Berbisnis Nekad Bermodal Nol Rupiah

Bandung, UPI2

Bandung merupakan kota seribu industri kreatif di mana usaha baru terus lahir, tumbuh, dan berkembang. Bisnis kuliner sampai pakaian bisa ditemui di mana saja. Menjamur, laris-manis, dan menguntungkan. Tak heran jika siapa saja ‘terpanggil’ ikut terjun berbisnis di kota ini. Orang tua, mahasiswa, sampai anak sekolah pun bisa memulainya.

Tak terkecuali bagi mereka yang hanya memiliki modal seadanya. Sebut saja kalangan mahasiswa yang belum memiliki penghasilan sendiri. Sebagian dari mereka mungkin akan berpikir, “Boro-boro untuk usaha, uang makan dan kost kadang masih dari orang tua”. Namun tidak bagi orang-orang kreatif. Kantong tipis bukan halangan untuk memulai suatu usaha.

Rio Ladila Y. Gaya adalah seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia. Kejelian melihat peluang usaha membuatnya terdorong untuk membuka bisnis clothing AfteRain Co. bersama kawan dekatnya. Belum genap satu tahun ia tinggal di Bandung pada saat itu, tepatnya bulan Maret. Jangan bayangkan modal berjuta-juta yang ia miliki di awal merintis bisnisnya, karena ia nekad menjadi pebisnis dengan modal kreatifitas, tenaga, dan nol rupiah.1

Nol rupiah? Bagaimana bisa? “Saya awalnya asal nyeplos bilang ke partner saya itu, eh desain-desain lo jualin aja, gue tau vendor kaos yang bagus.. Tapi saya mikir lagi, kalau mau open business pasti perlu modal besar apalagi bisnis kayak gini. Saya muter otak lah gimana caranya bisa minimal mulai dulu bisnis ini dengan modal yang sangat minim, cuman bermodal niat, tenaga, sama kemauan yang kuat,” ujarnya saat menceritakan awal bisnisnya tersebut.

Solusi dari permasalahan di awal bisnisnya itu adalah dengan memberlakukan sistem pre-order. Setiap pemesan kaos dari katalog desain clothing AfteRain Co. harus membayarkan uang muka atau DP sebelum pesananya diproses. Namun pemesanan dengan sistem pre-order satuan seperti ini tidak bisa sembarangan. Rio harus mencari tempat produksi kaos yang menyediakan jasa DTG printing satuan dan inilah yang ia sebut modal tenaga dan kemauan.

“Waktu itu pernah hampir ditipu vendor kaos DTG printing, pas udah nemu vendor yang pas malah kualitas kaosnya jelek, saya cari lagi lah vendor yang nyediain kaos polos dengan kualitas yang bagus. Sampai harus bolak-balik Setiabudhi – Suci – Ujung Berung, hampir setiap hari. Seringnya sore sampai malam, sedangkan besok paginya ada kuliah. Belum lagi awal-awal pernah ngalamin sablon yang kurang bagus sampai di komplain pembeli. Wah, lumayan perjuangannya waktu itu,” sambungnya.

Seiring berjalannya waktu, Rio dan rekannya makin belajar bagaimana cara menjaga image dari usaha yang dijalani. Ia berkomitmen bahwa walaupun bisnis yang ia jalani bermodal cekak, namun kepuasan pelanggan dan kualitas adalah nomor satu.

Memiliki usaha yang berkembang dari modal minim tidak membuat anak bungsu dari tiga bersaudara ini cepat puas dan enggan mengembangkan usahanya ke tingkat yang lebih tinggi. Sebagian penghasilan yang didapat selama ini ia simpan untuk modal items ready stock yang ditargetkan akan keluar awal tahun 2015 mendatang.

Ia menambahkan, “Ya siapa yang gak mau punya usaha besar sih? Selain bisa menghasilkan buat diri sendiri juga bisa menghasilkan bagi orang lain. Banyak orang-orang semumuran saya di luar sana yang bisa sukses jadi pengusaha dengan modal yang minim juga, tapi mereka punya daya juang yang besar. Saya juga optimis bisa.”

Mengakhiri ceritanya, ia berharap bahwa pengalamannya ini dapat menjadi inspirasi bagi anak muda yang juga ingin menjadi wirausahawan, meskipun tidak memiliki modal awal berupa materi yang berlimpah. Karena dengan kreatifitas dan keinginan yang kuat, pada akhirnya tujuan apapun dapat dicapai. (Shabila Hidayati, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)