET

Pergantian tahun memang menjadi momen yang ditunggu, karena identik dengan libur panjang. Bagi sebagian besar orang kesempatan ini dimanfaatkan untuk berwisata bersama keluarga. Kawasan-kawasan wisata pun seakan berlomba menawarkan fasilitas dan hiburan untuk memanjakan wisatawan. Tidak jarang yang menyiapkan budget lebih demi merasakan momen pergantian tahun yang sudah menjadi tradisi. Salah satu destinasi wisata favorit yang selalu dipadati oleh wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri adalah kota Bandung.

Udara kota Bandung yang masih sejuk, pusat perbelanjaan dan kuliner yang melimpah, serta pesona bangunan-bangunan bergaya Eropa tempo dulu yang tersebar di beberapa titik di kota Bandung, menjadi penyebab pengunjung rela datang meski harus menempuh perjalanan yang macet. Di samping objek wisata dan kulinernya yang khas, Bandung juga di juluki sebagai kota mode. Bila wisatawan berkata kunjungan ke Bandung tidak lengkap jika tidak mengunjungi Gedung Sate, maka hal yang sama dapat dikatakan juga untuk beragam factory outlet yang ada di Bandung.

Sebut saja Riau, Braga, Dago, Cihampelas, dan Paris Van Java yang merupakan kawasan destinasi belanja favorit bagi wisatawan. Masing-masing tempat menawarkan keunikan dan barang-barang berkualitas lokal maupun internasional. Maka tidak berlebihan jika Bandung oleh pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai Het Parijs van Java (Parisnya Jawa). Bagaimana Bandung bisa sampai mendapatkan julukan sebagai Parisnya Jawa?  Jawabannya dapat ditemukan pada sejarah Kota Bandung.photo 1

Pada zaman kolonial Belanda, Bandung dijadikan tempat peristirahatan dan pemukiman orang-orang Eropa di mana mereka tetap mempertahankan atmosfer lingkungan, gaya hidup, makanan, hingga cara berpakaian. Sekitar tahun 1900-1930-an mulai muncul toko-toko dan butik-butik pakaian yang menjual mode terbaru dari Paris. Banyak toko yang menggunakan kata-kata dari bahasa Perancis, contohnya Au Bon Marché, Au Chat Noir dan sebagainya. Tidak hanya itu, penggunaan kata-kata dari bahasa Perancis juga berlaku untuk hal lainnya, misalnya glacier (pembuat es krim), graveur (tukang ukir) horlogerie (toko jam), mode (pakaian trend), café (rumah minum), restaurant (rumah makan), insitut de beauté (klinik kecantikan), dan salon de coiffure (ruang pangkas rambut). Bahkan, lama-kelamaan sebagian dari kata tersebut diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia.

Saat itu pemerintah Hindia-Belanda juga mendirikan kawasan kepariwisataan dengan pusat di Batavia di mana terdapat hotel, restoran, toko dan butik, bank, perusahaan kereta api, dan perkapalan laut. Hal tersebut bertujuan sebagai daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung ke Bandung. Bangsawan Parahyangan dulu memang sangat menyukai baju bagus dan makanan enak. Hal tersebut kemudian berkembang mejadi variasi kuliner dan baju tradisional yang amat beragam. Berbagai macam pakaian yang saat itu tren langsung di impor dari Paris, itulah mengapa baju-baju yang ada di Paris kala itu dapat ditemui juga di sini.

Jika ditelusuri sebenarnya masih banyak tempat bersejarah lain yang berperan penting dalam mengembangkan industri fashion di Bandung. Dengan memiliki dasar sejarah dan potensi mode yang kuat, Bandung bisa saja memperkokoh eksistensinya sebagai pusat fesyen dan mode di Indonesia. Tentu dengan catatan masyarakat dan potensi yang dimilikinya lebih didorong secara berkesinambungan agar secara lokal bahkan internasional ikut aktif dalam setiap kegiatan penciptaan kreatifitas. Bahkan Bandung telah diakui secara internasional sebagai ikon kreatifitas di tanah air. Maka dari itu warga Bandung harus berbangga hati dengan pencapaian tersebut. (Dea Bara Augia, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FPIPS UPI)