Gheafani Fikria Zaki: Meski Terbaik, Merasa Belum Tuntas Menuntut Ilmu

1-6GHEAFANI Fikria Zaki, biasa dipanggil Gea, merupakan anak ke-3 dari pasangan suami istri Dede Halim dan Risytati. Ia merupakan mahasiswi UPI yang lahir dan tumbuh di tengah lingkungan keluarga sederhana, yang tidak berhenti memberikan dorongan motivasi, curahan kasih sayang dan bekal pendidikan agama. Orang tua tentulah menginginkan anaknya menjadi anak yang berhasil tidak hanya di dunia, akan tetapi justru untuk di kehidupan yang kekal yaitu akhirat. Sehingga, salah satu upaya menjadikan anaknya berhasil dunia dan akhirat adalah dengan menyekolahkannya di lembaga pendidikan pesantren.

“Pesantren merupakan pilihan orang tua dan saya. Pilihan tersebut mudah-mudahan dapat menjadikan ladang pahala bagi saya, terutama ilmu yang didapatkan agar dapat diamalkan dalam kehidupan saya sehari-hari. Walaupun demikian, prestasi menjadi sebuah hadiah yang tidak dipungkiri sebagai kebanggaan saya pribadi dan keluarga. Selama tiga tahun berturut-turut di tingkat MA saya mendapatkan juara pertama, dan mendapatkan reward dengan bebas biaya SPP selama tiga semester,” kata Gheafani Fikria Zaki, lulusan terbaik Pendidikan Kesejahteraan Keluarga mewakili Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (FPTK) yang dikukugkan dalam Wisuda Gelombang III di Gedung Gymnasium Kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Selasa dan Rabu (14-15/12/2015).1-1

Bermodalkan pendidikan di lembaga pesantren, gadis kelahiran Bandung 18 Desember 1990 ini mencoba mewujudkan impian melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Lewat perjuangan yang tak kenal menyerah, meskipun sempat mengalami kegagalan SNMPTN pada tahun 2009, tidak menyurutkan semangatnya mencoba kembali menggapai mimpi melanjutkan studi di perguruan tinggi. Akhirnya, dengan usaha, doa orang tua dan dengan seizin Allah SWT, Gea ditakdirkan menjadi salah satu mahasiswi UPI di Departemen Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) tahun 2011.

Sebelum melanjutkan pendidikan di UPI, ketika sempat gagal dalam SNMPTN, pada tahun 2009, putrid pasangan Dede Halim-Risytati ini sempat mengajar di TPA Al-Manaar Margaasih selama satu tahun. Pada tahun 2010, ia mencoba mencari pengalaman di Kota Bogor. Di kota hujan tersebut ia mengajar di PAUD ‘Padu Ceria’ Bogor. Di tempat ini, dia mendapat kesempatan untuk menjadi mentor Pendidikan Agama Islam di LP3i Bogor.1-2

Menuntaskan pendidikan di Departemen PKK dengan tepat waktu baginya sebuah perjuangan dan pencapaian yang luar biasa. Sebab, banyak mahasiswa yang lulus tepat waktu, tetapi lulusan Madrasah Aliyah Persis Cibegol Soreang ini merasa belum tuntas menggali ilmu pengetahuan umum, dibandingkan dengan enam tahun mengenyam pendidikan pesantren sebelum menginjakan kaki di UPI.

“Saya tidak begitu banyak menggali pengetahuan umum, khususnya dalam bidang keilmuan PKK. Pada mulanya saya merasa tidak begitu yakin, tapi saya tetap berusaha maju dengan selalu mengingat betapa sulitnya perjuangan dan banyaknya rintangan sehingga saya dapat masuk ke UPI,” kata mantan Sekretaris Bidang Kesejahteraan HMJ PKK FPTK UPI ini.1-3

Selain itu, dorongan motivasi keluarga dan orang di sekitar juga sangat memotivasi Gea selama kuliah. Sebab, muncul dalam benak pikiran bahwa jika ia berhasil, maka tidak hanya Gea seorang diri yang merasa bangga, akan tetapi orang di sekitar yang selalu memberi motivasi pun akan merasakan kebahagian yang sama. Itulah mengapa Gea sebut ini dengan pencapaian yang luar biasa.

Meski begitu, keyakinan yang mulai tumbuh, juga motivasi yang mulai membara dalam dirinya tidak serta merta bertahan selamanya. Sebab, di tengah perjalanan menempuh pendidikan ini, selalu saja ada rintangan dan cobaan yang datang silih berganti dari lingkungan sekitar. Salah satunya berupa cibiran terhadap pilihan yang diambil. Penting bagi Gea untuk memahami bagaimana pentingnya keluarga yang dibina dengan ilmu yang baik.1-4

“Karena keluarga merupakan sekolah pertama dan utama serta merupakan kelompok sosial terkecil masyarakat. Dari sanalah bermunculan generasi penerus dan pelurus bangsa. Hal inilah yang menjadi harapan besar saya, agar tidak saya saja yang menganggap penting untuk membina anggota keluarga dengan baik, akan tetapi seluruh masyarakat Indonesia, demi Indonesia yang lebih baik,” ujar Gea.

Di tengah cobaan dan rintangan yang dihadapi, dengan izin Allah Gea berhasil mengembalikan keyakinan dan motivasi dalam dirinya sehingga tanpa terasa dan terbayangkan sebelumnya, sampailah dia di penghujung masa pendidikan di kampus UPI dengan meraih predikat cum laude. Lulus dengan predikat cum laude merupakan kebanggaan dalam diri. Namun lebih dari itu, predikat cum laude dirasa olehnya sebagai bentuk amanah yang sangat berat. Sebab, predikat tinggi ini bukanlah akhir dari pembelajaran, akan tetapi awal dari tanggung jawab untuk mengamalkan semua ilmu yang pernah diserap selama masa perkuliahan.1-5

Predikat cum laude, kata Gea, juga bukan merupakan penutup pintu untuk melanjutkan pencarian ilmu pengetahuan lainnya. Maka dari itu, usia tidak menjadi penghalang seseorang untuk terus mencari ilmu. Sebab hanya liang lahat yang tertutup gundukan tanahlah yang menjadi tanda berakhirnya seorang insan untuk mencari, mengkaji, dan mendalami ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. “Tuntutlah ilmu sejak dari kandungan sampai ke liang lahat.”

Gea berharap bahwa predikat cum laude ini bukan menjadi racun pelumpuh semangat, tetapi obat penambah motivasi dan keyakinan yang senantiasa memberi kekuatan bagi diri untuk terus mengamalkan ilmu yang telah diserap dan memberi kekuatan untuk tidak pernah berhenti mencari ilmu. (WAS/Dodi)1-7