Awal Ramadan 1441 H: Jumat atau Sabtu?

Dr. Judhistira Aria Utama, M.Si

Dosen & Peneliti Bidang Astronomi – Astrofisika dan Anggota Penyusun Naskah Akademik Kriteria Visibilitas Hilal Lab. Bumi dan Antariksa – Departemen Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia

Dr. Rhorom Priyatikanto, M.Si.

Peneliti Bidang Astronomi – Astrofisika. Pusat Sains Antariksa. Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN)

Dalam takwim standar Kementerian Agama (KEMENAG) Republik Indonesia, hari Kamis 23 April 2020 bertepatan dengan tanggal 29 Syakban 1441 H. Dengan demikian, pada petang hari tersebut akan dilakukan upaya perburuan sosok hilal dari 82 titik lokasi yang telah dipersiapkan yang tersebar di seluruh Indonesia. Hilal adalah bagian dari salah satu fase Bulan (moon), yaitu Bulan sabit termuda segera setelah konjungsi (ijtimak) yang terjadi sebelum Matahari terbenam pada hari yang sama, yang keberhasilan dalam mengamatinya pada hari ke-29 tersebut menjadi penanda bahwa pada malam harinya telah berganti hari (day) dan bulan (month) sekaligus. Atau justru menggenapkan bulan Syakban menjadi 30 hari, manakala tidak terdapat laporan keberhasilan dalam memburu penampakan hilal yang dimaksud. Bulan akan mencapai konjungsi pada Kamis 23 April 2020 pukul 09:27 WIB.

Praktik mengamati hilal atau “anak Bulan” sudah berjalan sejak era Babilonia. Melalui kegiatan pengamatan yang terus dilestarikan hingga saat ini, sebenarnya sudah banyak dihasilkan kriteria yang menjadi sandaran untuk menjawab pertanyaan bilakah hilal dapat diamati yang penampakannya akan mengakhiri bulan berjalan dan masuk menuju bulan yang baru. Dalam konteks Indonesia, situasinya lebih pelik. Kriteria yang dianut otoritas tertinggi (baca Pemerintah melalui KEMENAG) bisa berbeda dengan ormas-ormas Islam besar yang ada. Belum lagi, ternyata kriteria yang diadopsi Pemerintah selama ini pun tidak memiliki landasan ilmiah. Meskipun telah tersedia naskah akademik [Penulis (Judhistira Aria Utama) terlibat sebagai anggota Tim Penyusun yang terdiri atas sejumlah pakar lintas institusi] sebagai bentuk ikhtiar menindaklanjuti fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004, faktanya hingga kini kriteria visibilitas yang tertuang dalam naskah akademik dan telah berevolusi menjadi Rekomendasi Jakarta pada 2017 silam belum juga diadopsi oleh KEMENAG.

Melalui artikel singkat ini, Penulis ingin memberikan gambaran kepada khalayak bahwa meskipun posisi Bulan masih berada di atas ufuk pada saat Matahari terbenam di kota Bandung pada Kamis 23 April 2020 nanti, ternyata jeda waktu yang tersedia selama 19 menit sebelum akhirnya Bulan pun turut terbenam, tidak memberikan kesempatan kepada pengamat untuk bisa mengesani sosok hilal. Penulis menyajikan grafik yang diperoleh dengan memanfaatkan pendekatan fisis menggunakan model matematis yang tersedia, sekaligus membandingkan prediksi yang dihasilkan dengan prediksi model lainnya.

Gambar 1. Prediksi visibilitas hilal dengan modus mata telanjang.

