Model Pendidikan Kedamaian Divalidasi di University Tampere

1-2Finlandia, UPI

Tim Universitas Pendidikan Indonesia menggelar diskusi kelompok terpumpun (focused group discussion-FGD) bertema “Pengembangan Model Pedagogi Kedamaian untuk Membangun Budaya Damai pada Jalur Pendidikan Formal”, Senin (9/11/2015), di University Tampere Finlandia. FGD ini merupakan salah satu tahapan dalam penelitian riset unggulan perguruan tinggi  yang didanai Direktorat Pendidikan Tinggi tahun anggaran 2015 sebagai strategi dalam menvalidasi  hasil penelitian.

Tim peneliti UPI dipimpin Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. dengan anggota Prof. Dr. Uman Suherman, M.Pd.; Riswanda Setiadi, M.A., Ph.D; dan Dr. Ilfiandra. Sementara validasi melibatkan dua pakar dari Fakultas Pendidikan, University Tampere, Finlandia, yaitu Prof. Eero Ropo dan Prof. Eija Syarjalainen.

FGD diawali dengan  sambutan Dekan Fakultas Pendidikan University Tampere dan dilanjutkan penjelasan dasar pemikiran pengembangan model oleh ketua tim penelitian Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata. FGD dihadiri Direktur Kerja Sama Luar Negeri University of Tampere dan pakar media pendidikan.

Dalam pemaparannya, Prof. Sunaryo Kartadinata mengemukakan, pendidikan perdamaian bertolak dari asumsi ontologis tentang manusia sebagai makhluk sosial yang sadar nilai. Manusia membangun sistem nilainya dalam keseluruhan rentang kehidupannya. Karena itu, menjalani kehidupan sosial menjadi kebutuhan manusia dalam mengembangkan potensi insaniahnya.1-1

“Kita menyadari, semua orang bisa mewujudkan kedamaian seperti halnya juga  menciptakan kerusuhan. Potensi untuk menciptakan dua kondisi yang bertolak belakang ini terkandung di dalam fitrah manusia, yakni cenderung kepada kebaikan di satu sisi dan godaan untuk melakukan kesalahan dan keburukan pada sisi lain. Pertarungan kebaikan versus keburukan tidak akan mengenal kata akhir,” ujar Prof. Sunaryo.

Dikemukakan, perilaku baik dan jahat adalah bentukan pengalaman. Keduanya dipelajari dalam beragam kontak sosial. Demi mewujudkan manusia yang baik, asupan pengalaman yang menginspirasi bagi lahirnya tindakan terpuji harus lebih dominan dibanding virus yang merusak tata nilai dan sistem kelakuan manusia.

“Ontologi manusia sebagai makhluk sosial yang sadar nilai di satu sisi dan tantangan abadi pertarungan kebaikan versus keburukan di sisi lain menjadi dasar keyakinan bahwa perilaku damai dan preferensi terhadap cara damai dalam menangani potensi konflik dapat dibangun melalui pendidikan,” ujar Prof. Sunaryo.

Mengutip Shapiro (2010), Sunaryo mengatakan, membangun tata nilai individu dan membentuk preferensi anggota masyarakat tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, merupakan tugas utama para pendidik. Secara filosofis, tugas tadi berlandaskan pada kapabilitas dan kewajiban pendidikan dalam menanamkan kesadaran kepada para peserta didik tentang apa makna menjadi manusia, bagaimana manusia hidup dan berhubungan satu sama lain, serta bagaimana manusia berinteraksi dengan-dan menaruh kepedulian kepada lingkungan.

“Kita percaya, bagaimana cara kita mendidik akan menentukan hasil pendidikan. Dalam konteks pendidikan perdamaian, kedamaian bukan hanya menjadi tujuan, tetapi juga harus hadir sebagai climate, sebagai iklim yang menyelimuti interaksi belajar mengajar,” kata Prof. Sunaryo.

Pendidikan perdamaian, kata dia, tidak harus berbentuk mata pelajaran tersendiri. Pendidikan perdamaian bisa dikembangkan sebagai the hidden curriculum, sebagai target dan pesan pembelajaran yang tersembunyi di balik serangkaian interaksi belajar-mengajar yang mengarah pada pembentukan preferensi murid tentang makna, cara-cara, dan keyakinan atas pilihan damai sebagai solusi. Dengan demikian, misi pendidikan perdamaian bisa diajarkan lewat mata pelajaran apa pun, sehingga komitmen mencintai cara-cara damai menjadi efek pengiring (nurturant effect) pencapaian target pembelajaran yang secara formal ditegaskan di dalam kurikulum. (WAS)