Arsitektur dan Spiritualitas

M. Syaom Barliana

Religiusitas dan spritualitas adalah sesuatu yang fitrah manusia. Kondisi kehidupan manusia yang penuh ketidakpastian, kegentingan, dan senantiasa dihadapkan pada situasi yang tak terduga, menghadirkan perasaan tidak aman dan kecemasan eksistensial. Hal ini menyebabkan dorongan dan hasrat mencari sesuatu untuk  bergantung, untuk berlindung. Hal ini diakomodasi dalam praktik keberagamaan dan spiritualitas, suatu keyakinan metafisik, tekstual, dan tentu saja perilaku.

Religiusitas dan spiritualitas adalah dua terma yang sesungguhnya berbeda, namun saling melengkapi satu sama lain. Religiusitas kerapkali disematkan pada  praktik-praktik ritual dan simbol-simbol keagamaan. Melampaui hal itu, spiritualitas merupakan esensi keagamaan itu sendiri, yaitu keterhubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang langsung berdampak kepada perilaku dan tindakan moralitasnya.

Dalam konteks arsitektur, religiusitas dan spiritualitas dapat ditelaah paling tidak dari empat hal.

Pertama, keberagamaan memerlukan praktek ritual peribadatan, sebagai suatu perwujudan keyakinan. Arsitektur, sebagai lingkungan binaan, secara material, mewadahi kebutuhan itu. Arsitektur, menciptakan tempat dan ruang sakral, yang mengomunikasikan keyakinan dan mengakomodasi ritual komunal. Barrie dan Bermudez (2012), menyatakan bahwa di antara beragam alasan dan tujuan, orang sengaja menciptakan tempat-tempat suci untuk memberikan makna metafisik dan spiritual, karakter, dan pemaknaan melalui elemen bentuk arsitektur,  fungsional, material, geografis, historis, simbolik, ekspresi tekstual kitab suci. Produknya berwujud  ruang, tempat, atau bangunan untuk aktivitas keagamaan, yang diyakini menimbulkan pengalaman spiritual.

Kedua, pengalaman spiritual, dengan demikian tidak hanya diperoleh melalui ritual sebagai perwujudan keyakinan yang transendental, tetapi juga suasana arsitektural.  Objektivitas arsitektur, melalui tipologi, bentuk, struktur, material dan fungsional bangunan, harus mengekspresikan dan menfasilitasi subjektivitas spiritualitas.  Demikianlah, pengalaman spiritualitas tubuh, perasaan, dan batin seharusnya dihasilkan dari interaksinya dengan ruang dan bangunan, sembari meluaskan pandangan dan menyelami keindahan ciptaan dari Sang Maha Pencipta. Merasakan kehadiran-Nya.

Ketiga, dari sisi Arsitek sebagai kreator arsitektur, tidak tak terbatas hanya pada bangunan religius, tentu harus menyelami, menghayati, dan mempraktekkan metoda desain yang tidak hanya bersifat teknikal, tetapi juga spiritual. Ada sejumlah contoh, yang bisa menjadi inspirasi, ketika mendesain tidak hanya dianggap sebagai mengolah material yang banal, tetapi juga berarti mengolah batin yang subtil.

Salahsatu contoh klasik, adalah John Ruskin (1819-1900), seorang Arsitek dan kritikus seni, yang terlibat dalam revitalisasi arsitektur gereja Gothic di Inggris, bahkan sejak 1849 telah mempublikasikan “The Seven Lamps of Architecture”, berupa prinsip-prinsip perancangan arsitektur, yang berdimensi spiritualitas (Ruskin, 1989).

Tujuh cahaya lampu arsitektur itu, adalah: Sacrifice. Ruskin meminjam dari Injil untuk menjelaskan konsep pengorbanan ini. “Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan”. Melakukannya dengan baik seolah-olah Arsitek sedang mencoba untuk menyenangkan Tuhan dengan desain dan kriya; Truth. Bangunan harus jujur dalam  menampilkan diri dan menyajikan kebenaran. Tidak ada fasad mewah menyembunyikan konstruksi yang buruk. Tidak ada kayu berpura-pura menjadi batu; Power. Sebuah bangunan adalah bentuk, massa, dengan skala besar dibandingkan dengan manusia. Ia memiliki efek mengintimidasi. Arsitek harus  menampilkan bentuk ini dengan  efek terbaik, supaya tidak terasa menekan tapi merangkul; Beauty. Ruskin mengacu pada kulit dan ornamen. Dia sangat tertarik pada alam, karena alam adalah guru untuk belajar tentang keindahan.  Oleh karena itu seni arsitektur dan ornamennya harus meniru bentuk dan garis  yang dilihat di alam. Jika kolom tampaknya indah, itu karena dilihatnya dalam batang tanaman di sekitar. Jika lengkungan menyenangkan untuk mata,  itu karena bentuknya yang pertama menyenangkan sebagai bentuk daun;  Life.  Bangunan dibuat dengan tangan-tangan terampil manusia, tukang batu, pemahat dan tukang kayu. Kehidupan pembangun harus terkoneksi dengan bangunan. Ruskin menentang produksi massal bangunan dan setiap inovasi yang menurunkan kadar keterampilan bangunan; Memory. Bangunan harus mencerminkan budaya dan apa yang terjadi di sekitarnya. Ruskin bukan seorang yang progresif, tetapi konservatif. Ia menganut konsep bahwa perubahan bertahap adalah sesuatu yang harus dipercaya;  Obedience. Akhirnya, Arsitek dan masyarakat harus menghargai setiap karya arsitektur yang dibuat sebagai suatu persembahan, kejujuran, kekuatan, terkait dengan kehidupan, keindahan, dan kenangan atas sejarah.

