Anomali Anggaran

picture-327-1458557164Oleh:

Karim Suryadi

Peneliti komunikasi politik, dekan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, kolumnis Pikiran Rakyat

PEMERINTAH melakukan pemotongan terhadap beberapa pos belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan pemotongan APBN-P sebesar Rp 133,8 triliun. Jumlah tersebut berasal dari belanja kementerian dan lembaga Rp 65 triliun dan pengurangan belanja daerah yang jumlahnya mencapai Rp 68,8 triliun.

Menurut Menteri Keuangan, pemotongan harus dilakukan menyusul adanya pelambatan ekonomi global dan menurunnya beberapa harga komoditas di pasar internasional, yang menyebabkan penerimaan negara berkurang sebesar Rp 108 triliun. Meski terjadi pemotongan, Menteri Keuangan optimis kemampuan APBN dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi tidak akan berkurang karena yang dipotong adalah belanja-belanja yang tidak produktif, seperti belanja pegawai, biaya perjalanan dinas, biaya konsinyering, dan pembangunan gedung-gedung pemerintah.

Sayangnya tekanan ekonomi pada 2016 seolah dilupakan saat menyusun Rencana Pendapatan dan Belanja Nasional (RAPBN) 2017. Pemerintah dan DPR gagal memahami tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Hal ini terlihat dari rencana menaikan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan meloloskan dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kini berpulang kepada Presiden Joko Widodo apakah akan meloloskan kedua usulan tersebut demi dalih menekan korupsi anggaran, atau menolaknya. Setidaknya ada dua alasan untuk menolak kedua usulan tersebut.

Kesatu, menaikan gaji DPRD dan meloloskan dana aspirasi DPR di tengah tekanan ekonomi yang memaksa pemerintah memotong pos-pos belanja yang dinilai tidak produktif adalah sebuah anomali. Selain pendapatan yang diterima anggota DPRD yang sudah besar, juga karena daerah “menderita” akibat pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Menaikan gaji anggota DPRD di tengah pemotongan DAK dan DAU bukan saja menebar aroma ketidakadilan, tapi juga menunjukan gejala gagal paham wakil rakyat di daerah dalam merasakan apa yang dialami masyarakat yang diwakilinya.

Mengacu kepada data yang dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), tunjangan anggota DPRD telah beberapa kali dinaikan, dan kini mencakup 19 item tunjangan, mulai tunjangan kesejahteraan hingga uang pulsa. Masih menurut Fitra, rata-rata total pendapatan Anggota DPRD DKI mencapai Rp 45 juta per bulan, sedangkan di kabupaten/kota lain berkisar antara Rp 30-35 juta tiap bulan. Jumlah ini melampaui gaji yang diterima profesor di perguruan tinggi di Indonesia, atau jenderal bintang empat aktif.

Bila anggota DPRD dan anomali anggaranDPR hendak berjuang demi konstituen di daerah pemilihannya semestinya yang dilakukan adalah mengubah cara-cara mereka berhubungan dengan konstituen. Mereka tidak semestinya menjadikan uang sebagai alat transaksi dengan konstituen, namun membuka akses sehingga keadilan makin terasa, dan setiap orang memiliki ruang untuk memberdayakan dirinya.

Kedua, terkait dana aspirasi sejak awal ditolak banyak pihak. Ada kesan anggota DPR menjadikan projek di daerah pemilihan yang didanai pemerintah sebagai hipotik penjamin sukses dalam pemilu yang akan datang.

Bila projek pemerintah tersalur melalui jejaring partai politik maka dipastikan tidak akan tersebar secara merata. Hanya anggota DPR yang bisa menjalin komunikasi dengan otoritas pusat yang dapat pulang dengan membawa projek. Bila ini benar-benar terjadi, pembangunan di daerah akan menyisakan wilayah terbelakang, yang karena menurut kalkulasi politis tidak menguntungkan maka diabaikan para anggota dewan dan tidak mendapat jatah projek.

Padahal, projek harus disebar sesuai kebutuhan daerah tanpa membeda-bedakan dukungan politik. Masyarakat di mana pun, dan apa pun aspirasi politiknya, berhak menikmati pembangunan dan hasil-hasilnya.

Kepekaan pemerintah dan DPR dalam merasakan tekanan ekonomi dan memilah tindakan yang patut dari sekedar perjudian belaka akan menentukan prioritas belanja negara. Bila pemerintah dan DPR gagal memahami tekanan yang dirasakan masyarakat, maka pemerintahan tidak akan dapat bekerja secara efektif.

Tulisan ini tidak menyertakan masalah rendahnya kinerja legislatif sebagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam meloloskan usulan kenaikan gaji DPRD dan dana aspirasi DPR. Aspek ini sengaja tidak dibahas karena munculnya usulan kenaikan gaji DPRD dan dana aspirasi DPR sudah mencerminkan kinerja mereka yang tidak kongruen dengan harapan publik yang memilih mereka.

Kedua usulan ini tidak akan mengemuka bila anggota legislatif di pusat dan daerah telah memikirkan hal-hal yang menjadi beban ekonomi masyarakat. Tegasnya, kemunculan usulan menaikan gaji anggota DPRD dan meloloskan dana aspirasi DPR menunjukkan bahwa “saraf komunikasi” yang mempersambungkan pemerintah dan anggota legislatif dengan masyarakat telah tersumbat kepentingan politis. Penyumbatan inilah yang menyebabkan munculnya usulan yang dianggap penting oleh DPRD dan DPR namun dipertanyakan oleh masyarakat. Tak heran bila kita masih kerap mendengar sekolah ambruk, anak menderita gizi buruk, busung lapar, bendungan jebol, atau jalan berlubang bertahun-tahun. Bila fasilitas yang dibutuhkan untuk membangun manusia diabaikan, maka jangan harap bangsa kita bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain yang kian progresif.***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/09/05/anomali-anggaran-379223