Inan: “Murid Rumah Pelangi Kadang Hilang”

1-2SORE itu Bandung tidak hujan, bahkan masih terang benderang menambah nuanbsa panas untuk siapapun yang sedang berapda di Terminal Leuwi Panjang, Minggu (11/10/2015). Di sebelah parkiran motor gerbang utama, tepatnya di bawah sebuah pohon, kami melihat mereka tertawa senang, bersenda gurau. Ghinanti Rhinda Dewi (19), Rizki Nauval Mujahid (19), dan murid mereka, Siska (11). Lalu kami bergabung dengan mereka, menikmati kesejukan kecil di tengah panasnya terminal yang menyengat. “lagi pada ngambil buku,” ujar Ghinan menjawab pertanyaan kami perihal anak-anak yang lainnya. Lalu mereka datang bersama Arwan Setiawan (25) dengan membawa satu tas penuh buku-buku.

Ghinan, atau yang lebih sering dipanggil Inan adalah pencetus Rumah Pelangi (RP) tahun 2011 saat ia masih duduk di kelas 1 SMA, tepatnya di SMA Persis di Pajagalan No. 67, Bandung. Saat itu, hatinya terpanggil untuk mengajar anak jalanan yang kerap ia temui di angkot atau pinggir trotoar. Lalu, ia mencari orang dengan visi-misi yang sama. Hingga akhirnya pada tanggal 18 Juni 2012, ia berhasil membentuk Rumah Pelangi beserta 5 teman yang lainnya.

“Anak-anak dan pengajarnya mempunyai backgdound yang beda. Otomatis jika disatukan akan sulit. Tapi seperti halnya pelangi, kuning disatukan dengan merah jadi indah, dengan warna lain juga indah. Begitupun RP,” jelasnya panjang lebar. Rumah Pelangi diharapkan seperti pelangi, yang menyatukan banyak warna hingga menjadikannya lebih indah.

Saat pertama kali terbentuk, mereka mempunyai pengajar yang lebih banyak dari muridnya. Enam banding lima. Ya, hanya lima orang yang tergerak hatinya untuk ikut belajar, di Alun-Alun Bandung. Namun, itu tidak menyurutkan semangat pejuang matahari (panggilan pengajar) untuk berbagi pada anak-anak matahari (sebutan murid).1-1

Sayangnya, KBM di Alun-Alun Bandung tidak berlangsung lama, hanya dua bulan. Hal tersebut karena terpotong libur Idulfitri, sehingga pengajar yang merupakan siswa kelas X SMA (tepatnya pesantren) pulang ke rumahnya masing-masing. Saat mereka kembali ke Alun-Alun Bandung, anak-anak sudah tidak ada, “Mungkin kena razia,” ujar Inan.

Selama sebulan, pejuang Matahari berusaha mencari anak-anak. Namun hasilnya nihil, tidak ada jejak mereka yang dapat menjadi petunjuk keberadaannya. Akhirnya mereka berinisiatif pindah tempat ke Stasiun Bandung, bekerja sama dengan salah satu sanggar di sana. Sayangnya di sini pun tidak lama. Karenaperbedaan visi dan misi dengan sanggar yang bersangkutan. Hingga akhirnya mereka memilih Terminal Leuwi Panjang untuk dijadikan base camp selanjutnya.

Di Terminal Leuwi Panjang, perjuangan dalam menebar kebaikan begitu sangat terasa. Mereka kesulitan mencari anak dan menghadapi para preman. “Kita sering mendapatkan pelecehan kecil dari para preman. Basic kita kan pesantren tentu saja sanagt merasa tidak nyaman,” ujar Inan saat menjelaskan kesulitannya. Para preman mempersulit terbentuknya Rumah Pelangi dengan cara tidak memberikan izin. Mereka keberatan jika harus menyerahkan anak-anak untuk belajar. Hal itu karena satu jam saja mereka tidak mengamen akan berdampak pada penghasilan preman, karena setiap anak atau orang yang bekerja di jalanan, berkewajiban memberikan jatah untuk para preman.

