Ahlinya Ahli
|“Hmm, nulis apa ya buat besok weekend segmen tulisan ringan…”, gumam saya seraya duduk di kursi rotan rooftop di malam temaram nan sejuk, seraya menyajikan secangkir kopi robusta “Koffie Fabriek Aroma Bandoeng” panas.
Bicara sendiri (self talk) sudah jadi makanan saya sehari-hari, biasanya dengan self talk, ada saja ide gagasan atau pemantik untuk mulai melakukan sesuatu yang awalnya mungkin rumit karena masih dalam ceruk imaji.
Ternyata, gumaman itu terdengar oleh si empunya kopi. Suami. Pembaca pertama, pembaca setia tulisan-tulisan saya. “Itu bagus, yang kemarin dibahas parenting ibu negara yang sukses..(karena semua anak lanangnya jadi pejabat)”, katanya spontan.
Saya meyakini, ketika kita mengkritisi sesuatu kesalahan orang lain maka apa yang dilakukan orang yang kita kritik itu kelak akan menjadi ujian bagi diri sendiri. Semacam ada validasi dari sang pencipta, begitu! Maka, saya khawatir apa yang saya tulis justru menguji saya di kemudian hari. Karakteristik mesin kecerdasan yang dominan neokortek kiri atas memang begitu, hanya meyakini sesuatu berdasarkan pengalamannya sendiri, bukan kata orang atau pengalaman orang lain. Area kritis di otaknya meletup letup bila ada yang tidak sejalan, tapi kalau sudah naik maqom spirituality, dia akan fana juga.
Okelah, sampai Sabtu pagi selepas terbit fajar (tak seperti biasanya) belum tahu mau menulis apa. Sampai tulisan ini dibaca anda sejatinya logika hati ini sedang berfatwa “tidak ada ide tulisan, adalah tulisan itu sendiri”, jadi menulis saja meski aliran rasa tak bersua pada pena kata.
Menjelang dzuhur, tiba-tiba saya teringat sebuah anekdot tentang seorang ahli tata bahasa naik perahu tambang.
Jadi, ketika itu ia melihat tukang perahu bersiap melaju, mengembangkan layar. “Naik! Berangkat!”, seru tukang perahu. Menganggap seruan tukang perahu tidak jelas, ia berseru pada tukang perahu, “Hei, sudahkah kamu mempelajari tata bahasa?”. “Belum,” kata tukang perahu. Ahli bahasa itu lantas menimpali, “kalau begitu hidupmu sia-sia.” Mendengarnya, tukang perahu itu sedih. Tiba-tiba, angin bertiup kencang meresonansi gelombang di danau yang semula tenang.
Tukang perahu itu berseru pada ahli bahasa, “Hei, sudahkah kamu belajar berenang?”; “Belum”, jawab si ahli bahasa. “Kalau begitu, seluruh hidup dan kepandaianmu akan sia-sia”, jawab tukang perahu. “Sebentar lagi perahu ini akan tenggelam”.
Newton menyebutnya momen Aha!. Ternyata tidak ada ide menulis itu adalah tulisan itu sendiri, benar adanya! Menulis saja, nanti kau akan menemukan. Menemukan apa? Pola.
Semuanya berpola. Pekan pertama di Juni ini punya pola yang sama dengan pekan pertama di Mei. Bagi yang membaca tulisan berjudul “Sebelum terlanjur pikir-pikirlah dulu”, pasti paham.
Ada sebuah percakapan di grup alumni DIIP Fikom Unpad. Pak Asep menanggapi postingan tulisan pak Suherman yang mengkritisi fenomena publikasi jurnal ilmiah terindeks di Indonesia. Tapi kali ini saya tidak sedang menanggapi tulisan yang menampar itu. Sakit tapi tak berdarah, mungkin terlalu hiperbolis. Sederhana saja, yang menarik adalah kata “pakar” yang bersinonim dengan kata “ahli”.
