Eli Nurlela Andriani: Cum Laude Karena Menjaga Konsistensi

best-1LULUS kuliah dengan memuaskan bahkan dengan pujian (cum laude) memang impian setiap mahasiswa. Namun tidak mudah menjaga impian tersebut agar terwujud sesuai ekspektasi awal. Mungkin saja, saat pertama menjadi mahasiswa, dengan semangat bergelora mendeklarasikan diri untuk mendapat nilai sempurna. Namun seiring berjalannya waktu perkuliahan, datanglah si penggoda iman. Mulai dari ketidak cocokan dengan teman kuliah (misal satu kelompok tugas), dengan dosen, tugas yang bertubi-tubi, sampai event organisasi yang tak henti-henti.

“Godaan saat kuliah tersebut sering membuat kita lupa pada tujuan awal yaitu mencari ilmu sesuai bidang yang ditekuni dengan serius. Lalu sebagian dari kita mulai jenuh kuliah, malas membaca, malas mengerjakan tugas, malas berdiskusi, dan parahnya enggan datang ke kelas,” kata Eli Nurlela Andriani, lulusan terbaik mewakili UPI Kampus Tasikmalaya yang mengikuti Wisuda Gelombang III yang dikukuhkan di Gedung Gymnasium Kampus UPI Jln. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung, Selasa-Rabu (14-15/12/2015).1-5

Perempuan yang lahir  di Tasikmalaya, 8 September 1992 ini mengungkapkan, saat mahasiswa mulai tidak masuk kuliah, teman-temannya pun bertanya, “Kemana saja tidak masuk kelas? Sibuk organisasi ya?” Maka mahasiswa yang mulai malas belajar tersebut pun berujar, “Ilmu kan ada di mana-mana, tidak hanya di kelas… Malah organisasi menyiapkan banyak pengalaman belajar.” Beberapa orang menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat idealis.

Eli yang lulus Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Jurusan Pedagogik, UPI Tasikmalaya ini menjelaskan, sekali-kali memang tidak ada yang menghalangi seseorang berkarya cipta sesuai fitrah dan kapasitasnya. “Di mana saja! Kita mendapatkan ilmu baru sebagai bekal hidup yang nyata. Tetapi jangan sampai kita dilupakan, bahwa keseriusan dalam akademik pun adalah bentuk tanggung jawab terhadap hidup,” ujarnya.1-6

Lalu tentang ilmu kehidupan tak sekadar nilai akademik? “Itu benar adanya, namun kita mesti sadar jika keterjaminan akademik menandakan kita serius memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan ilmu. Sedangkan ilmu akademik selalu menjelma manfaatnya saat sudah jauh terlepas dari kelas,” kata tamatan SMAN 1 Karangnunggal, Tasikmalaya tersebut.

1-4Putri pasangan almarhum Odong dan Oom (almh) menegaskan, ada hal yang amat penting, bahwa memelihara ekpektasi, memelihara harapan, memelihara semangat, adalah kunci pertama dan utama, jika mahasiswa berharap lulus dengan predikat terbaik (minimal terbaik menurut ukuran pribadi).

Harapan akan tetap menjadi sebuah teka-teki, ujar Eli, jika tak ada pikiran yang mencari jalan keluarnya, tangan kaki, dan seluruh anggota tubuh yang melaksanakannya. Maka kunci kedua setelah harapan itu terpelihara dengan baik, adalah usaha yang maksimal. Tapi ia mengaku bahwa usahanya terbatas. Sebab, kapasitas kepalanya juga tak mampu menjangkau harapan.1-1

“Tapi coba kita ingat kembali kisah Sang Kura-kura yang berlomba lari dengan Sang Kancil, bukankah ia lambat? Lalu mengapa ia menang? Kura-Kura walau lambat, ia terus bergerak tanpa henti, usaha tanpa putus asa,” ujar Eli.

