ARSITEKTUR DAN SEKSUALITAS (bagian kedua)

M. Syaom Barliana

Tentang hal kedua, hubungan bentuk dan ruang arsitektural dengan seksualitas dan gender, tampaknya harus dimulai kembali dengan ingatan kita tentang seks, seksualitas, dan gender.

Seks adalah perbedaan jenis kelamin, lelaki dan perempuan, yang disebabkan identitas alamiah biologis. Dalam arti sempit, seksualitas adalah orientasi seksual atau predisposisi seseorang terhadap anggota seks. Dalam arti makro, seksualitas mencakup aspek kualitas manusia, berupa pengakuan, penerimaan dan ekspresi diri manusia terhadap seks, orientasi seksual, gender, erotisme, identitas, pengetahuan seksual, keyakinan, sikap, harkat, keintiman, kebiasaan dan perilaku individual.  Hall ini terkait dengan anatomi, fisiologi, dan biokimia dari sistem aktivitas seksual, peran, identitas, kepribadian, maupun pikiran, dan hubungan interpersonal.  Gender, adalah seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang berkaitan dengan dan yang membedakan antara maskulinitas dan feminitas yang dikonstruksi secara sosial.

Dalam konteks telaah ini, seksualitas diartikan secara makro, yang juga mencakup konsep gender. Pertanyaan pokoknya adalah, apakah bentuk dan ruang arsitektural bersifat netral, dan dengan sendirinya menciptakan batas antara laki-laki dan perempuan? Atau konstruksi politik, sosial, budaya dan sejarah yang menciptakan batas batas, menciptakan perbedaan aksesiblitas atas  dominasi gender tertentu?. Pertanyaan kedua ini, tampaknya lebih relevan, dengan melihat bukti bukti berikut.

Seperti telah diulas pada esai bagian pertama, gagasan hegemoni maskulinitas dan patriarki diduga telah mendarah daging dalam masyarakat. Lico (2001) menyatakan, bahwa pemeliharaan ideologi patriarki mengejawantah dalam produksi ruang, khususnya dalam arsitektur dan perencanaan kota. Bentuk dan ruang arsitektur telah menjadi instrumen pemikiran politik tubuh spasial yang mengatur dan mengartikulasikan tatanan sosial, herarki, polaritas, dan stereotip peran gender. Pembingkaian bentuk dan ruang arsitektur secara patriarki, tidak dapat disangkal telah mengistimewakan representasi kekuatan maskulin. Sebaliknya, kurangnya representasi tubuh dan pengalaman perempuan dalam struktur spasial, menciptakan kemungkinan subordinasi dan eksploitasi.

Dalam hal bentuk arsitektur, tubuh manusia, mungkin lebih tepatnya tubuh laki-laki, kerapkali menjadi metafor kuat dalam desain bangunan dan kota.  Menurut Plowright (2018), metafora tubuh manusia telah hadir dalam teori arsitektur sejak awal dan tercatat dalam teks de Arhitectura (abad pertama Masehi) dari Vitruvius, dan juga Alberti (1452). Vitruvius menetapkan simetri sebagai prinsip arsitektur paling baik, yang mentransfer dari kualitas tubuh simetri manusia ke dalam desain bangunan.  Secara harfiah, menganalogikan bangunan sebagai tubuh entitas biologis yang harus menanggung masalah kesehatan dan perlindungan yang sama, menyangkut iklim, panas matahari, angin, suhu). Alberti memperluas aspek tubuh manusia sebagai sumber makna, yang menghubungkan secara langsung referensi tubuh dengan elemen bangunan. Misalnya, analogi konstruksi atap sebagai tulang, otot, panel pengisi, dan kulit. Di beberapa tempat, pada arsitektur tradisional di Nusantara, dikenal juga struktur atap, kolom/dinding, dan pondasi/tapak/lantai/kolong sebagai personfikasi dari kepala, badan, dan kaki.

