Berjuang dengan Mantra “Yes! We Try!!!

3Oleh AHMAD DAHIDI

(Laporan dari Osaka Jepang)

DALAM sebuah buku kumpulan puisi yang pernah penulis baca, ada puisi cinta yang mampu menggetarkan jiwa dan raga apabila disampaikan dengan suasana romantis dan suara yang lemah lembut kepada lawan jenis. Judul puisinya adalah “Mantra Cinta”, terdiri atas tiga kata, yaitu “Aku Cinta Kamu”. Dengan mantra ini tidak sedikit orang yang terbuai dan terlena dalam kehidupan sehingga tidak jarang sampai “tidak sadarkan diri”, pikirannya terbuai dan terlena dengan keindahan sesaat.

Meniru kekuatan cinta dengan mantranya itu, untuk suksesnya program Osaka Business Internship Program (OBIP) atau Japan Business Internship Program (JBIP) yang kami gulirkan pun, sengaja diciptakan dan disosialisasikan sebuah mantra, yaitu “Yes, We Try”. Tiga kata ini adalah mantra OBIP dan JBIP sejak program ini dilahirkan tahun 2012. Mantra inilah yang dijadikan suntikan psikologis manakala pikiran dan semangat peserta JBIP kelihatan menurun. Mantra inilah yang kami tanamkan agar dijadikan “wirid” manakala menghadapi sesuatu yang dianggap sulit.1

Kira-kira itulah kami mendorong para peserta JBIP agar senantiasa bersemangat dan bisa menikmati keterlibatannya dalam kegiatan di lapangan. Memang, program ini penuh tantangan, sebuah program yang memerlukan kesiapan jiwa dan raga yang sehat. Penulis selalu menegaskan kepada calon peserta JBIP jauh jauh hari (setidaknya ketika wawancara pada proses seleksi) bahwa program JBIP atau dulunya OBIP hanya diperuntukkan bagi mereka yang bermental baja, tidak cengeng, siap menerima konsekuensi yang terburuk sekalipun selama mengikuti kegiatan.

Sering kami sampaikan pula bahwa jika ada keraguan walaupun sedikit, lebih baik tidak mengikuti program ini dan akan lebih baik mengundurkan diri meskipun sudah dinyatakan lolos. Kenapa demikian? Sebab berbagai pesiapan harus dilakukan jauh jauh hari guna penghematan biaya, program kegiatan supaya lebih lancar dan sukses antara lain booking tiket pesawat lebih awal agar bisa membeli tiket dengan harga yang relatif murah, booking tempat tinggal selama di Jepang, mencari perusahaan yang bersedia menerima para trainer, dan berbagai hal lainnya yang benar-benar perlu dipersiapkan.2

Di samping persiapan seperti itu, yang lebih penting lagi adalah menyeleksi para peserta yang kami nilai bermental baja karena nantinya akan memasuki “kawah candradimuka” kehidupan Jepang yang berbeda dengan kebiasaan di Indonesia. Sebagai contoh, kebanyakan orang Indonesia sering terlihat tidak jelasnya antara waktu bekerja dan waktu istirahat. Tidak sedikit di antara para pegawai atau karyawan bekerja sambil merokok, sering kita lihat makan dan minum ketika waktu bekerja, bahkan meluangkan waktu bekerjanya membeli makanan, rokok, atau minuman. Sering terjadi sejumlah PNS yang kena razia waktu kerja karena kedapatan sedang keluyuran di mal, dan masih banyak contoh lainnya. Atau banyak pula yang istirahat belum waktunya.

Ilustrasi lainnya adalah menunda pekerjaan. Pekerjaan yang harus diselesaikan pada waktu tertentu ditunda pada hari berikutnya, Intinya penghargaan kita (baca: orang Indonesia pada umumnya) terhadap waktu relatif kurang. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau istilah “jam karet” sangat sulit dihilangkan dalam budaya bangsa kita. Kebiasaan kurang produktif dan efesien seperti ini, tidak berlaku di masyarakat Jepang. Intinya, fenomena seperti itu, tidak ada kamusnya dalam kehidupan bangsa Jepang. Oleh sebab itu, mental baja dan mau adaptasi di lingkungan baru di Jepang, sangatlah perlu tertanam sejak awal dengan mantap dan baik. Salah satu upaya kami adalah dilakukan pembekalan yang materinya seputar keterampilan berbahasa Jepang dan atau bahasa Inggris serta pemberian wawasan yang berhubungan dengan kejepangan.4

Dorongan psikologis lainnya yang selalu kami sampaikan kepada para peserta JBIP adalah selalu diingatkan bahwa peminat pada program ini sangat banyak. Untuk JBIP 2015 tidak kurang dari 300 orang peminat dari berbagai perguruan tinggi. Namun kuota hanya 20 orang karena keterbatasan perusahaan yang siap bergabung dalam program ini sehingga daya saing untuk bisa lolos ke dalam program ini sangatlah tinggi. Oleh sebab itu, bersyukurlah bagi mereka yang sudah dinyatakan lolos dan berhasil bisa menginjakkan kakinya di negeri Oshin. Kalau peluang emas ini tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka itu bisa dikatakan sebuah kemunduran dan pemborosan waktu yang sia sia.