Tampak atau tidaknya hilal merupakan hasil dari pertarungan antara kecerahan Bulan (yang setelah momentum konjungsi disebut sebagai hilal) dan kecerahan langit senja. Tidak serta merta setelah Matahari terbenam di suatu tempat, yang ditandai dengan hilangnya bundaran Matahari di ufuk barat, langsung membuat kondisi langit menjadi gelap. Peristiwa hamburan cahaya Matahari oleh atmosfer dekat ufuk menghadirkan kondisi senja (fenomena yang sama terjadi untuk kondisi fajar). Pada saat yang sama, hilal sebagai salah satu fase Bulan adalah objek redup berupa sabit tipis. Untuk dapat mengamatinya, posisi Bulan harus cukup tinggi di atas ufuk yang akan menempatkannya di bagian langit sore yang relatif gelap karena jauh dari semburat cahaya senja. Gambar 1 di atas memperlihatkan pertarungan yang dimaksud. Kecerahan Bulan (kurva biru) dan langit senja (kurva merah) dinyatakan dalam satuan magnitudo per detik busur kuadrat. Momentum Matahari terbenam di Bandung pada Kamis 23 April 2020 terjadi pukul 17:50 WIB, yang bertepatan dengan kedalaman pusat bundaran Matahari sekitar 10 di bawah ufuk arah barat. Momentum ini, hingga saat pusat bundaran Matahari berada di kedalaman 60, akan menandai senja sipil (kita masih dapat beraktivitas di luar rumah karena kondisi masing cukup terang akibat pencahayaan alamiah), yang akan berlanjut dengan senja nautikal (senja ini berakhir ketika pertemuan antara ufuk dan langit saat kita berdiri di tepi laut tidak dapat dikesani lagi). Bulan akan menyusul terbenamnya Matahari pada pukul 18:09 WIB di Bandung, yaitu pada awal senja nautikal. Hal ini berarti bahwa tersedia jendela waktu pengamatan selama 19 menit yang dapat dimanfaatkan oleh para pemburu hilal guna mengesani sosok hilal penentu awal Ramadan. Sayangnya, berdasarkan perhitungan menggunakan model semiempirik yang Penulis lakukan, selama jendela waktu tersebut kecerahan Bulan selalu bernilai lebih besar daripada kecerahan langit senja. Di dalam astronomi, semakin besar nilai numerik dari besaran fotometri seperti kecerahan, semakin redup sumber tersebut. Artinya, selama jendela waktu yang tersedia Bulan kalah terang dari langit senjanya. Hal ini berimplikasi pada prediksi bahwa hilal tidak akan dapat diamati menggunakan mata telanjang setelah Matahari terbenam pada hari Kamis nanti. Akan timbul pertanyaan, bagaimana bila para pengamat berbekal alat bantu optik seperti binokular maupun teleskop? Perhitungan yang telah Penulis lakukan dengan mensimulasikan penggunaan teleskop pembias berdiameter objektif 66 mm yang tersusun atas 3 lensa dengan kondisi transmisivitas yang baik, mendapatkan kesimpulan yang sama, yaitu bahwa hilal tetap tidak dapat diamati. Penggunaan teleskop dengan perbesaran sudut tertentu sebagai alat bantu memang akan memperbesar bayangan hilal, namun mengingat hilal adalah objek redup maka konsekuensinya adalah kecerahan yang “kecil” tersebut akan disebarkan ke bayangan yang sekarang menjadi berukuran lebih besar daripada semula. Imbasnya, kecerahan akhir hilal tetap “kalah” dibandingkan langit senja. Apakah prediksi yang Penulis hasilkan ini sejalan dengan prediksi model lain yang ada?

Gambar 2. Prediksi visibilitas hilal dengan model Odeh, salah satu

model visibilitas yang dipilih Penulis sebagai contoh.

