Berupaya Menciptakan Iklim Kampus Dewasa

Oong Komar

Oleh OONG KOMAR

(Guru Besar Tetap UPI dalam Bidang Ilmu PLS)

PROSES pentahapan pemilihan Rektor ITB hingga pelantikan, dipandang mulus dan menggambarkan kedewasaan kampusnya (PR, 31/1/2015). Bagaimana untuk kampus yang lain? Tengok misalnya kampus UPI yang pada bulan Mei-Juni 2015 akan juga melaksanakan alih kepemimpinan. Dalam pengamatan sementara kondisi kampus UPI sampai saat ini hanya menunjukkan potensi gesekan halus.

Beberapa indikator potensi gesekan halus di antaranya: (1) ada wacana mengkristalnya pendukung bakal calon, seperti terlihat kelompok dosen yang membincangkan balon yang satu dan kelompok dosen yang membincangkan balon lainnya. Perbincangan ini terlihat hampir di setiap sudut kampus, (2) ada sinyalemen kepentingan para pihak yang berusaha bermain aturan. Seperti dalam pemilihan anggota MWA yang secara domain peraturan tidak ada yang dilanggar, tapi secara domain hati nurani patut bertanya-tanya, mengapa anggota MWA dari akademisi, menunjukkan untuk fakultas tertentu lebih dari satu orang, tapi untuk fakultas lainnya kosong? Begitupun beberapa anggota MWA dari masyarakat, beberapa dosen mempertanyakan mengenai komitmen dan kontribusinya kepada UPI, (3) ada apatisme yang ditunjukkan oleh sikap mereka yang pernah menimpa pengalamannya selama ini dan sikap mereka terhadap analisis pengamatan peristiwa yang terjadi di kampus.

Kiranya masih cukup waktu untuk usaha mengantisipasi dan meredam potensi gesekan halus tersebut, sehingga tidak menjadi power di kemudian hari. Usaha tersebut di antaranya: (1) Rektor melakukan sharing pandangan dengan sejumlah dosen yang bukan anggota SA dan MWA terkait pewacanaan rektor yang akan datang, (2) MWA memikirkan solusi potensi gesekan halus, misalnya rembugan konvensi memilih rektor yang lahir sejak tahun 1975 ke atas.Partere

Oleh karena itu, ke depan harus berusaha menciptakan iklim kampus dewasa agar alih kepemimpinan bisa mulus dengan kedewasaan kampusnya. Menurut Fuad Hassan (1984) fungsi kampus perguruan tinggi bukan terbatas pembentukan kewenangan expertice and skill melalui transfer scientific knowledge, tapi jauh lebih penting membentuk watak kesarjanaan (academic character). Namun persoalannya, populasi insan kampus umumnya memiliki dasar pembentukan watak yang sudah diletakkan pada pendidikan sebelumnya yang seolah melekat relatif tetap.

Ada tiga hal untuk mengatasinya. Pertama, civitas academica yang dipandang telah memiliki watak mantap dengan pendidikan sebelumnya dapat dibentuk kembali dengan pengaruh lingkungan baru dan interaksi dengan dosen. Dalam interaksi tersebut berusaha bersama mendapatkan kejelasan mengenai gejala dan peristiwa dalam pemikiran disipliner baik problematik maupun solusinya. Dosen bahu membahu menggeluti dan menekuni bidang disiplin ilmunya melalui beragam cara. Usaha dosen tersebut hingga terbentuk iklim lingkungan kampus baru yang berciri interaksi watak disipliner melalui sikap dosen secara sadar lebih memilih memikirkan disiplin ilmunya.

Kedua, watak sebelumnya dapat diubah dengan mengaitkan iklim perguruan tinggi dengan kerangka sosial budaya masyarakat. Dosen dalam menekuni disiplin ilmunya, juga sambil melakukan penerapan disiplin ilmunya kepada masyarakat melalui pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi adalah bagian dari cultural make up kehidupan masyarakat, sehingga punya kewajiban terhadap msyarakatnya dalam bentuk kegunaan dan mutu, terutama memenuhi harapan masyarakat dengan melahirkan orang yang siap mengembangkan pikiran dan jasa untuk meningkatkan mutu kehidupan (Fuad Hassan, 1984).

Ketiga, watak sebelumnya dapat diubah dengan menumbuhkan sikap keterbukaan. Civitas academica harus terbuka terhadap pendapat orang lain, betapapun kritisnya. Dosen harus menyediakan reserve terhadap kemungkinan koreksi pemikirannya. Ia harus memberi peluang untuk orang lain mengemukakan pendapatnya. Ia tidak apriori menolak pemikiran yang datang dari luar lingkungannya, bahkan senantiasa membuka diri atas pemikiran orang lain. Civitas academica harus membentuk watak akademik yang disebut academic modesty (Fuad Hassan, 1984).