Rumah Pelangi diizinkan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di sana dengan syarat membayar iuran kepada para preman. Mereka bersedia menyerahkan anak-anak dengan catatan perjam membayar sebesar Rp 50.000/anak. Sedangkan belajar gaya Rumah Pelangi berlangsung selama dua jam, sehingga Rumah Pelangi harus membayar Rp 100.000/anak. “Kita yang ngasih ilmu tapi kok kita yang bayar,” ujar Inan dengan mata yang berbinar.

Meski mendapatkan banyak rintangan dari preman, mereka tidak lantas menyerah. Mereka datang ke Terminal Leuwi Panjang setiap hari, melakukan pendekatan. “Kita keukeuh gak mau bayar tapi kita juga keukeuh anak-anak pengen kita ambil,” seru Inan menggambarkan semangat mereka kala itu. Anak-anak tersebut bukan sanak saudara preman, hanya beberapa “jalur rezeki’ yang preman miliki, sehingga Inan dan teman-temannya berani mempertahakan anakl-anak.

Ternyata, perjuangan mereka tidak sia-sia. Para preman akhirnya luluh dan menyerah, memberikan izin kepada Rumah Pelangi untuk beroperasi di sekitar areal Terminal Leuwi Panjang, tepatnya mulai tahun 2013. Kurang lebih dua tahun, Rumah Pelangi bertahan di Terminal Leuwi Panjang, memberikan pengajaran dan ilmu kepada Anak Matahari. Ilmu yang mereka ajarkan lebih ke akhlak dan agama, bukan perihal dunia atau materi.1-3

Namun demikian, harapan Pejuang Matahari bukanlah harapan anak-anak. Kehidupan jalanan adalah kehidupan yang keras. Mereka yang di jalanan secara spontan terdidik secara materil. Mereka berpikir, uang adalah segalanya. Selama mereka punya uang, selama itu pula mereka hidup tanpa perlu memikirkan pendidikan. Perbedaan pemikiran ini mengharuskan Inan dan kawan-kawan menjalankan strategi yang lebih lihai. Mereka masuk ke dunia jalanan, berpikir dengan pola pikir anak jalanan. “Kita berusaha masukin ke logika mereka, berusaha menyederhanakan bahasa,” jelas Inan.

Jika anak jalanan ingin ada keuntungan materi di setiap apa yang meraka kerjakan, maka Rumah Pelangi menarik mereka dengan cara “sogokan”. Setiap hari selama sebulan sebulam KBM, Pejuang Matahari berbincang dengan anak-anak sambil memberi snack ringan. Hal tersebut dilakukan terus menerus hingga akhirnya anak-anak merasa nyaman dan merasa dekat.

Setelah itu, barulah KBM dimulai. Anak-anak matahari diajarkan baca-tulis dan ilmu umum lainnya. Namun yang paling penting adalah akhlak sebagai hamba Allah. Mereka dikenalkan siapa Tuhannya dan bagaimana berkomunikasi dengan-Nya. “Mereka nggak perlu lagi menengadahkan tangannya ke orang-orang karena mereka punya Allah yang Maha Kaya.” Itu point terbesar yang Rumah Pelangi ajarkan. Dengan mengenal Tuhan, seseorang akan tetap bertahan meski sehebat apa pun ujian yang datang.

Selain kegiatan belajar mengajar, Rumah Pelangi sering mendapat undangan tampil di ranah publik. Misalnya diundang oleh balai kota untuk paduan suara. Itu pun menjadi daya tarik sendiri untuk anak-anak matahari. “Rame, sok ada pementasan,” ujar Ramdhan (7) dengan senyum yang mengembang. Ramdhan adalah salah satu murid RP yang mempunyai kemajuan yang pesat. Sejak RP beroperasi di Terminal Leuwi Panjang, Ramdhan sudah berpartisipasi, dan sejak itu pula ia mau bersekolah.

Kieu yeuh ‘R’ teh.” ujar Ramdhan sambil menulis huruf ‘R’ di buku temannya memberi contoh. (Shelin Nurhidayah/Monica Silvia/Citra Anisa/Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)