Enggartiasto: Penyelenggara Pemerintahan belum Dedikasikan Langkahnya untuk Bangsa dan Negara

1-5Bandung, UPI

Indonesia baru saja melewati usia 70 tahun. Dalam usianya yang relatif cukup panjang, ternyata bangsa Indonesia banyak tertinggal dari negeri jiran, seperti Thailand, Malaysia dan Singapure. Jangankan untuk membandingkan ketertinggalan Indonesia dengan Korea, salah satu negara yang perkembangan ekonominya sangat luar biasa, bahkan dengan Vietnam yang belum lama melepaskan diri dari perang saudara antara wilayah Utara dan Selatan, mungkin hanya dalam bilangan tahun ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat tertinggal.

“Masalah mendasar yang menyebabkan Indonesia bergerak lambat adalah karena sebagian besar masyarakat maupun penyelenggara pemerintahan, belum sepenuhnya mendedikasikan segala langkah dan perbuatannya untuk kepentingan bersama yang lebih luas, yaitu untuk kemajuan bangsa dan negara serta untuk peningkatan kesejahteraan rakyat banyak,” kata Ketua Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia Enggartiasto Lukita, pada Wisuda Sarjana UPI Gelombang ke-2, Rabu dan Kamis (9–10/9/2015) di Gedung Gymnasium Kampus UPI Jln. Dr Setiabudhi No. 229 Bandung.

Enggartiasto mengemukakan, anggota legislatif, eksekutif dan judikatif dari tingkat pusat maupun daerah, para pengusaha swasta nasional dan BUMN dan bahkan masyarakat di berbagai tingkat sosial ekonomi, masih lebih mementingkan keuntungan, keamanan dan kenyamanan diri sendiri, kelompok atau golongannya saja.1-6

“Mengapa kita tidak pernah mampu menyingkirkan segala prasangka dan pikiran buruk demi kepentingan yang lebih besar? Mengapa kita tidak pernah mampu menyingkirkan ego sektoral yang hanya memikirkan diri, kelompok dan golongan sendiri?Apakah mungkin karena pendidikan yang kita terima selama ini hanya mengandalkan dan mementingkan faktor akademis yang sangat matematis dan kering,” ujar Enggar.

Menurut Enggartiasto, mereka tidak berjiwa dan sama sekali jauh dari empati terhadap makhluk dan lingkungan di mana manusia hidup. Semua sudah melupakan kearifan lokal dan semangat kebersamaan, gotong royong yang dulu menjadi roh pendidikan dan kehidupan masyarakat Indonesia sehingga melahirkan pejuang kemerdekaan yang mampu membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan hanya dengan bambu runcing.

1-1Dikemukakan, pendidikan bukanlah sekadar pengajaran ilmu dan keterampilan jasmani, tetapi lebih mendasar dari sekadar ilmu akademis. Pendidikan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran manusia akan nilai kemanusiaan, tanggung jawab manusia sebagai pemelihara bumi beserta segala isinya. Di sini, moralitas menjadi jauh lebih penting dibandingkan dengan nilai akademis.Nilai akademis tinggi tanpa moralitas hanya akan membawa kehancuran bagi lingkungan, lebih jauh lagi, kehancuran bagi bangsa dan negara serta bagi bumi dan seisinya.

Alumni UPI, kata Enggar, sadar atau tidak sadar, secara moral memiliki tanggung jawab yang berbeda dengan sarjana dari bidang lainnya. Karena, predikat Universitas “pendidikan” yang saat ini merupakan satu-satunya di Indonesia, menuntut alumninya membuktikan bahwa alumninya sesuai dengan perilaku kehidupan sesuai gelar yang disandang. “Almamater hanyalah memberi bekal awal dan dasar pengetahuan untuk diterapkan dalam kondisi riil saat alumni terjun dan menerapkan pengetahuan dasar tersebut ke masyarakat. Untuk kemudian masyarakat yang berarti anak didik, tempat kerja dan lingkungan hidup alumni menilai apakah alumni tersebut mampu menerapkannya,” ujar Enggar.

Penerapannya pun bukan sekadar mengulangi ilmu yang diperoleh di bangku kuliah, ujar Enggar selanjutnya, tetapi yang lebih penting adalah memadukan antara ilmu pengetahuan dengan etika, akhlak dan moral.Sebagai lulusan UPI, mereka dituntutuntuk mengabdikan diri sebagai tenaga pendidikdengan tulus ikhlas. Alumni harus dapat membuktikan kepada masyarakat bahwa alumni UPI berbeda dengan yang lain.Orang boleh lebih pandai, tetapi kepandaian tidak akan ada artinya manakala dia tidak bermoral. (WAS/Dodi/Deny/Andri)***