ARSITEKTUR DAN KOMUNITAS TERJAGA ATAWA TERPENJARA?

M. Syaom Barliana

Pada tanggal 17 Agustus 2021 diberitakan diberbagai media, bahwa ormas Laskar Merah Putih (LMP) dilarang membentangkan bendera merah putih di Jembatan sepanjang 21 meter di kawasan perumahan mewah Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara. Ada dua versi alasan berkaitan dengan larangan itu. Versi kepolisian, larangan bukan karena pengibaran benderanya, tetapi karena mencegah supaya tidak terjadi kerumunan selama PPKM. Versi LMP, pengibaran bendera dilakukan dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, untuk meneguhkan nasionalisme di tengah stigma bahwa perumahan itu dikuasai warga asing. Karena itu, menurut LMP, pengibaran bendera tidak patut dilarang.

Terlepas dari tarik menarik persoalan antisipasi kerumunan untuk mencegah penyebaran Covid19 dengan upaya penguatan nasionalisme, peristiwa itu menyiratkan adanya problema yang khas perkotaan, yaitu segregasi spasial dan sosial. Kawasan PIK, adalah salahsatu perumahan mewah dan elit di Jakarta, selain perumahan Pondok Indah, Kelapa Gading, Kemang, dan lain-lain. Tentu saja, hanya sebagian kecil orang yang bisa membeli kemewahan itu, dan karena itu menjadi elit. Sebagian kecil itu, umumnya dinisbatkan pada warga kaya keturunan Tionghoa, yang mungkin sebagian berkewarganegaraan ganda,  dan ekspatriat asing.

Kawasan perumahan PIK, menurut Theresia (2016), Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI), merupakan salah satu contoh kawasan perumahan mewah yang  diminati oleh konsumen.  Menurutnya,  kawasan ini menjadi favorit karena aspek kepercayaan tertentu terkait faktor keberuntungan.  Bagi keturunan Tionghoa, letak kawasan itu dianggap sebagai Kepala Naga, yang memiliki hoki dan cocok untuk dijadikan tempat tinggal. Alasan lainnya, disebabkan lokasinya juga berdekatan dengan sejumlah pusat bisnis di utara Jakarta, termasuk dengan Bandara Soekarno-Hatta.

Lalu, kemudian muncullah stigma itu. Citra tentang nasionalisme yang rapuh. Tentang apa makna NKRI harga mati dan klaim Pancasialis, ketika sebagian elit penghuni peumahan mewah, merasa tidak menjadi bagian  dari kewargaan kota secara umum. Secara spasial, kawasan perumahan PIK itu, dan banyak juga perumahan mewah eksklusif lainnya,  seolah merupakan enclave tersendiri yang terpisah dan tak tersentuh. Secara sosial, merupakan kelas sosial yang terus  menjauh, dan seolah tak terjangkau.

Terlebih lagi, proses akumulasi dan eksploatasi penguasaan lahan olah para pengembang perumahan mewah ini, untuk sebagian menyebabkan terjadinya marginalisasi kelompok masyarakat menengah bawah. Liberalisasi penguasaan lahan dan ekonomi rente, menyebabkan pemiskinan dan kemiskinan struktural. Ironinya, hal ini tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga banyak kasus pertanahan yang terjadi di wilayah-wilayah pinggiran, ternasuk di luar Jawa. Kasus terbaru yang menarik perhatian publik, adalah konflik penguasaan lahan antara pengembang Sentul City dengan masyarakat desa Bojong Koneng, Bogor. Salahsatu lahan yang diklaim milik Sentul City dengan status HGB, adalah tanah milik aktivis dan pengamat politik Rocky Gerung.

Liberalisasi penguasaah lahan dan akumulasi kapital pada satu pihak, serta marginalisasi dan pemiskinan struktural pada pihak lainnya, melahirkan segregasi sosial dan spasial. Salah satu sebab, tapi sekaligus akibat dari kecenderungan itu, melahirkan apa yang disebut gated community.

Nocholas (2021), mendefinisikan terma gated community menjadi tiga isu. Pertama, mengacu pada pengertian fisik, teritorialitas spasial, yaitu komunitas pada perumahan yang dirancang eksklusif, terpisah, dan terpencil dari bentuk ruang perkotaan lainnya. Kedua, merujuk pada makna sosial,  yaitu  komunitas dengan keamanan terjaga, privasi tinggi,  dan kemewahan pribadi, yang memiliki fasilitas yang  tidak dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat. Ketiga, akibat pengertian pertama dan kedua, melahirkan makna ketiga, yaitu makna simbolik. Karena itu, gated community tidak selalu berarti memiliki gerbang secara fisik, tetapi gerbang simbolik. Meski demikian, pada umumnya perumahan mewah memiliki keduanya, fisik dan simbolik.  Konsekuensinya sama, yaitu perumahan tidak dapat diakses karena hambatan ekonomi, simbolisme rasial, kelas sosial ekonomi, dan hambatan  eksklusivitas psikologi lainnya.