Gambar 2 memperlihatkan peta visibilitas hilal di seluruh dunia, untuk lintang geografis antara 600 LS hingga 600 LU, yang diperoleh menggunakan model Odeh. Pada gambar tersebut terlihat bahwa seluruh wilayah Indonesia bersama-sama dengan Australia, seluruh Asia dan Eropa berada di kawasan “putih”. Kawasan yang diarsir dengan warna putih ini menandai wilayah yang tidak dimungkinkan untuk melihat hilal, baik dengan bantuan alat terlebih lagi bila hanya mengandalkan pengamatan mata telanjang. Kawasan yang dimungkinkan untuk dapat mengamati hilal hanya dengan bantuan teleskop adalah yang diarsir dengan warna biru, yang meliputi sebagian besar Afrika, sebagian Amerika Utara dan Amerika Selatan. Kawasan berwarna magenta untuk mereka yang dapat mengamati hilal dengan mata telanjang hanya jika kondisi atmosfer sempurna, sedangkan warna hijau untuk kawasan yang dapat dengan mudah mengamati hilal menggunakan mata telanjang. Dengan demikian, prediksi yang dihasilkan Penulis menggunakan model semiempirik bersesuaian dengan prediksi model Odeh ini. Pun memberikan kesimpulan yang sama dengan model lainnya, seperti model Shaukat, yang dibangun dengan memanfaatkan laporan keberhasilan maupun ketidakberhasilan dalam mengamati hilal.

Bila prediksi yang disampaikan di atas benar, apakah hal ini berarti bahwa umat Islam Indonesia akan menggenapkan bulan Syakban menjadi 30 hari dan baru akan melaksanakan ibadah puasa pada hari pertama Ramadan bertepatan dengan Sabtu, 25 April 2020? Sayangnya, teori tidak selalu seiring sejalan dengan praktik yang berlaku. Dalam beberapa momentum penentuan awal bulan-bulan yang krusial (Ramadan, Syawal, dan Zulhijah), hampir selalu ada kesaksian mengamati hilal meskipun posisi objek ini di langit tergolong sulit untuk dapat diamati. Terlebih lagi bila ketinggian hilal dari ufuk dan elongasinya (jarak sudut antara Bulan dan Matahari) sudah mencapai nilai-nilai minimal seperti yang dipersyaratkan dalam kriteria yang diadopsi KEMENAG, yang dikenal sebagai Kriteria MABIMS, seolah ada “kewajiban” bahwa hilal harus terlihat. Untuk lokasi pengamatan di Bandung, pada saat Matahari terbenam, hilal berada di ketinggian 2,740 dari ufuk dengan elongasi 4,750. Nilai-nilai ini sudah melampaui syarat minimal yang diacu dalam Kriteria MABIMS, yaitu tinggi lengkungan bawah sabit hilal dari ufuk minimal sebesar 20 dan elongasi tidak kurang dari 30. Artinya, andaipun tidak terdapat laporan keberhasilan mengamati hilal dari seluruh lokasi pengamatan (misalnya karena gangguan cuaca secara merata), namun karena nilai-nilai minimal kriteria sudah terpenuhi maka sangat dimungkinkan sidang isbat (penetapan) yang dipimpin oleh Menteri Agama RI pada Kamis petang nanti tetap akan memutuskan 1 Ramadan 1441 H dimulai sejak Kamis malam Jumat 23 April 2020 hingga magrib keesokan harinya. Dengan demikian, ibadah puasa hari pertama akan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia pada Jumat 24 April 2020. Bila pada Kamis petang nanti terdapat satu saja laporan keberhasilan mengamati hilal yang akan menjadi bahan pengambilan keputusan, meskipun sah secara syariat karena pelapor berada di bawah sumpah bahwa objek langit yang dilihatnya adalah benar sosok hilal yang dimaksud, dari sisi keilmuan astronomi laporan serupa itu masuk dalam katagori laporan yang meragukan. Mewujudkan impian memiliki kalender Hijriyah yang berlaku regional bahkan global melalui penggunaan kriteria visibilitas yang disepakati bersama, nampaknya masih harus diperjuangkan.

Selamat menyambut tibanya bulan suci Ramadan 1441 H. Semoga kita dapat menjalaninya dengan penuh kekhusyukan dan dengan keberkahan yang dihadirkannya, kita berharap wabah COVID-19 yang saat ini sedang melanda seluruh dunia dapat segera berakhir.