Maka perhatikanlah, apa yang menjadi orientasi mahasiswa, katanya selanjutnya. “Jika sekadar nilai A, B, C, lalu apa bedanya kita dengan sambal? Orientasi kita bukanlah angka, tapi kepuasan dalam jiwa setelah melakukan yang terbaik sesuai kapasitas pribadi kita, sesuai kemampuan, sesuai daya upaya yang kita punya.”1-2

Ilmu, menurut Eli, hanya mampu diikat dengan kesungguhan dalam hati yang terang nan lapang. Maka poin ketiga agar mahasiswa lulus cum laude setelah poin “usaha maksimal” adalah kesadaran bahwa“belajar adalah sebuah proses”. Ranah ini berbicara tentang “mentalitas” seseorang. Ketika seseorang memahami bahwa rangkaian kuliah yang melelahkan adalah sebuah proses yang harus ditanggung untuk peroleh ilmu yang barokah (bermanfaat), maka apa pun yang terjadi (baik berkenaan dengan jalan maupun hasilnya), akan menjadikan mereka tetap bahagia dan optimis.

“Karena belajar (kuliah) adalah proses, baik buruk adalah biasa, menang kalah adalah makanan sehari-hari, hidup pun lebih bermakna, karena memaknai perjalanan kuliah,” katanya.

Eli mengungkapkan bahwa musuh dari cita-cita seseorang agar lulus cum laude adalah kemalasan yang dipelihara, rasa malu yang tidak pada tempatnya, dan nafsu diri yang dituruti.1-3

Malas, katanya, menjadi momok bagi mahasiswa, terutama tingkat 3 dan 4. Pola perkuliahan yang dianggap menjenuhkan kadang menjadikan gairah mencari ilmu pun berkurang. Malas menyelesaikan tugas akhir, malas membaca, dan alasan malas lain yang selah dapat dimaklumi, misal malas karena seharian telah mengadakan acara, malas karena ini dan itu.

Malas yang dipelihara, sangat berbahaya, kata dia. Karena, malas yang tiada disadari dan diperangi, akan membuat dirinya jauh tertinggal, dan tak mampu mengejar ketertinggalannya.

Sedangkan rasa malu yang tidak pada tempatnya, sering menghalangi mahasiswa untuk menunjukkan dirinya, malu berdiskusi, malu bertanya, malu mengemukakan pendapat, malu beraudiensi, malu malu dan malu…

“Malu ini bisa membayakan jiwa kekritisan mahasiswa. Malu ini menghalangi ilmu. Malu yang tidak sesuai fitrahnya. Malu sesungguhnya untuk hal-hal yang tidak baik, malu mencuri, malu jika malas, malu jika membunuh, atau malu jika menghina orang lain,” tegas Eli.

Adapun nafsu diri yang dituruti merupakan poin yang amat berpengaruh, ujar Eli. Setiap kita memiliki kecenderungan untuk sesuatu, terlalu mengikuti nafsu diri pada sesuatu tersebut menjadikan manusia terjerumus pada kelalaian, tidak fokus, dan bahkan lupa sama sekali dengan tujuan awal.

“Ya, sejujurnya mudah saja bukan? Lulus cum laude adalah seni dari kekonsistensi. Konsisten memelihara harapan, konsisten berusaha maksimal, dan konsisten sadar bahwa belajar adalah proses, agar hati tetap tenang memanjat doa yang terbaik pada Maha Kholik pemilik cahaya ilmu,” kata Eli menandaskan.

Dia berharap, selepas lulus, sarjana bukan hanya nilai akademik saja yang cum laude, melainkan jiwa sanubari pun ikut ditempa, hingga pantas disematkan di sana kata “jiwa yang terpuji”. Diharapkan, selepas wisuda akademik pun, kehidupan sarjana dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, dan kelak sama-sama mempertanggungjawabkan kehidupan tersebut dengan predikat cum laude kembali, Amiin. (WAS/Dodi/Andri)