Keempat, pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa religiusitas lebih berkait dengan praktik-praktik ritual dan simbol-simbol keagamaan, yang seharusnya berdampak pada spiritualitas. Spiritualitas dicerminkan dalam perilaku, tindakan moralitas, dan akhlak yang baik. Untuk itu, poin keempat ini, berbicara tentang spiritualitas Arsitek.

Dalam konteks arsitektur, lingkungan binaan, dan relasi manusia dengan lingkungan alam, Barrie dan Bermudez (2012), mengungkapkan terma spiritualitas kontemporer, yang menawarkan perspektif  berkelanjutan,  restoratif, dan bertujuan untuk mengatasi masalah besar zaman ini. Masalah-masalah itu, antara lain, eksplotasi berlebihan terhadap alam, deforestasi, yang mengakibatkan perubahan iklim global, pemanasan global, limbah tak terkendali, bencana alam seperti banjir, longsor, dan lain-lain. Spiritualitas Arsitek, seharusnya mampu menawarkan solusi holistik terhadap permasalahan kontemporer tersebut.  Sustainable architecture, adalah salahsatu solusi teknikal, dan juga seharusnya spiritual.

Kenyataannya, Paramita (2021), menyatakan dalam sustainable architecture,  keselarasan arsitektur dalam sosial-budaya (perilaku dan tatanannya) serta alam (tempat berpijak/bernaung) masih belum merupakan gaya hidup yang menjadi kebiasaan-kebiasaan kecil. Mengolah dan menanam sampah (bukan membuang), memanfaatkan elemen alam (air, tanah, udara, matahari),  dalam praktik arsitektur masih sebatas  jargon  hitam putih. Pemenuhan indikasi keberlanjutan, masih terbatas sekedar memenuhi  penilaian peratingan green architecture.

Selanjutnya, Paramita juga mengkritisi pendidik dan  pendidikan arsitektur. Apakah para pendidik arsitek(tur), sudah  menghasilkan generasi-generasi yang siap menghadapi kondisi alam-sosial-ekonomi? Menurutnya, perlu dibumikan kembali fungsi arsitek sebagai khalifatullah fil ardh, sebagai pengolah avatar – air, udara, tanah dan matahari. Apakah kurikulum dan proses pembelajaran sudah mengintegrasikan konsep 5 K, estetika (keindahan) terhadap kinerja: kekuatan, keselamatan (struktural); keamanan dan aksesibilitas (utilitas); kesehatan; kenyamanan (matematis, fisis/ologis, biologis, dan kiamiawi). Aspek bentuk dan tata ruang yang secara kinerja adalah “gong” olah rasa dan karsa, harus mampu membungkus, mengolah, dan mewujudkan empat aspek kinerja lainnya. Aspek sosial-ekonomi akan terikut, jika seorang individu arsitek mampu mengintegrasikan dengan baik “pesan dan tugas khalifatullah fil ardh”.

Berbicara tentang Arsitek sebagai khalifatullah fil ardh, tampaknya harus dimulai dari inspirasi dan dengan hidayah Al-Qur’an surah Aż-Żāriyāt ayat 56:” Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Demikianlah, Arsitek, dalam berarsitektur, dan pendidik yang mengajarkan arsitektur, seyogyanya diniatkan dan diihtiarkan selalu  dalam rangka beribadah kepada-Nya.

Kecerdasan dan pengetahuan manusia yang diajarkan Allah, yang hanya sedikit, memang bisa berpotensi untuk menjadikannya khalifah di bumi atau justru sebagai perusak. Manusia (baca: Arsitek) dapat menjadi sebagai pemimpin dan pemelihara bumi yang serius (antara lain melalui sustainable architecture) atau sebagai perusak yang meronggai bumi melalui eksploatasi energi dan materi berlebihan.

Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30, menyatakan: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Selanjutnya, Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 32, mengungkapkan: ”Mereka menjawab; Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

Manusia memiliki kebebasan, tetapi sekaligus dengan konsekuensi yang harus ditanggungnya. Menjadi Arsitek yang menjaga harmoni, yang meresapi angin, daun-daun, burung burung, gemercik air, dan menghikmati matahari. Menjadi Arsitek yang menyelami kedalaman, membaui bau tanah ketika hujan pertama kali turun, menghormati martabat alam,  dan menjaga keselarasan. Atau justru menjadi kontras dan tokoh antagonis dari semua itu?

Sayangnya, ketika Arsitek memilih menjadi tokoh antagonis lingkungan, yang bersekutu dengan ekonomi kapitalistik dan eksploatatif, konsekuensinya bukan hanya dianggung sendiri secara individu, tetapi menghadirkan kerusakan kolektif. Oleh sebab itu, pendidikan arsitektur harus senantiasa berada pada jalur dan ihtiar untuk menjadikan Arsitek sebagai khalifah pemelihara bumi, bukan pemimpin perusak bumi. Green and sustainable architecture harus menjadi gaya hidup keseharian,  bukan sekedar formalitas rating.

Referensi

Barrie, Thomas., Bermudez, Julios (2012). Sprituality and Architecture. London: Routledge International Hanbook

Paramita, Beta (2021). Tanggapan atas esai Barliana (2021). Arsitektur Sudah Mati. Opini Berita UPI. Tersedia di: https://berita.upi.edu

Ruskin, John (1989) The Seven Lamps of Architecture (New York: Dover Publications, 1989).