“Cocok janten anggota legislatip” (cocok menjadi anggota legislatif), tulisnya di pukul 08.27 pagi di 6 Juni 2024 menanggapi tulisan pa Suherman, “saya bisanya cuma mengkritik”. Semenit kemudian, pak Asep menulis lagi teks pesan, “Katanya jangan ngaku ngaku pakar klo sedikit atau belum punya publikasi riset di jurnal. Kepakaran sekarang dilihat oleh angka-angka di Sinta, GS, dsb”.
Jemari saya spontan scrolling percakapan WA grup pada dua hari lalu. Dan ya, percakapan itu yang akhirnya “nyambung” dengan ilham anekdot tadi tentang “si ahli bahasa yang…”, menurut anda titik-titik itu lebih pas diisi kata apa ya?
Saya merenungkan kata-kata itu... mempertanyakan kembali “apa iya, dek?” Hehehe. Jangan sampai terjebak dengan logical fallacies (kekeliruan logis).
Logical fallacy itu suatu pola pikir yang salah atau argumentasi yang tidak logis yang seringkali digunakan dalam percakapan sehari-hari maupun dalam berbagai media. Memahami logical fallacy juga penting karena membantu kita mengidentifikasi pola informasi yang memengaruhi pemikiran dan pandangan terhadap suatu masalah atau isu.
Pakar sendiri secara umum berarti mahir, terampil, ahli yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam suatu perdagangan atau profesi.
Seorang pakar/ahli (human expert), seorang individu yang memiliki kemampuan pemahaman yang superior dari suatu masalah. Jadi seorang dosen, pustakawan, biblioterapis, dokter, information specialist, penasehat keuangan, pakar mesin mobil, ahli sedot WC, ahli pasang gigi palsu bisa disebut ahli atau pakar dengan solusinya. Mungkin ada ahli-ahli lainnya yang mau anda tambahkan?
Sinonim dari kata Pakar adalah ahli, expert, spesialis, profesional, dan cendekiawan. Semua kata-kata ini merujuk kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kecakapan yang tinggi dalam suatu bidang tertentu.
Sempat juga terbetik dalam benak secara spontan kata “dago pakar,” dari kisah Raden Rangga Gede dan tangan kanannya bernama Eyang Lada Kasirun. Siapa saja yang ingin beradu kekuatan dengan Raden Rangga Gede, jika kalah maka mesti siap mengubur perlengkapan “perangnya.”. Pakar berasal dari Bahasa Sunda: pakarang atau pakarangan. Alat-alat atau perkakas tempur yang ditanam di daerah Dago Pakar.
Bahkan dewasa ini, sistem komputer bisa menyamai atau meniru kemampuan seorang pakar, yang dikenal sebagai sistem pakar.
Pernyataan “jangan ngaku-ngaku pakar kalau sedikit atau belum punya publikasi riset di jurnal …dst”, benar pada substansi dan konteks akademisi. Sementara jika tidak dijelaskan konteks dan substansinya, maka bisa jatuh pada circular reasoning fallacy. Hal ini terjadi ketika argumen mengulang kembali dirinya sendiri tanpa memberikan bukti atau substansi yang cukup.
Jumat, 7 Juni 2024, saya hadir dalam undangan rapat Fakultas Ilmu Pendidikan bertajuk ” Informasi Kenaikan Jabatan Fungsional Dosen Masa Peralihan Tahun 2024″. Paling tidak untuk menentukan bidang ilmu, seorang akademisi (dosen) mesti mengidentifikasi kualifikasi S3-nya, mata kuliah penugasan terakhir yang sesuai, juga karya ilmiah harus sejalan dengan mata kuliah yang diampu. Singkatnya bidang ilmu ini merefleksikan bidang keahlian atau kepakaran dosen kelak jika menjadi profesor alias ahli (pernyataan internal) atau pakar (pernyataan eksternal).
