Boga Bukan Hanya Bagi Wanita

Budaya kuliner di negeri ini yang tidak lepas dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, perkembangan kuliner di Indonesia dapat dikategorikan setidaknya dalam tiga fase, yaitu: (1) fase orisinal, (2) fase multikultural, dan (3) fase kontemporer. Masing-masing tahapan memiliki cara tersendiri tentang bagaimana makanan itu diolah, disajikan, dan dikonsumsi atau dimakan. Tahapan-tahapan ini menjadi dasar yang kuat bagi pembentukan budaya pangan Indonesia. (Wijaya, 2019).  Budaya pangan ini dipelajari, dibagikan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya dan sementara beberapa jalur pangan telah disempurnakan dan diadaptasi, sebagian besar masih diterapkan hingga saat ini. 

Di sisi lain, telaah Reggie Bay (2017) dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda menjelaskan tentang sosok perempuan pribumi yang menikah dan berkeluarga dengan orang Belanda. Melalui peran kokkie, para pempuan yang membantu keluarga ini di bawah pimpinan nyonya rumah, memperkenalkan hidangan-hidangan tanah air kepada orang Belanda. Mereka biasa membuat hidangan tradisional Jawa seperti sayur (jangan, Bahasa Jawa), sambal dan disertai dengan gorengan ikan kecil untuk suguhan sehari-hari. Kokkie mempunyai wewenang untuk mengatur dan menyiapkan semua yang berhubungan dengan masakan, daftar menu, dan perhitungan belanja. Pada masa kolonial, penulis kookboek atau buku resep biasanya diisi oleh kaum perempuan bangsawan.

Dalam catatannya yang berjudul Door Duisternis tot Licht atau biasa yang dikenal dengan Habis gelap terbitlah terang, R.A. Kartini menyertakan resep-resep masakan yang pernah dipraktikkannya di dapur (Hidayatullah, 2020). Hidangan dari adaptasi kuliner Belanda juga sering dibuat oleh keluarga R.A Kartini seperti Panekuk, Popertjes,  Puding dan Oplop. (food.detik.com).

Seperti dijelaskan oleh Allen et.al (2008), sebagai manifestasi budaya, makanan memerlukan fungsi teknis dan simbolik dalam kelompok budaya tertentu. Secara teknis, pangan berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dasar fisiologis manusia. Dari sudut pandang perilaku konsumen yang berkaitan dengan nilai konsumsi, perilaku makan seperti ini terjadi karena alasan utilitarian atau instrumental, yaitu untuk memuaskan rasa lapar dan memenuhi kebutuhan gizi tubuh.

Akhir-akhir ini, pilihan pangan dan makanan telah mengalami perubahan yang sangat besar, terkait dengan dinamika globalisasi dan proses individualisasi masyarakat. Makanan semakin sering dilihat sebagai pengalaman tertentu yang dapat memberikan emosi dan keajaiban ketika beberapa hidangan dicicipi karena dianggap sebagai karya seni yang nyata yang dibuat oleh koki yang kreatif dan menginspirasi (Corvo, 2017).

Dalam konteks di atas, makanan atau tata boga telah berkembang bukan hanya sebagai kebutuhan manusia dalam memenuhi hajat hidupnya. Boga dan makanan berkembang sebagai identitas masyarakat dan memiliki identitas sebagai ilmu (cullinary as science).  Dalam literatur nasional di tanah air, tata boga sering dimaknakan sebagai suatu disiplin ilmu terkait dengan seni dalam menyiapkan, memasak, dan menghidangkan makanan siap saji. Di Indonesia, disiplin ilmu ini dapat dipelajari di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)  atau di tingkat perguruan tinggi yang terkait dengan industri pariwisata dan perhotelan. Seorang yang memiliki keahlian dalam tata boga dinamakan sebagai koki, juru masak atau chef, dimana orang ini diharuskan untuk memiliki pengetahuan dalam ilmu pangannutrisi, dan diet  serta memiliki kreativitas dalam seni menyiapkan hidangan makanan yang menarik untuk dilihat. Ilmu tata boga sangat terkait dengan industri pariwisata dan perhotelan dimana kebanyakan para juru masak bekerja di rumah makanhotel, atau taman hiburan.