Sekaitan dengan metafora itu, lagi lagi tubuh maskulin adalah titik keberangkatan metaforis yang disukai dalam perancangan bangunan. Sanders (2015) dan Mamuna (2021), mengutip novel The Fountainhead yang ditulis Ayn Rand (1943, untuk menggambarkan pikiran kuasa maskulinitas dalam arsitektur. Sang tokoh adalah Howard Roark, arsitek yang berdiri telanjang di tepi tebing granit, mengamati pemandangan lembah berhutan di bawahnya. Wajahnya seperti hukum alam, sesuatu yang tidak dapat dipertanyakan, diubah, atau dimohon.  Fisik Roark yang kuat, terdiri dari garis dan sudut yang panjang, tegas, dan lurus, setiap lekukan seolah dipecah menjadi bidang-bidang, terlihat seperti siluet di langit. Figur itu, seperti deskripsi rumah terkenal Frank Lloyd Wright, “Fallingwater,” dengan komposisi bentuk geometris keras, berlawanan pengaturan hutan yang alami.  Roark, sebagai presentasi pria ideal, menggambarkan arsitek protagonis laki-laki, yang mewujudkan esensi kejantanan pada bentuk struktur bangunan. Novelis Rand, seolah menggabungkan tubuh arsitek lelaki dengan lanskap yang mengangkatnya, suatu prosa yang memasukkan maskulinitas arsitektur pada dunia alami yang transendental.

Pernyataan narsistik Roark, melalui ungkapan tubuh dan kata kata, menurut Sander lebih lanjut, menggemakan kembali kata-kata arsitek dan teoritisi Barat dari Vitruvius hingga Le Corbusier. Dalam upaya untuk menemukan dan memperbaiki prinsip-prinsip dasar arsitektur dalam visi alam transhistoris, mereka membenarkan praktik struktur yang dibangun dengan kebajikan maskulin, mengklaim bangunan memiliki integritas, sama seperti laki-laki. Demikianlah, maskulinitas arsitektur Rand menawarkan salah satu gagasan paling dramatis, meskipun tentu bukan yang paling pertama, bahwa bangunan berasal dari bentuk manusia itu sendiri, khususnya dari integritas, skala, dan proporsi tubuh laki-laki.

Salah satu contoh ekspresi maskulinitas, adalah bentuk arsitektur Menara Turning Torso Calatrava, di Malmo, Swedia. Meskipun menggunakan bentuk yang bergerak, berputar secara perlahan dan berkelanjutan di atas cakrawala Malmo, namun imajinya berasal dari bentuk torso tubuh laki-laki. HSB Turning Torso, adalah sebuah hunian pencakar langit, yang dirancang oleh arsitek, pematung, dan ahli struktur Santiago Calatrava. Menara raksasa ini, terdiri atas 54 lantai ini, dengan sumber energi terbarukan, yang berputar 90 derajat secara penuh dari atas ke bawah.

Berbeda dengan Calatrava, arsitek postmodernis Frank Gehry mencoba mengungkapkan dialog hetero seksualitas dan gender, melalui karya arsitektur The Dancing House, atau dikenal sebagai Fred and Ginger. Gehry menggunakan konstruksi, material, dan detail tertentu untuk mengekspresikan harmoni maskulinitas dan feminitas. Sosok feminin Ginger ditampilkan dalam bentuk ramping, meliuk, melengkung, dengan permukaan kaca bercahaya, disandingkan dengan Fred di sebelahnya yang mengekspresikan sosok maskulin, melalui struktur beton yang berat. Kekuatan Fred dalam materialitas beton, dengan struktur kolom berglazur, terkesan ringan menyentuh tanah. Lalu bentuk permukaan transparan Ginger muncul, seolah-olah dia dengan anggun diangkat melawandan sekaligus menawan Fred.