Soal pernyataan internal dan eksternal ini, illustrasi sederhananya begini: seorang pemasang gigi palsu, menulis plang “Ahli pasang gigi palsu” (mungkin ada pengalaman lihat plang dengan percaya diri dan berani menyematkan kata “Ahli”? ), itu benar dari pernyataan pribadinya atau klinik tempat dia “beraksi”. Sementara para klien atau pelanggan jasanya bisa menyebutnya “pakar pasang gigi palsu,” atau sebutan itu oleh orang atau klinik lain di luar dirinya. Kiranya begitu pendapat dari kreator Andre Ratuanak, soal penyebutan pakar atau ahli.
Dalam kelas S1 (Sarjana) Ilmu Perpustakaan dan Sains Informasi, selalunya “PR” menantang adalah membangkitkan RASA percaya diri mahasiswa ketika mengenyam ilmu di bidang, yang orang awam lihat terkesan hanya menanta buku saja ini.
“Anda beranikah kalau nanti setelah lulus Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Sains Informasi, buka usaha lalu membuat plang “Ahli Informasi”, atau “Spesialis Informasi”, misalnya?”, Tanya saya antusias dan bergairah.
Kelas hening, nampak raut wajah membeku dan pandangan kosong seluas mata memandang. “Ayolah, jangan kalah dong sama “Ahli sedot WC,” “Ahli pasang gigi palsu,” yang begitu percaya dirinya mereka. Padahal mungkin kalau dibandingkan sama anda (para mahasiswa) tentu anda punya kualifikasi S1 (durasi kurang lebih 3.5 sampai 4 tahun), masa belum PD (Percaya Diri) juga?!”, tegas saya, disambut senyum simpul mereka.
Deliberate practice! Berdasarkan pemahaman saya dari buku Outliers: The Story of Success buah penanya Malcolm Gladwell. Tepat di bab keduanya, Gladwell mengenalkan saya konsep 10.000 jam, bahwa kunci mencapai Keahlian sejati dalam keterampilan apapun hanyalah dengan Berlatih 10.000 jam.
“Dengan program S1 selama 4 tahun sekitar kurang lebih 17.520 jam waktu untuk berlatih bidang ilmu ini. Lebih dari 10.000 jam yang digunakan untuk mencapai keahlian sejati. Setiap jamnya adalah peluang yang memberi ruang untuk lebih mengenal diri sendiri, lebih dekat ke karir masa depan anda sebagai ahli informasi atau ahli perpustakaan, masa kalah percaya diri dengan Ahli pasang gigi palsu!”, jelas saya mengompori. Bukan motivator hanya kompor!
“Tapi ingat”, sambung saya lagi. “Pencapaian lebih dari 10.000 jam selama menempuh kuliah ini jangan dimaknai sebagai fokus utama … karena ada hal yang lebih bermakna dalam menentukan pencapaian, yaitu penghambaan pada Allah (ibadah), keluarga, budaya, persahabatan, berkumpul keluarga, olahraga, aktivitas seni, kreativitas, biblioterapi untuk mengasah pengembangan pribadi, jalan-jalan, hubungan suportif yang kita bangun dengan lingkungan sekitar, itu akan menyeimbangkan kehidupan. Worklife balance, alias seimbang”
Lantas, apa arti menjadi “seimbang” bagi anda?
“Mungkinkah segala hal diseimbangkan?”
Terakhir, “apa yang anda butuhkan untuk menstabilkan diri anda menuju keahlian (menurut anda), dan kepakaran (menurut orang lain)?”
Ahlinya ahli, intinya inti. Jawab dengan tenang dan lapang, di Sabtu sore bersama hangatnya hati.
Wallohualambishawab
Rumah terapi buku Wangunsari
Sabtu, 8 Juni 2024
Salam biblioterapi,
Bunda Susan,@susan_motherpreneur.
(Dosen Biblioterapi di Prodi Perpustakaan & Sains Informasi. FIP UPI Bandung). Founder Komunitas Biblioterapi Indonesia: @bibliotherapy.id/rumah terapi buku Wangunsari. Penulis buku seri biblioterapi dan penyedia layanan biblioterapi). Email: [email protected].