Celakanya, fenomena gated community ini, telah melahirkan dua fenomena turunan yang krusial dan mengkhawatirkan di perkotaan. Pertama, secara spasial, para pengembang perumahan menengah bawah, akibat rezim perijinan dan tata ruang kota yang tidak jelas, melahirkan perumahan kecil dalam bentuk blok-blok dan cluster  di berbagai area kota. Cluster-cluster ini, dengan pagar dan  gerbangnya masing-masing, tidak tersambung satu sama lain, tidak terencana dan tidak terintegrasi dengan tata ruang kota, dan hanya menambah beban infrastruktur yang mendegradasi kualitas lingkungan kota. Hal ini berimplikasi pada fenomena kedua, yaitu gated community tidak hanya berarti komunitas yang terjaga (keamanannya), tetapi bertransformasi menjadi komunitas yang terpenjara. Kini, “penjara-penjara” dan kotak-kotak perumahan dibangun, tidak hanya untuk memisahkan masyarakat kelas sosial atas dengan kelas menengah bawah karena alasan eksklusivitas, tetapi bahkan diantara kelas menengah bawah sendiri.

Komunitas terpenjara, yang disertai dengan semakin miskinnya ruang publik akibat tekanan ekonomi, tekanan penduduk, proses kapitalisasi, dan proses  materialisasi kota yang berlebihan, menyebabkan masyarakat kehilangan wadah aktivitas dan interaksi bersama.   Hubungan kekerabatan antar manusia menjadi dingin dan membeku, modal sosial menipis, individu teralienasi. Saling  hubungan personal antar pribadi yang hangat dan penuh keakraban, berganti menjadi saling hubungan institusional yang dingin dan kaku, serba formal. Mobilitas memang makin meningkat, namun diikuti dengan meningkatnya rasa tidak aman dan ketidakpastian sehingga stress menimpa berbagai kalangan (Barliana, 2010).

Tampaknya penting untuk mengingat kembali konsep Garden City, sebuah gagasan klasik dari Sir Ebenezer Howard. Pada tahun 1898, The Garden City Movement dicetuskan di Inggris dan diikuti penerbitan buku The Garden Cities of Tomorrow, tahun 1902. Metode perencanaan kota ini, menciptakan komunitas mandiri yang berisi area tempat tinggal, industri, dan pertanian, yang dikelilingi oleh ‘sabuk hijau’. Singkatnya, Garden City adalah kota baru yang dirancang dengan banyak tanaman hijau dan ruang terbuka.

Berkaitan dengan isu gated community, relevansi Garden City adalah idenya yang menarik tentang penggunaan bersama ruang terbuka dan fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, tempat hiburan, dan lain-lain. Adalah alamiah  secara ekonomi dan manusiawi secara psikologi, jika terjadi segregasi spasial antara perumahan kelas atas dengan kelas menengah bawah,  dan karena itu untuk alasan komersial bisa sengaja dirancang. Namun demikian, dalam Garden City, segregasi sosial diminimalisasi, aktivitas dan relasi sosial diperkuat, modal sosial ditebalkan, antara lain melalui penggunaan dan interaksi bersama ruang terbuka dan fasilitas publik oleh kelas menengah atas, menengah, dan bawah.

Tentu saja, dari segi tipologi dan bentukan arsitektur, konsep keruangan, kreativitas desain, dan terutama tantangan problema kekotaan yang dihadapi, Garden City adalah sesuatu yang kini ketinggalan zaman. Namun demikian, gagasannya tentang integrasi dan koneksitas  desa-kota, agraris-industri, pusat-pinggiran, kelas sosial ekonomi atas-bawah, tampaknya tetap relevan dan inspiratif. Temanya bahkan bisa diperluas dengan isu isu modernitas-tradisionalitas, globalitas-lokalitas,  lingkungan binaan-alam, dan lain-lain.

Bagaimana dengan rencana ibu kota baru  Indonesia di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur? Bagaimana juga dengan rencana kota-kota baru lainnya? Apakah hanya akan melahirkan generasi baru komunitas yang terjaga, tetapi sekaligus terpenjara? Semoga tidak menduplikasi kekeliruan yang serupa.

Referensi:

Barliana, M. Syaom (2010). Arsitektur, Komunitas, dan Modal Sosial. Bandung:  Metatekstur

Nicholas, Byron (2021). Not all ‘Gated’ Communities Have Gates. Tersedia di: https://www.blackandurban.com/sustainability-habitation/

Theresia dikutip dalam Prasetya, M Yudha (2016). Karakter penghuni Perumahan Mewah. Tersedia di:  https://www.merdeka.com/khas/