Aceh Bersama Lima Kabupaten/Kota Siap Bekerja Sama dengan UPI

6Pangkalpinang, UPI

Pemerintah Aceh bersama lima kabupaten/kota di Indonesia siap melakukan dan melanjutkan kerja sama dengan Universitas Pendidikan Indonesia di bidang pendidikan. Lima kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bangka, Kota Pangkalpinang, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Belitung.

“Beberapa bidang yang dikerjasamakan adalah pendidikan inklusi, manajemen kinerja guru dan menyusun renstra pendidikan, advokasi, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan sistem belajar tuntas berkelanjutan,” kata Direktur Kerjasama dan Usaha UPI Dr. Uyu Wahyudin, M.Pd. usai acara Dialog Nasional Pendidikan di Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung, Kamis (21/5/2015).

Hadir dalam kesempatan ini, Wali Kota Pangkalpinang Muhamad Irwansah; Wakil Bupati Bandung Barat Yayat Sumitra; para Kepala Dinas Pendidikan dari berbagai provinsi/kabupaten/kota se-Indonesia; Kepala Bapeda beberapa kabupaten/kota di Indonesia; dan para kepala pendidik di Kota Pangkalpinang.

Dalam dialog nasional yang diselenggarakan Direktorat Kerjasama dan Usaha UPI ini, Rektor UPI menyerahkan UPI Award kepada dua provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Aceh karena dinilai berhasil meletakkan dasar pembangunan di wilayahnya dengan basis pendidikan. Di samping itu, Rektor juga memberikan UPI Award secara khusus kepada Kota Pangkalpinang atas jasanya sebagai tuan rumah Dialog Nasional Pendidikan 2015.

Dalam sesi III, Dialog Nasional Pendidikan menampilkan narasumber Dr. Sumar Hendrayana, M.Ed.; Dr. Djadja Rahardja; dan Dr. Din Wahyudin, M.Ed. Dr. Sumar Hendrayana, M.Ed. menjelaskan tentang lesson study; Dr. Djadja Rahardja menjelaskan tentang pendidikan inklusi; dan Dr. Dinn Wahyudin, M.A. menjelaskan tentang sistem belajar tuntas berkelanjutan (bertuber).7

Dr. Sumar Hendrayana, M.Ed. menjelaskan, UPI selama sudah lama mempelajari lesson study bahkan sudah mulai dikenalkan di berbagai daerah di Jawa Barat. Pendidikan yang selama beberapa abad dilaksanakan di Jepang ini ditargetkan dapat dilaksanakan di Indonesia agar kualitas pendidikan di tanah air semakin meningkat.

Dikemukakan, lesson study dapat dikatakan sebagai the real education, pendidikan yang sesungguhnya. Yaitu pendidikan yang dilakukan tak hanya menggunakan akal, melainkan juga menggunakan hati. Pendidikan menggunakan lesson study berpusat kepada siswa, sehingga menyababkan siswa mampu menyelesaikan proses belajar.

Sementara Dr. Djaja Rahardja menjelaskan bahwa setiap manusia mempunyai hak belajar yang sama, walaupun sebagian dari mereka berkebutuhan khusus. Mereka yang memiliki kemampuan yang berbeda (different ability –difabel) lahir dan besar di dalam masyakat yang heterogen. Oleh karena itu, wajar juga kalau mereka tidak harus belajar di dalam sekolah yang khusus, melainkan belajar di lembaga pendidikan pada umumnya yang ramah terhadap mereka.

“Melalui pendidikan inklusi, kita berarti telah memanusiakan manusia dengan lingkungan yang baik,” kata Djaja Raahardja.

Sedangkan Dr. Dinn Wahyudin, M.A. menjelaskan, potensi peserta didik kurang berkembang secara optimal, karena ada hambatan sistem pembelajaran yang tersekat sekat menurut satuan waktu dan tahun ajaran. Meski demikian, masih ada konsep dan formula daya serap yang kurang sesuai dan kurang memenuhi kaidah belajar tuntas.

