Bimbing Anak Jalanan Menjadi Bangsa Maju
|Bandung, UPI
Bukan mereka sombong, bukan mereka enggan menyapa. Mereka hanya ragu dan takut kita yang sombong, takut kita yang tidak membalas sapaan mereka. Mereka hidup di dunia, dunia itu sulit, dunia itu keras.
Tapi mereka tinggal di sana, sudah terbiasa dengan kekerasan dengan sesuatu yang kasar, itu hidup mereka. Mereka kecil, mereka kotor, mereka bau, menyedihkan. Tapi mereka ingin jadi tentara, jadi pilot, jadi dokter, jadi artis. Mereka, anak jalanan itu, tinggal di terminal, di mana saja yang penting bias tidur, yang penting tidak kehujanan, yang penting bias beristirahat setelah mencari uang.
Mereka pengamen jalan, mencari uang untuk membeli makan, membeli lem, membeli yang mereka butuhkan untuk saat itu. Mereka tidak seburuk yang orang rang lihat, mereka baik, mereka ingin belajar, mereka ingin bias menjadi kebanggaan, mereka ingin menggapai cita-cita.
Apalagi masalahnya? Ekonomi? Ekomomi dan ekonomi lagi? Pendidikan itu mahal. Hanya orang kaya saja yang bisa pintar dan masuk ke dalam dunia pendidikan. Ironis memang, pemerintah hidup mewah, makan enak dan bergizi, semua yang diinginkan serba ada. Apa mereka tidak sadar? Sebagian dari semua itu adalah milik rakyat? Bocah-bocah itu tidak seharusnya tidur di pinggiran toko yang sudah tutup, tidak seharusnya tumbuh menjadi manusia yang bodoh. Mereka punya hak hidup enak sama seperti manusia yang lain.
Menghisap lem bukan keinginan, tapi menghisap lem bias menahan lapar. Lebih baik membeli lem daripada harus terus membeli makanan 3x sehari. Mereka hanya anak-anak, sama seperti yang lain, senang bermain, senang belajar, jahil, kadang menyenangkan dan kadang menyebalkan.
Anak jalanan tak hanya pengamen, ada juga mereka yang kecil lainnya. Hidup bersama orang tua yang mereka miliki, entah hanya ibu, entah hanya ayah, entah hanya kakak, yang penting mereka tidak sendirian.
Mengaku masih sekolah, Isal siswa kelas 2 SD ini senang dengan kelompok pengajar anak jalanan yang berpendidikan dan senang berbagi. Isal merasa sangat terbantu dalam belajar. Ia senang mata pelajaran Matematika, karena ia tidak bisa membaca, mungkin belum. Ia ragu harus mengakui bahwa dirinya masih sekolah, entah ia berbohong entah sungguhan.
“Isal bisa tambah-tambahan, kurang-kurangan Kak,” ucapnya dengan senang hati, meminta saya membimbingnya. Isal sangat pintar, cepat cekatan, Apabila ditempatkan di sekolahan yang lebih memadai, pelajaran yang levelnya lebih tinggi lagi, yang lebih sulit, kemungkinan besar ia mampu mengerjakannya dengan mudah.
Tidak hanya Isal, orang sepertinya juga sangat membutuhkan pengajar untuk membantu mewujudkan cita-cita mereka. Mereka sangat membutuhkan pengajar untuk membantu mewujudkan cita-cita mereka, bukan tebangan pohon yang dibangun menjadi sekolah lagi, kalau masih tanpa pengajar. (Dessy Nurrachim, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FPIPS, UPI)