Media: Publik itu Warga Negara, Bukan Pasar

1-3Bandung, UPI

Sebuah lembaga penyiaran, melihat publik itu seharusnya sebagai warga negara, namun yang terjadi saat ini adalah sebaliknya, mereka melihatnya sebagai pasar karena yang mendominasi industri penyiaran adalah Lembaga Penyiaran Swasta ( LPS), yang mereka kejar adalah rating dan revenue.

Pandangan tersebut ditegaskan oleh Anggota Komisi I DPR RI Arif Suditomo, M.A., saat melakukan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Radio Televisi Republik Indonesia, dihadapan dua ratus mahasiswa Program Studi Pendidikan IPS, Departemen Komunikasi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuian Sosial (FPIPS) dan dari Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis (FPEB), di Ruang Auditorium FPIPS UPI, jalan Dr. Setiabudhi nomor 229 Bandung, Kamis (12/11/2015). Kegiatan ini juga melibatkan Praktisi Komunikasi yang juga mantan Ketua KPID Jawa Barat Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie, M.Si., dan Neneng Athiatul Faiziyah, M.I.Kom., yang juga pernah menjabat Ketua KPID Jawa Barat sebagai narasumbernya.

Perlu diketahui, ujarnya, kami ingin memberitahukan bahwa saat ini sedang berlangsung  proses politik , yaitu ada proses peleburan antara RRI dan TVRI dalam sebuah UU Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) sebagai bentuk upaya penyelamatan agar ada kebanggaan terhadap Lembaga Penyiaran Publik (LPP), publik dilihat oleh media sebagai warga negara dan pasar. RTRI merupakan corong negara bukan pemerintah. RTRI harus menjaga integritas. Gunakan TVRI sebagai interaksi di kelas/perkuliahan. Tambah bagaimana ucapan kita untuk me-rever TVRI sehingga menjadi refensi bagi bangsa Indonesia.1-2

Arif mengatakan,“Swasta atau LPS tidak terlalu peduli terhadap penayangan konten informasi publik tentang kenegaraan atau pemerintahan. Hal ini terjadi akibat sebuah riset yang dilakukan terhadap permintaan publik yang inginnya tayangan sensual, mistis, maka LPS akan mengatakan apa yang kalian mau kita kasih bukan apa yang kalian perlu.”

Sosialisasi ini merupakan sebuah misi Komisi I DPR RI dalam rangka menciptakan situasi baru, keseimbangan baru (equilibrium) dengan meningkatkan kualitas RRI dan TVRI untuk menghentikan stigma publik adalah sebagai pasar, tapi kebutuhan sebagai citizen harus terpenuhi, terangnya.

Lebih lanjut dikatakan,“Kondisi ini (TVRI tidak ada penonton, audiens share hanya 0,25%), tidak boleh dibiarkan terus menerus, kita harus menciptakan kebanggaan terhadap TVRI dengan meningkatkan kualitas produksi, restrukturisasi sumber daya manusia, programing (menata program acara), dan lain sebagainya, sepeti yang terjadi pada masyarakat London yang bangga akan siaran BBC.a

Ada yang salah dengan TVRI, bila kita cermati, sebagian besar anggaran habis untuk belanja pegawai, seharusnya untuk belanja program. SDM telalu penting untuk dikesampingkan, yang harus dilakukan ialah pembinaan, jangan sampai terjadi satu pekerjaan dilaksanakan oleh empat orang, kalau LPS sebaliknya. Oleh karenanya kita berikan kewenangan lebih, legitimasi harus dibangun, LPP harus menjadi kebanggaan warga negara, insfrastruktur pun perlu dibenahi, paparnya.

Menyikapi hal ini, tegasnya, DPR ingin merubah image buruk melalui misi politik yaitu membuat undang-undang, sedangkan publik mulailah dengan misi sosial, mulai menonton TVRI dan mulai mendengarkan RRI, jika jelek buat respon positif atau negatif, itu sebagai bahan pertimbangan. Saat ini progress report-nya sudah sampai draft  akademik.1-1

Arif menegaskan,”Mahasiswa harus mau peduli dalam memberikan respon terhadap tayangan LPP, harus ada kebanggaan terhadap LPP ini bermanfaat dalam penyusunan draft akademik, mahasiswa dapat open mind, mampu memilah dan memilih jenis tontonan yang bagus dan berkualitas.” (dodiangga)