Generasi Serba Kekurangan

sm3t 1

Laporan : Intan Ayu Kinasih (Peserta SM3T Angkatan V, Penempatan Kabupaten Mahakam ULU, Kalimantan Timur)

Bagi kami para guru SM3T yang tidak memiliki perahu ces akan menjadi hal yang sangat ribet ketika harus pergi ke luar Laham. Sekedar ke kampung sebelah yang masih satu kecamatan saja repot. Apalagi harus ke kabupaten bahkan Samarinda. Ahhh itu ribet dan rumit. Biayanya selangit. Menghabiskan uang bulanan kami untuk menyambung hidup disini. Maka jadilah kami generasi kurang piknik. Generasi yang tak tersentuh hiruk-pikuk kota dengan kemewahannya.

Adalah Anggit Adi Prasetiyo, S.Pd; Gina Siti Fatonah, S.Pd; Harsono, S.Pd; Intan Ayu Kinasih, S.Pd; dan Miftakhurrohmah, S.Pd., peserta SM3T angkatan V yang bertugas di SMA Mahakam, Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam ULU.

Ketika kami berlima ingin menengok kota, katakanlah hanya pergi ke kabupaten yang bernama Ujoh Bilang. Itu memerlukan uang yang tidak sedikit. Harus menyisihkan uang makan kami yang sudah dijatah setiap bulannya, lebih tepatnya dipas-pasin. Kalau ingin pergi ke kota/kabupaten paling tidak butuh uang 400 ribu untuk biaya ongkos naik speedboat pulang pergi, biaya tersebut jika musim kemarau, namun jika air sedang naik (kata orang-orang sini) yang artinya musim penghujan tiba, itu merupakan hari baik bagi kami yang akan naik speed. Tarifnya turun menjadi 300 ribu untuk pulang pergi.

Maka kami berlima tidak ingin menggantung mimpi bisa bertamasya ke Samarinda. Mungkin kami akan sulit untuk makan setelahnya karena uang jatah bulanan habis untuk foya-foya. Terlalu sayang untuk menghambur-hamburkan uang. Sebab biaya hidup di Laham mahal. Harga hampir dua kali lipat. Nggak tanggung-tanggung. Hidup segetir ini rupanya.

Di desa Laham, listrik tidak berbasis pada Perusahaan Listrik Negara (PLN). Listrik di Laham bersifat mandiri, artinya orang Laham menghidupkan listrik menggunakan mesin diesel yang berbahan bakar solar, milik mereka sendiri. Jam kerja listrik disini dari jam 18.00 WITA (yang kadang-kadang molor menjadi jam 19.00 WITA) sampai jam 00.00 WITA (yang kadang-kadang dipercepat menjadi jam 23.00 WITA). Itu artinya sistem penyalaan listrik di Laham suka-suka penghuni rumah, suka-suka yang punya mesin diesel, tidak serempak. Terkadang juga ada rumah warga yang sengaja memilih nuansa gelap tanpa menghidupkan mesin diesel, sebab mereka tidak punya uang untuk membeli minyak (sebutan untuk solar oleh orang Dayak Laham). Harga minyak disini Rp. 14.000,00/liter. Dan untuk menghidupkan listrik selama tujuh jam membutuhkan 3 liter minyak setiap malamnya. Maka setiap malam butuh Rp. 42.000,00 untuk menyalakan listrik. Berapa rupiah itu mari kita kalikan 30 hari, yang nanti hasilnya akan sangat fantastik. Ini hitungan keuangan rumah tangga yang sangat rumit. Pengeluaran untuk biaya penyalaan listrik dalam satu bulan saja mencapai jutaan. That’s why orang-orang Laham banyak yang memilih membiarkan rumahnya dibalut kegelapan. Listrik disetting sedemikian rupa agar irit, sebab mereka juga butuh pengeluaran untuk makan yang jauh lebih mahal juga. Sementara penghasilan orang-orang Laham bergantung pada ladang. Mereka yang berdagang dan bekerja di ranah pemerintahan Kecamatan berada pada kasta sosial nomer satu. Bebas menyalakan listrik kapanpun.

