Perempuan Sunda Memiliki Lebih Banyak Citra Postif Dibandingkan Negatif

Bandung, UPI

Novel Handeuleum ‘na Haté Beureum dan novel Prasasti nu Ngancik na Ati mempunyai unsur feminis yang perlu dikaji dan diketahui oleh masyarakat umum, khususnya perempuan Sunda. Penelitian ini menggambarkan citra perempuan yang ada dalam kedua novel, supaya citra positifnya bisa dijadikan contoh perempuan Sunda sekarang dan masa yang akan datang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua novel mengandung citra perempuan yang dapat dijadikan gambaran. Ada dua tokoh perempuan Sunda dalam novel Handeuleum ‘na Haté Beureum dan delapan tokoh perempuan Sunda dalam novel Prasasti nu Ngancik na Ati yang kedudukan dan kepribadiannya dikaji oleh empat kajian feminis, yang meliputi citra fisik, citra psikis, citra perempuan di keluarga, dan citra perempuan di masyarakat.

2-aDari keempat citra perempuan yang dijadikan kajian pokok, bisa dilihat bahwa citra perempuan dalam novel Handeuleum ‘na Haté Beureum dan novel Prasasti nu Ngancik na Ati berdasarkan hal sosial, pendidikan, dan pekerjaannya sudah cukup baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa citra perempuan Sunda dalam novel Handeuleum ‘na Haté Beureum dan novel Prasasti nu Ngancik na Ati sebanding, yakni citra positifnya lebih banyak dibanding citra negatif, yaitu memiliki 21 citra positif.

Karya sastra merupakan gambaran kehidupan manusia. Penikmat karya sastra bisa bercermin pada realitas yang diungkapkan oleh pengarang dalam sebuah karya sastra, baik itu realitas kehidupan sosial ataupun budaya. Koswara (2009: 8) menyebutkan bahwa karya sastra merupakan bagian dari seni yang memiliki ciri mandiri, keartistikan, keindahan, kejujuran, keaslian, serta nilai kebenaran yang halus dalam mencapai tujuan kehidupan manusia yang bijaksana. Artinya karya sastra menuntun manusia untuk berpikir lebih dalam, memahami maksud yang ingin disampaikan pengarang, serta memperhalus budi pekerti melalui nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam isi karya dengan pemikiran-pemikiran yang mendalam.

Salah satu karya sastra yang merupakan gambaran kehidupan manusia adalah novel. Novel merupakan karangan fiksi atau rekaan yang bercermin pada kenyataan sehari-hari, ceritanya relatif panjang, dan menceritakan kejadian yang berkelanjutan. Iser dalam Teeuw (1984: 249) menyebutkan bahwa rekaan bukan merupakan lawan dari kenyataan, tetapi memberitahukan sesuatu mengenai kenyataan. Oleh karena itu novel bisa dijadikan salah satu cerminan kehidupan masyarakat Sunda. Novel bisa menjadi salah satu media untuk menggambarkan berbagai macam kehidupan, contohnya kehidupan perempuan, baik dilihat dari sisi positif ataupun negatifnya.

Salah satu novel terbaru yang menceritakan kehidupan perempuan adalah novel Handeuleum ‘na Haté Beureum (Handeuleum di Hati yang Merah) karya Chye Retty Isnendes yang diterbitkan Yrama Widya tahun 2014 dan novel Prasasti nu Ngancik na Ati (Prasasti yang Tersemat di Hati) karya Popon Saadah yang diterbitkan Green Smart Books tahun 2013. Kiranya dua novel terbaru ini bisa mewakili gambaran kehidupan perempuan masa kini, yang bisa dicontoh karakter positifnya oleh perempuan masa kini dan masa yang akan datang.

Djajanegara (2000: 51) menyatakan bahwa umumnya karya sastra yang menampilkan tokoh perempuan sebagai tokoh utama, maka karya sastra itu bisa diteliti dari segi feminismenya. Culler (1983) dalam Isnendes (2010: 48) menyebutkan jika dalam membaca teks memakai perspektif feminis, pembaca harus menempatkan diri sebagai perempuan. Artinya pembaca harus sadar bahwa dalam teks karya yang dibacanya terdapat suara perempuan yang harus didengar dan diperhatikan lebih dalam (Culler dalam Isnendes, 2010: 48).

Padahal selama ini resepsi pembaca karya sastra di Indonesia, secara umum bisa dilihat bahwa tokoh perempuan dalam karya sastra tertinggal dari pada tokoh lelaki, misalnya tertinggal dalam hal sosial, pendidikan, pekerjaan, kedudukan di masyarakat, serta derajat perempuan sebagai bagian integral dari susunan masyarakat (Sugihastuti & Suharto dalam Rahma, 2013: 2). Hal ini bisa terlihat dari realitas sehari-hari di masyarakat yang digambarkan dalam pembacaan karya sastra. Oleh sebab itulah, dalam artikel ini dipakai perspektif feminisme dalam memberi makna baru pada dua novel Sunda.

Kedudukan tokoh perempuan Sunda

Dalam kedua novel dijelaskan kedudukan tokoh perempuan Sunda dari hal sosial, pendidikan, dan pekerjaan, serta perbandingan citra perempuan Sunda dalam kedua novel baik itu citra positif maupun citra negatif, yang meliputi citra fisik, citra psikis, citra perempuan Sunda di lingkungan keluarga, dan citra perempuan Sunda di lingkungan masyarakat.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Tokoh perempuan dalam novel Handeuleum ‘na Haté Beureum dan novel Prasasti nu Ngancik na Ati tidak tertinggal kedudukannya dari tokoh laki-laki. (2) Tokoh perempuan Sunda dalam kedua novel umumnya mempunyai kedudukan yang baik dalam bidang sosial, pendidikan, dan pekerjaan. (3) Citra perempuan Sunda dalam novel Handeuleum ‘na Haté Beureum dan novel Prasasti nu Ngancik na Ati sebanding, yakni citra positifnya lebih banyak dibanding citra negatif, yaitu memiliki 21 citra positif. (4) Citra perempuan Sunda yang sifatnya positif bisa dijadikan cerminan perempuan Sunda masa kini dan masa yang akan datang.

Masyarakat umum, khususnya masyarakat Sunda, pelajar,dan mahasiswa diharapkan membaca, mengenal, mengetahui, memahami, dan sadar terhadap gambaran umum/ citra perempuan Sunda yang terdapat dalam novél Handeuleum ‘na Haté Beureum dan novel Prasasti nu Ngancik na Ati. Dari kesadaran tersebut, mereka diharapkan bisa mengimplementasikan citra perempuan yang positif dalam kehidupan sehari-hari. (Ai Jamilah, Citra Anisa, dan Mimif Miftahul Huda)