Penulis sangat yakin, program JBIP dengan berbagai kegiatan di lapangan baik yang manis maupun yang pahit akan membuat jiwa peserta JBIP lebih baik, lebih dewasa, tidak mudah menyerah jika berhadapan dengan kesulitan hidup, dan jiwa kemandirian mereka akan lahir dengan sendirinya di masa yang akan datang. Ketegaran jiwa seperti ini sangat diperlukan untuk mampu bersaing dalam era MEA, AFTA, dan menyongsong tahun keemasan Indonesia di masa mendatang. Jangan diharap tahun keemasan Indonesia yang didambakan itu bisa terwujud apabila mental manusia Indonesia (baca: terutama kaum kawula muda) tidak berorientasi pada mental yang tahan banting, pantang menyerah, mampu beradaptasi dan berkolabirasi dengan lingkungan nasional dan global.5

Berbagai hal yang menggembirakan berkat program ini adalah timbulnya semangat baru bagi peserta yang sekembalinya ke tanah air bersemangat ingin kembali lagi ke Jepang dalam program yang serupa atau yang berbeda. Semangat belajar semakin tinggi. Dari tiga angkatan sebanyak 60 orang, hampir 80% di antara mereka kembali lagi ke Jepang dengan program yang berbeda, namun kebanyakan melanjutkan studi ke program S2 atau bekerja di perusahaan Jepang.

Kalau kita perhatikan orang Jepang di dalam trem, suasana hening alias tidak berisik sekalipun mereka datang secara bergerombol dengan koleganya atau teman-temannya. Orang Jepang sangat tidak nyaman kalau berisik. Hampir setiap saat pengumunan mengalir dari speaker di setasiun yang intinya memohon kepada para penumpangnya agar HP disetting pada nada getar atau silent. Dering telefon yang berisik sangat dinilai mengganggu lingkungan sehingga sangat jarang bunyi HP berdering di dalam kereta atau lingkungan umum, apalagi jangan heran kita tidak akan melihat dan mendengar orang yang “bertelefonria“ berteriak-teriak sampai orang sekeliling mengetahui percakapan. Mungkin jiwa toleransi itulah yang sudah tertanam dalam jiwa orang Jepang, yang membuat mereka seperti itu. Toleransi tidak mau mengganggu orang lain sudah ditanamkan sejak kecil, sejak mereka berada di lingkungan keluarganya.6

Pengetahuan kejepangan seperti di atas merupakan sebagian pengetahuan awal yang harus diketahui dan dipahami peserta JBIP. Sebab, kalau mereka tidak berusaha beradaptasi ke lingkungan di Jepang, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan masalah ketika mereka berbagul di masyakarat Jepang.

Perlu penulis tegaskan bahwa program JBIP bukan program untuk ”menjepangkan” kaum kawula muda Indonesia menjadi seperti orang Jepang, namun ingin menjadikan generasi muda Indonesia itu tetap sebagai bangsa Indonesia sejati, namun semangat membangun diri dan menyosong masa depan mampu belajar dari Jepang, lalu mengambil hal hal yang positif untuk disaring, diadaptasi dalam kehidupan nyata pribadi masing masing. Kehidupan pribadi seperti inilah yang berakumulasi menjadi kekuatan besar dan dasyat dalam rangka berkontribusi terhadap ”revolusi mental“ guna membangun negeri Indonesia supaya menjadi Indonesia yang bermartabat di kancah global.7

Di samping kebiasaan seperti itu yang mesti dipahami adalah makanan Jepang, yang mungkin saja tidak bisa diterima perut orang Indonesia di antaranya sushi dan sashimi. Sushi adalah makanan Jepang yang terdiri atas nasi yang dibentuk bersama lauk (neta) berupa makanan laut, daging, sayuran mentah atau sudah dimasak. Nasi sushi mempunyai rasa masam yang lembut karena dibumbui campuran cuka beras, garam, dan gula. Salah satu jenis sushi adalah nigirizushi. Sedangkan sashimi adalah makanan Jepang berupa makanan laut dengan kesegaran prima yang langsung dimakan dalam keadaan mentah bersama penyedap seperti kecap asin, parutan jahe, dan wasabi. Makanan laut segar seperti ikan, kerang, dan udang karang dihidangkan dalam bentuk irisan kecil yang mudah dimakan, sedang udang berukuran kecil ada yang hanya dikupas kulit dan dibuang kepalanya saja.

Untuk mengakhiri tulisan ini, kalau penulis simpulkan bahwa seorang peserta JBIP, setidaknya diharapkan: (1) mempunyai kemampuan dan keterampian bahasa Jepang dan atau bahasa Inggris yang bagus; (2) kemauan yang keras ingin belajar; (3) mempunyai jiwa pendekar, siap menerima dan mengatasi apa pun yang terjadi di lapangan, jiwa pantang menyerah, yang lebih pentingnya lagi tertanam dan tercermin jiwa “yes, we try”.

Osaka, 30 Mei 20158