Dalam hal ruang arsitektural, secara sadar atau tidak sadar, dominasi maskulinitas dan subordinasi feminititas, dengan stereotipe yang menyertainya, juga banyak terjadi. Rashid (2021), antara lain memberi contoh tentang desain interior dan eksterior. Menurutnya, kerap terjadi pembagian ruang secara seksual, interior dengan sisi fenimin arsitektur sebagai perempuan dan eksterior adalah sisi maskulin laki-laki. Demikian pula, dengan anggapan  berkelanjutan tentang domestikasi wilayah dan ruang perempuan.

Padahal, perempuan kini memiliki wilayah teritori yang sama dengan laki-laki, baik di dalam maupun di luar rumah. Jika dulu, ruang-ruang wanita itu dominan di area dapur, su­mur, dan kamar tidur, maka aktivitas dan jelajah ruang itu tidak lagi terbatas. Demikian pula pada laki-laki, banyak stereotipe peran yang tidak lagi berlaku. Laki-laki memasak di dapur, laki-laki menyusui anak (dengan botol susu), laki-laki mengganti popok bayi, adalah tindakan dan ritual yang normal. Hal ini mengilustrasikan pemahaman, bahwa pada hakikatnya perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama dalam merawat anak dan mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal sederhana  memasak, menjaga anak, atau mengganti popok.

Realitasnya, pada ruang ruang publik arsitektur dan kota, diskriminasi gender masih banyak terjadi. Keberadaan kaum perempuan yang semakin aktif di luar rumah, tidak sebanding dengan pemenuhan hak-haknya oleh layanan produk-produk arsitektural. Desain arsitektur yang sensitif gender, peka disabilitas, dan ramah anak, masih menjadi produk langka. Desain universal yang berpihak pada semua gender, memperhatikan individu berkebutuhan khusus, dan mewadahi eksplorasi anak-anak, dalam praktek masih belum menjadi kultur desain arsitektur.

Sedikit contoh sederhana berikut, harus menjadi stimulus dalam perancangan ruang publik arsitektur dan kota: Proporsi jumlah toilet yang harus lebih banyak dan lebih luas dari toilet laki-laki, mempertimbangkan lama waktu pemakaian dan ruang gerak yang berbeda. Lebih baik, jika ada ruang tunggu untuk suami atau istri; Ketersediaan ruang menyusui tidak hanya untuk ibu dan anak, tetapi juga suami sebagai pendamping. Termasuk juga, untuk laki-laki yang menyusui anaknya dengan susu botol; Kehadiran ruang ganti popok bayi tidak hanya untuk ibu, tetapi juga tersedia untuk ayah secara terpisah; Ketersediaan fasilitas bermain anak; dan lain-lain.

Demikianlah, sebagai arsitek, tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana  menciptakan lingkungan binaan yang sensitif  dan membebaskan diri dari konstruksi stereotipe gender. Arsitektur harus membentuk struktur emansipasi dan agen social perubahan, yang pada satu sisi mengejawantahkan perspektif gender, tetapi pada sisi lainnya tetap memberi akses pada keberbedaan fisiologis perempuan dan lelaki. Representasi perempuan dan laki-laki, harus diberi tempat yang seimbang dalam rancangan bentuk dan tatanan ruang arsitektur dan kota.

Bersambung ke bagian tiga (terakhir)…..

Referensi

Lico, Gerard R.A. (2001). Architecture and Sexuality: The Politics of Gendered Space. Humanities Diliman (January-June 2001) 2:1,

Plowright, Philip D. (2018).  Extending Skin: Architecture theory and conceptual metaphors. Lawrence Technological University, Southfield, Michigan. Tersedia di: https://arcc-journal.org/index.php/repository/article/

Rashid, Mamuna  (2021).  Architecture and Gender: Are gendered spatial arrangements used to implement sexual segregation and stereotypical roles? Oxford Brookes School of Architecture. Tersedia di: https://www.academia.edu/32429318/Gender_And_Architecture.

Sanders, Joel (2015). Stud: Architectures Of Masculinity. New York: JSA. Tersedia di: http://www.joelsandersarchitect.com/