Babah Djiauw

Sang Mentari  mulai menampakkan diri. Pagi hari, Kamis 16 Agustus 1945, udara sangat cerah. Di salah satu sisi pinggiran sungai Citarum yang sunyi, kampung Bojong,  Rengasdenglok  Kabupaten Karawang, Babah Djauw  Kie Siong dan keluarga bertempat tinggal. Mereka mencari nafkah dan hidup dengan tenang. Seperti hari hari biasanya, keluarga Djiauw menghabiskan waktu dengan bercocok tanam dan memelihara sejumlah binatang peliharaan.

Babah Djiauw adalah sosok petani sederhana yang ulet keturunan Tionghoa. Ia dan keluarga memilih tempat tinggal di pinggiran  sungai Citarum yang sepi agar bisa bertani, sekaligus beternak binatang peliharaan untuk dijual. Sesekali ia juga menjadi pengrajin peti mati (coffin),  untuk membantu masyarakat sekitar yang membutuhkan.Tak disangka.  Tak diduga, pada pagi itu ia kedatangan sejumlah tamu. Beberapa pemuda dan satu keluarga muda datang    bertandang ke rumahnya.

Tanpa banyak berbicara, ia meminta anak anaknya membersihkan ruang tamu, dan segera menyiapkan kursi, meja sederhana dan alat tulis. Itulah awal keluarga Djiauw kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta. Rumahnya yang menjolok dan sepi sengaja dipilih para pemuda dengan menjemput Bung Karno dan Bung Hatta  untuk pembahasan topik yang sangat penting : Teks Proklamasi Kemerdekaan.

Dalam dokumen sejarah disebutkan bahwa 16 Agustus 1945, selepas subuh, Bung Karno dan Bung Hatta  dibawa paksa atau diculik dari Jakarta ke Rengasdengklok. Bung Karno dengan ditemani istrinya Fatmawati juga putranya Guntur yang masih bayi dibawa ke Rengasdengklok. Mereka dikawal oleh sejumlah pemuda a.l.  Soekarni, Shodancho dan pemuda lainnya agar Sang proklamator segera memproklamasikan kemerdekaan. Rencana awalnya, Sang Proklamator  akan ditempatkan di Markas  Pembela Tanah air (PETA). Namun akhirnya dibatalkan, dan para pemuda memilih rumah Djiauw yang sepi untuk dijadikan tempat diskusi persiapan  pembacaan teks proklamasi kemerdekaan.

Pribadi Babah Djiauw

Sosok babah Djiauw melegenda. Rumahnya yang sederhana di pinggiran sungai Citarum, menjadi saksi bisu betapa perjalanan sejarah Bangsa Indonesia telah dibahas secara serius di sana.Babah Djiauw adalah pribadi yang baik, penolong, hormat pada tamu walau tak banyak bicara. Dalam artikel Tale of Chinese -Indonesian (Tempo, 2019), disebutkan bahwa Djiauw adalah pribadi yang santun kepada tamu. Ia walau tak bicara dan berkomunikasi dengan tamu, ia  tahu persis mengapa tamu bertandang ke rumahnya. Diceritakan Fatmawati,

Djiauw raised figs as well as cows, goats, chickens, and Pens. Ia memindahkan semua binatang peliharaannya dan menggantinya dengan meja dan pena. Ia menyadari akan ada pembahasan penting dan sangat rahasia. Suatu rangkaian peristiwa  sejarah bangsa ini antara lain diukir dan dibahas di rumahnya. Babah Djiauw juga pemimpin keluarga yang baik dan hormat pada tamu. Walau serba mendadak, ia tak menolak. Keluarga Djiauw menerima dengan hangat. Walau tak bicara dengan tamu, ia meminta anak anaknya untuk membersihkan rumahnya dan menyiapkan kamar kecil untuk putra Bung Karno yang masih kecil agar dapat beristirahat.

The Djiauw has prepared room to be more suitable particularly for Guntur that was still a baby.

Keluarga Djiauw sadar betul bahwa suasana saat itu sangat genting. Mata mata dan Heiho atau tentara Jepang juga terus mengintai. Ketika keluarga Djiauw tahu bahwa diskusi yang dibahas di rumah itu merupakan topik penting dalam persiapan kemerdekaan. Mereka merasa ketakutan ketika  melihat banyak sampah kertas berkas  penting, berhamburan di halaman rumah. Mereka faham betul, itu draft dokumen rahasia perjuangan. Lantas mereka membakar kertas bekas pembahasan kemerdekaan tersebut, agar tak diketahui mata mata Heiho tentara Jepang. 

The Djiauw family was too affraid to keep this historic papers. Frightened they would be seized by  the Japanese, they burned them.(Tempo, 2019). Babah Djiauw juga merupakan pribadi yang bekerja dalam diam dan tak minta balas jasa. Seperti pernah dituturkan salah seorang putranya, (Lestari, 2015),  Babah Djiauw berwasiat kepada putra putrinya, agar keluarga yang menempati rumahnya harus bersabar. Tak diperbolehkan merengek  minta minta sesuatu kepada pihak manapun. Bahkan keluarganya harus rela setiap hari menunggu rumah mereka demi memberi pelayanan terbaik kepada para tamu yang ingin mengetahui  sejarah perjuanganan bangsa.

Itulah pribadi Babah Djiauw yang memiliki nama lengkap  Djiauw Kie Song. Petani sederhana keturunan Tionghoa. Dengan caranya sendiri,  ia berkhidmat untuk bangsa. Ia hormat pada negara. Walau dengan diam, tak berkata apapun, ia dan keluarga dengan senang hati mempersilahkan para pejuang bangsa untuk membahas isu penting tentang proklamasi kemerdekaan. Para tamupun dengan tenang  dapat mendiskusikan  isu penting tersebut  di rumahnya yang menjorok di pinggir sungai Ciratum.

Terima kasih Babah Djiauw. Perlakuan dan sikapmu selalu dikenang bangsa. Kesediaan rumahnya disinggahi para pemuda dan Bung Karno Bung Hatta, memberi pengaruh signifikan pada perjalanan perjuangan bangsa selanjutnya. Akhirnya  Proklamasi Kemerdekaan RI, dilaksanakan esok harinya 17 Agustus 1945 di Jakarta. erima kasih keluarga Djiauw. You are unsung Heroes. Pahlawan tanpa tanda jasa. Xiexie The Djiauws!! (Dinn Wahyudin)