Dikatakan, sistem pembelajaran klasikal berakibat pada lambannya proses belajar bagi peserta didik yang memiliki kemampuan lebih tinggi. Dan, pelayanan pembelajaran yang monoton terhadap siswa yang sesungguhnya memiliki potensi, kemampuan dan cara belajar yang memerlukan diversifikasi layanan. Semua anak bagaimanapun ragamnya perlu mendapatkan pelayanan pendidikan.

“Sebab, setiap individu anak berbeda. Di samping, itu siswa sebagai individu yang unik mempunyai hak yang sama untuk mencapai keberhasilan belajar yang optimal. Perbedaan satu individu dengan individu lainya adalah hanya soal waktu (duration of time). Anak harus diberi kesempatan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri,” kata Dinn Wahyudin.

Dia menegaskan, bertuber merupakan prinsip menghargai kodrat individu. Apalagi, siswa dapat belajar dengan baik apabila ditempatkan pada kelompok yang kooperatif di mana satu siswa dengan siswa lainya dapat saling mendukung.

Dengan bertuber, proses pembelajaran yang menghargai keunikan dan perbedaan kemampuan belajar peserta didik secara invidual. Cara ini mendorong percepatan belajar peserta didik untuk memperoleh ketuntasan dalam pencapaian kompetensi. “Maka, perlu mewujudkan proses pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat dan sikap untuk menunjang keberhasilan. Proses pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan kemandirian dan tanggung jawab terhadap keberhasilan belajar (self directed learning),” ujar Dinn.

Dijelaskan, sistem belajar tuntas berkelanjutan (bertuber) adalah proses pembelajaran yang mengembangkan potensi peserta didik untuk mencapai kualitas kemampuan yang dipersyaratkan kurikulum. Secara operasional KTB diartikan bahwa setiap peserta didik: Tuntas mencapai kualitas suatu mata pelajaran sesuai dengan persyaratan yang dinyatakan dalam Kompetensi Pembelajaran Minimal (KPM); Tuntas menyelesaikan pelajaran satu semester berdasarkan beban SKS yang dinyatakan dalam kurikulum; Tuntas menyelesaikan pembelajaran seluruh mata pelajaran pada yang diikuti.5

“Sedangkan berkelanjutan artinya dapat mengikuti pelajaran pada berikutnya walaupun pada akhir pembelajaran (semester/tahun), masih ada kompetensi dasar yang belum dituntaskan (belum memenuhi KPM) pada mata pelajaran tertentu,” kata Dinn.

Berkelanjutan, kata dia, artinya meneruskan pendidikannya (SD, SMP, SMA, SMK ke jenjang pendidikan berikutnya dengan menuntaskan semua tagihan standar kompetensi pada setiap mata pelajaran terakhir. Peserta didik tidak tinggal dan tidak mengulang seluruh mata pelajaran di kelas tertentu, namun wajib menuntaskan kompetensi dasar pada mata pelajaran tertentu yang belum memenuhi KKB pada saat berada/duduk di berikutnya.

Kualitas hasil belajar dalam pengetahuan yang dinyatakan dalam Kriteria Ketuntasan Belajar (KKB) selalu dapat diperbaiki dan ditingkatkan setiap saat baik pada waktu oleh peserta didik, baik pada yang sama maupun di sesudahnya, katanya. Peserta didik adalah subjek dalam belajar sehingga proses pendidikan harus menempatkan kepentingan belajar peserta didik sebagai yang utama.

“Oleh karena itu dalam proses belajar, peserta didik dibantu untuk mencapai kualitas yang dipersyaratkan dari posisi tidak/belum tahu, tidak/belum mau, tidak/belum mampu, ke posisi tahu, mau, dan mampu. Prinsip pendidikan, pengukuran hasil belajar dilakukan untuk menemukan kesulitan belajar peserta didik pada satu titik waktu sehingga guru dapat memberikan bantuan yang tepat sesuai dengan kesulitan yang dihadapi,” katanya. (WAS)