Lebaranomics dan Silaturahmi

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

TRANSAKSI ekonomi yang terjadi saat pulang kampung (pulkam) menginterupsi hubungan desa-kota yang timpang dan eksploitatif. Saat pulang kampung bukan hanya terjadi barter antara kue kaleng, kecap, dan minuman penyegar dengan beras, opak, dan kelapa, tetapi juga terjadi tafsir ulang atas hubungan antara manusia dan barang.

Barter ala Lebaran seperti ini lumrah terjadi, termasuk dialami para pegawai dan dosen yang berasal dari kampung.

Mungkin berkah Idulfitri, kalkulasi ekonomi di sekitar Lebaran (lebaranomics) dan hubungan desa-kota lebih fair. Hal ini setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua fenomena berikut.

Kesatu, pulang kampung menurunkan kadar eksploitasi hubungan desa-kota. Bila dalam praktik sehari-hari perekonomian desa didikte oleh pola perekonomian masyarakat kota, maka saat pulang kampung terjadi kesepakatan menyangkut hubungan yang fair dan manusiawi. Orang kampung berada satu marwah dengan mereka yang datang dari kota.

Bila dalam praktik sehari-hari hasil pertanian dihargai murah karena dikurangi biaya angkut, dan sebaliknya barang ekonomi yang dibeli di kota menjadi lebih mahal akibat membengkaknya ongkos kirim, maka pulang kampung mendekatkan lokasi “pasar”. Transaksi tidak terjadi di pusat kota melainkan berlangsung di rumah-rumah di sudut desa.

Kedua, lebih dari sekadar mendekatkan pasar, pulang kampung pun menginterupsi motif melipatgandakan keuntungan berdasarkan prinsip ekonomi menjadi hubungan manusiawi yang dilandasi kasih sayang berasas falsafah lillahi ta’ala. Barang yang dibawa dan dipertukarkan hanya medium, sebagai ungkapan silaturahim, yang tidak dinilai dari harga dan wujud barang namun pesan kuncinya terletak pada keiklasan hubungan penuh kasih dan kekeluargaan.

Praktik terakhir mengoreksi pandangan hidup yang mendewakan barang hingga manusia pun dinilai dengan logika kebendaan. Bahkan karena desakan ekonomi yang bersenyawa dengan nafsu mengkapitalisasi hidup membuat sebagian orang tega mengorbankan orang demi menguasai barang.

Logika hidup perkotaan telah mencerabut akar kehidupan masyarakat desa. Lahan pertanian diubah menjadi pabrik atau pusat bisnis dan perdagangan. Pekerja usia muda pun meninggalkan sawah dan ladang, beralih profesi menjadi buruh pabrik, atau pelayan toko. Hanya mereka yang berusia paruh baya yang setia menggarap lahan pertanian yang menyempit. Namun celakanya pabrik terus-menerus “didemo” hingga pengusaha hengkang. Pabrik gulung tikar. Pemuda-petani yang sudah beralih profesi menjadi buruh pabrik pun gigit jari, dan kini hanya menjadi pengangguran.

Tak banyak yang sadar, mengapa mereka begitu gampang berdemo padahal solusi tak pernah muncul dari jalanan. Tak banyak yang tahu, apakah demo murni didorong ketidakpuasan, atau jangan-jangan ada skenario “tangan kotor” yang menjebak petani jadi buruh pabrik lalu pabrik dibuat bangkrut hingga tak ada pilihan lain kecuali menganggur?

Modus seperti ini tidak hanya terjadi di darat. Eksploitasi di lautan lebih mengerikan. Pantai direklamasi. Aturan tentang reklamasi pun “diatur” menurut kepentingan pemodal. Kavling nelayan tradisional terampas. Bibir laut tempat nelayan tradisional menangkap ikan berubah menjadi pusat bisnis dan kondominium kelas atas. Kini hanya ada dua opsi bagi nelayan tradisional: menangkap ikan jauh ke tengah lautan dengan perahu sederhana (dan ini berarti melipatgandakan risiko dan ancaman keselamatan), atau menyerah pada keadaan, menyisir ikan di tepian reklamasi pantai lalu pulang dengan peti-peti es tanpa ikan.

Di luar dua bentuk eksploitasi di atas, tak terbilang contoh bisnis tipu-tipu. Berpura-pura investasi namun nyatanya mengeruk dana untuk dibawa kabur. Bahkan perdagangan manusia dan penyelundupan anak pun menjadi praktik kotor bisnis antarnegara.

Dalam kultur pulang kampung, hubungan manusia dan barang pun dikoreksi. Latihan ruhaniah selama sebulan penuh sejatinya mengingatkan hakikat barang dan menguatkan marwah orang, yakni mencintai sesama–cinta yang tak pilih kasih, dan melintasi atribut sosial dan asal-usul apa pun–dan memanfaatkan barang demi menyempurnakan keluhuran martabat manusia. Itulah sebabnya, apa yang kita punya saat Lebaran kita bagi.

Dalam konteks lebaranomics, orang-orang yang pulang kampung bukan hanya menumpahkan kerinduannya kepada kampung halaman. Saat bersama sanak famili mereka pun menyambung tali silaturahmi dengan saling mengunjungi, berkontribusi bagi kemajuan sesama lewat saling berbagi, dan menjaga keterhubungan satu sama lain lewat pranata saling memaafkan.

Kita yakin, pandangan yang proporsional terhadap benda dan hubungan antarsesama yang dilandasi kasih sayang akan mencukupkan apa yang kita punya. Meski dalam hidup esok, meminjam lirik B.J. Thomas (dalam lagu Using Things, Loving People) “Mungkin yang kita inginkan tidak kita dapatkan, namun kita akan dapatkan apa yang kita butuhkan: dan yang kita butuhkan hanyalah cinta.***

sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/07/11/lebaranomics-374413