Secara konsep teori, Kulinologi dimaknai sebagai paduan seni kuliner dan ilmu makanan, dan diperkenalkan pada tahun 1996 oleh Research Chefs Association. Hasilnya dengan cepat mengubah cara industri makanan di Amerika Serikat untuk mengembangkan produk makanan baru. Program studi Kulinologi menggabungkan unsur-unsur dari seni kuliner dan disiplin ilmu makanan, memungkinkan siswa untuk memahami ilmu di balik makanan sambil menguasai seni kuliner. Sebagai disiplin akademis baru, Kulinologi akan merevolusi industri makanan, dan para praktisi akan menentukan masa depan pengolahan makanan atau tata boga (Cheng, 2011).

Tata boga mulai berkembang sebagai disiplin ilmu di era Hindia Belanda. Di abad ke-19 Masehi, para juru masak bertugas untuk menyiapkan makanan untuk para pejabat belanda dan pembesar lokal, dimana hidangan yang disajikan dinamakan boga Hindia (Indische Keuken). Setelah kemerdekaan, tata boga menjadi salah satu disiplin ilmu yang banyak ditawarkan oleh berbagai SMK dan sekolah pariwisata. Lulusan sekolah-sekolah tersebut diarahkan untuk bekerja di industri pariwisata dan perhotelan. Perempuan memiliki kiprah yang kuat dalam pendidikan ini yang ditunjukkan oleh dominanya guru dan dosen perempuan serta siswa dan mahasiswa perempuan pada sekolah-sekolah ini.

Program Studi Pendidikan Tata Boga pada Universitas Pendidikan Indonesia merupakan salah satu institusi pendidikan yang fokus pada pendidikan calon guru SMK untuk mata pelajaran yang berkaitan dengan tata boga dan kuliner. Program studi ini berdiri pada tanggal 2 April 2002 dan memberikan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada lulusannya. Lulusan Program Studi  Pendidikan Tata Boga diproyeksikan untuk menjadi pendidik di bidang tata boga yang kompeten dalam penguasaan konsep, teori dan praktik di bidang tata boga. Para lulusan diharapkan juga mampu menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks) dalam bidang tata boga, dan menjadi instruktur pada lembaga pendidikan non-formal di bidang tata boga. Lulusan juga diproyeksikan untuk mampu menyelenggarakan dan melakukan inovasi pada institusi dan usaha jasa boga, dan mampu mengelola usaha di bidang jasa boga sesuai dengan kebutuhan konsumen dan perkembangan zaman serta sesuai standar kualifikasi dan kompetensi yang telah ditetapkan. Program Studi Pendidikan Tata Boga pada Universitas Pendidikan Indonesia telah bermitra dengan SMK Pariwisata, Industri Kuliner, Asosiasi Chef Indonesia, Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK, dan Asosiasi Tata Boga Indonesia untuk meningkatkan kualitas lulusannya. 

Dalam perjalanan menuju usia dua dekade, Program Studi Pendidikan Tata Boga Universitas Pendidikan Indonesia telah berkontribusi menyiapkan perempuan Indonesia untuk menjadi pelaku andal dalam industri kuliner. Sekalipun didominasi oleh dosen perempuan sebanyak 95% sejak tahun 1994 ada 1 (satu) orang dosen laki-laki dan mahasiswa perempuan dengan presentase 90%. Program Studi Pendidikan Tata Boga UPI tidak hanya menerima perempuan saja, dalam beberapa tahun terakhir, minat laki-laki terhadap program studi ini perlahan meningkat diawali pada tahun 1982 Prodi Pendidikan Tata Boga menerima mahasiswa laki-laki sebanyak satu orang kemudian pada tahun 2020 sebanyak 15 (lima belas) orang mahasiswa laki-laki. Menanggapi hal ini, Program Studi Pendidikan Tata Boga UPI bersikap responsif dengan mempromosikan kesetaraan akses bagi baik perempuan maupun laki-laki dalam pendidikan tata boga

Itulah sekilas perjalanan tata boga.  Pendidikan Tata Boga  tak hanya diperuntukan hanya bagi mahasiswa perempuan, tetapi juga untuk laki laki. Para lulusan diproyeksikan untuk menjadi pendidik profesional di bidang tata boga yang kompeten dalam penguasaan konsep, teori dan praktik di bidang tata boga. Mereka  diharapkan juga mampu menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks) dalam bidang tata boga, dan menjadi instruktur pada lembaga pendidikan non-formal di bidang tata boga. Termasuk menjadi professional bergengsi: CHEF (Yulia Rahmawati, Ketua Program Studi Pendidikan Tata Boga, FPTK UPI)