Batik dan Angklung Jadi Diplomasi Budaya UPI di Forum APCEIU UNESCO
|
Bandung, 23 Juni 2025
Dalam dinamika pergaulan antarbangsa yang semakin kompleks, diplomasi tidak lagi terbatas pada ranah politik dan ekonomi semata. Budaya kini menjadi instrumen strategis dalam membangun pengaruh lunak (soft power) dan membentuk persepsi dunia. Hal ini tercermin dalam perhelatan Directors’ Meeting APCEIU UNESCO 2025 yang digelar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, di mana batik dan angklung tampil sebagai jembatan dialog antarbudaya dan simbol identitas Indonesia yang inklusif, ramah, dan sarat makna.
UPI tidak sekadar menjadi tuan rumah dari pertemuan strategis tahunan para direktur pusat Global Citizenship Education (GCEd) se-Asia Pacific Pasifik, tetapi juga mengangkat budaya lokal sebagai bahasa universal. Dalam sesi Cultural Night yang diselenggarakan di Auditorium FPEB UPI pada malam acara, para tamu internasional dari Korea Selatan, Filipina, Jepang, Malaysia, Nepal, India, dan negara lainnya disambut dengan pertunjukan angklung interaktif serta fashion show batik kontemporer oleh mahasiswa UPI.

Angklung, alat musik tradisional berbahan bambu yang telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia sejak 2010, menjadi magnet utama malam itu. Tak sekadar ditampilkan, para peserta dari berbagai negara diajak untuk bermain angklung bersama, membentuk harmoni musikal dalam waktu singkat.
Simbolisme angklung sangat relevan dengan misi pendidikan kewarganegaraan global (GCEd) yang diusung UNESCO yakni menyatukan keberagaman untuk menciptakan harmoni sosial dan solidaritas lintas bangsa.
Sementara itu, batik tampil elegan dan kuat sebagai narasi visual bangsa. Dalam fashion show bertajuk “Batik for Global Dialogue”, mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Tata Busana UPI menampilkan koleksi batik dari berbagai daerah di Indonesia dari motif parang khas Yogyakarta, mega mendung dari Cirebon, hingga motif kontemporer yang menggabungkan tema SDGs seperti ekosistem laut, energi bersih, dan kesetaraan gender.
Koleksi tersebut tidak hanya menampilkan estetika, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan politik bahwa tradisi tidak boleh tercerabut dari isu-isu kemanusiaan modern. Batik, dalam konteks ini, menjadi alat ekspresi kultural sekaligus edukatif.

Prof. Dasim Budimansyah, Direktur GCC Indonesia, menyatakan bahwa momen ini menjadi bagian dari narasi besar:
“Pendidikan karakter dan kewarganegaraan global harus kontekstual. Melalui batik dan angklung, kita mendidik dengan cara yang menggugah rasa, bukan sekadar logika.”
Kehadiran diplomasi budaya dalam forum internasional ini mendapat sambutan hangat dari para peserta. Bagi banyak negara, pendekatan budaya menjadi alternatif efektif dalam menyampaikan pesan keberagaman, perdamaian, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Dr. Olivia Samson, delegasi dari Filipina, menyebutkan bahwa pendekatan Indonesia patut dicontoh:
“Saya tidak hanya hadir dalam forum akademik, tetapi juga dibawa ke dalam pengalaman emosional yang mengikat. Ini cara yang cerdas dan menyentuh.”
Selain itu, momentum ini digunakan oleh pihak UPI untuk mempromosikan kerja sama lintas budaya, termasuk pembukaan program pertukaran budaya ASEAN-UNESCO dan rencana peluncuran platform digital “Batik for Peace”, yang bertujuan mendigitalisasi motif batik sebagai alat diplomasi budaya lintas negara.
Sebagaimana menjadi semangat dalam GCEd, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan identitas global yang berakar kuat pada nilai lokal. Dengan memperkenalkan angklung dan batik dalam forum pendidikan internasional, UPI mengirimkan pesan strategis: bahwa Indonesia siap berdialog dalam bahasa dunia, namun tidak kehilangan identitas budayanya. Pesan ini sejalan dengan SDG 4.7 yang mendorong integrasi budaya lokal dan nilai kewarganegaraan global dalam sistem pendidikan. (GCC)