Berbeda dengan kami berlima yang tinggal di kosan. Kakak Tipung sang pemilik kos (aku memanggilnya Kak sebab aku sudah diangkat menjadi adik) seorang ibu rumah tangga saja, sementara Kak Tului sang suami bekerja di Dinas Sosial. Entah apa jabatannya, yang jelas jika bekerja di ranah pemerintahan, namun jabatannya tidak sebagai kepala atau bendahara alamat bakal menerima gaji per enam bulan sekali, bahkan bisa jadi per tahun sekali bahkan bisa tidak terduga. Itu artinya pemasukan uang rumah tangga mereka bergantung pada izin dari Tuhan. Maka jadilah kami generasi yang tidak mengenal setrika selama satu tahun nanti. Kami berlima sejauh ini belum pernah melihat perwujudan setrika di Laham. Bagaimana bisa kami menyetrika sementara ketika kami berlima serempak mengecharge laptop, listrik langsung kedap-kedip genit lalu mati. Baju kami mengajar tidak pernah tersentuh setrika. Semakin kusut baju mengajar kami, maka kami terlihat semakin ngehits dan keren di depan murid-murid. SM3T banget.

Kosan tempat tinggal kami tidak ada kotak ajaib yang disebut TV, maka kami juga menjadi generasi kurang hiburan TV. Generasi yang ketinggalan informasi paling baru di dunia hiburan digital. Kakak Tipung dan orang-orang Laham sebenarnya punya TV dan kami pun sebenarnya boleh saja ikut menonton. Tapi kami tidak akan ikut nonton bareng lagi, sebab acara TV yang mereka tonton semacam drama kolosal Indonesia atau acara entah apa tidak kupahami.

Masa liburan sekolah semester lalu kami berlima tidak hijrah kemanapun, membusuk di Laham selama dua minggu. Mengerjakan aktivitas yang sama setiap harinya, menyibukkan diri dengan pola yang tak ada bedanya antara hari pertama libur sampai liburan berakhir. Mengenaskan memang. Tapi kami semua menikmati ini sebagai bentuk pengabdian yang sesungguhnya. Belajar mengisolirkan diri dari kemewahan kota, belajar hidup dalam lingkungan yang sepi. Ya, Laham memang kecamatan yang paling sepi di antara kecamatan –kecamatan lain di Mahakam Ulu. Kalau kamu main ke Laham dan ingin jalan-jalan ketika malam, kamu harus membawa senter. Persis uji nyali. Jalanan sepi mirip lorong waktu tanpa ujung. Kenapa harus membawa senter ? Selain karena kampungnya gelap sekali sehingga butuh penerangan ekstra dari senter. Benda menyala yang disebut senter itu juga berfungsi agar kamu tidak menginjak tai anjing yang berserakan dijalan. Pernah kami berlima pulang kos larut malam sekitar jam 01.00, berjalan beriringan sambil merapal doa-doa dan menyoroti jalan dengan senter. Malam itu kami lembur di sekolah untuk urusan akreditasi sekolah. Kampung Laham seperti kampung mati di jam-jam segitu. Sepinya serasa senyap, hanya udara malam yang terdengar di telinga kami. Gelapnya benar-benar gulita. Jangan kaget jika tiba-tiba ada gerombolan anjing disamping kakimu saking gelapnya. Tuh kan SM3T banget.

Liburan sekolah kami isi dengan banyak kegiatan yang bermanfaat. Kami mengajari anak-anak SD segala kelas belajar. Belajar apapun yang bisa kami ajarkan. Membaca, menulis, berhitung, mengenal Bahasa Inggris, mengenal Indonesia dan mengenalkan budaya Jawa lewat lagu-lagu daerah yang kami bisa nyanyikan. Terkadang satu pertemuan menyanyi full. Anak-anak SD itu menyebutnya dengan les, kami menyebutnya dengan belajar dan bermain bersama. Meskipun kami menjadi generasi serba kekurangan tapi mimpi kami adalah mampu mewujudkan generasi emas Indonesia.