Brain Drain Indonesia

Siapa yang tak mengenal Albert Einstein. Fisikawan teoritis jenius yang  mengembangkan _teori relativitas. Rumus persamaan kesetaraan mass-energi E=mc2.   Tahun 1933 masa tersulit bagi Einstein. Ketika ia dan istrinya berkunjung ke AS, ia tak bisa kembali ke Jerman. Rumahnya digerebeg dan diambilalih oleh Nazi dibawah pemerintahan baru Kanselir baru Adolf Hitler. Ia dan ilmuwan keturunan Yahudi lainnya diburu. Mereka dikejar kejar. Itulah awal  dari   pelarian modal manusia  atau brain drain dari seorang Ilmuwan dunia peraih Noble  Albert Einstein. Ia adalah contoh pelarian modal manusia akibat perubahan politik. Ia terpaksa hengkang untuk  menghindari penindasan Nazi.

Apa itu brain drain?  Secara sederhana brain drain atau human capital flight merupakan hengkangnya kaum intelektual, ilmuwan, cendikiawan dari negerinya sendiri dan menetap di luar negeri. Alasan yang melatarbelakanginya juga bisa beragam. Ada alasan politis, ekonomi, sosial budaya, dan juga pilihan hidup. Selain pertimbangan minimnya peluang dan keterbatasan berkarya di negara asal. Jadi brain drain dalam kadar tertentu, bisa merugikan negara asal, karena ada potensi aset SDM terbaiknya yang hilang. Sebaliknya, hal tersebut menguntungkan bagi negara baru yang dipilih, karena negara yang dipilih ujug ujug mendapat durian runtuh berupa SDM terbaik.

Fenomena brain drain

Kasus brain drain banyak dirasakan oleh  negara negara berkembang. Di India, sejak tahun 1960an banyak ilmuwan dan tenaga ahli muda India yang berkualitas memilih untuk bekerja di luar negeri. Banyak anak muda India lulusan  Indian Intitute  of Technology (IIT) Bombay, New Delhi, Madras dan lulusan universitas lainnya di India yang memilih untuk bekerja di perusahaan perusahaan  Amerika, Canada, Inggris dan negara maju lainnya. 

Data tahun 1990-an di AS, kaum profesional muda India menguasai lebih dari 8000 perusahaan  di  bidang teknologi komunikasi. Dengan demikian potensi devisa mengalir deras ke Amerika. Sementara India, negeri asal hanya gigit jari. Walaupun awalnya brain drain, yang sangat merugikan India, pemerintah India melakukan berbagai terobosan. Salah satunya, tahun 1990an  India memberlakukan transisi kebijakan baru  pola ekonomi melalui proses liberalisasi. Hal lainnya melalui penguatan jaringan diaspora sebagai silent networking, yaitu Jalinan senyap antar komunitas diaspora. Akhirnya, banyak profesional India yang pulang kampung. Mereka mulai berkhidmat di negerinya sendiri.

Kasus brain drain di China pada awalnya juga sangat mengkhawatirkan. Laporan Brain drain in China (Stanford Edu, 2011)_  menyebutkan bahwa dari 1,06 juta mahasiswa asal China yang belajar di berbagai universitas di AS, hanya 275 ribu orang saja yang kembali ke China. Selebihnya, sebagai pelaku brain drain dan bekerja di berbagai perusahaan di AS.  Apa yang dilakukan Pemerintah China untuk membalikka brain drain menjadi drain gain? Ciu (2011) dalam China targets top talents from overseas melaporkan bahwa pemerintah China selain meningkatkan sistem pendidikan di dalam negeri, juga meningkatkan iklim berusaha dan iklim bisnis di dalam negeri. Hal lain, melalui program Thousands Talent Program, pemerintah China menawarkan subsidi khusus bagi profesional brillian  yang mau pulang kampung. Mereka selain mendapat gaji rutin di perusahaan dalam negeri, mereka juga diberi tunjangan tambahan. Jumlahnya tak tanggung- tanggung, bagi yang memenuhi syarat, mereka diberi grant sebanyak 1 juta RMB dari pemerintah.

Brain drain Indonesia

Fenomena brain drain juga terjadi di Indonesia. Walaupun tidak secara masal, pada tahun 1960an,  banyak mahasiswa Indonesia yang tak pulang ke Tanah air. Sebut misalnya, ketika perubahan politik tahun 1965 dari Orde Lama ke Orde Baru, banyak mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di universitas di Rusia ataupun PT di negara Eropa timur dan memilih tak pulang ke Tanah air.   

Demikian juga pada tahun 1980an, ketika Menristek BJ Habibie mengirim ratusan remaja  potensial untuk belajar ke luar negeri. Banyak para lulusan LN tersebut yang tak langsung pulang dan berkhidmat di dalam negeri. Mereka banyak yang memilih bekerja di berbagai perusahaan di AS. Demikian juga ketika Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) mengirimkan ribuan tenaga mudanya untuk  dididik dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka dikirim untuk menjadi akhli pesawat, ahli telekomunikasi, akhli kelautan, akhli satelit, dsb. Namun dengan adanya restrukturisasi kebijakan BPIS, banyak para profesional tersebut yang menganggur. Kemudian mereka brain drain ke berbagai perusahaan di  luar negeri.

Fenomena brain drain  sekarang ini telah berevolusi. Tidak hanya sebagai diaspora Indonesia (orang Indonesia di perantauan) yang berstatus ilmuwan dan peneliti kelas atas. Tetapi juga kelompok diaspora yang memilih berkarir dan bekerja di berbagai sektor pekerjaan di perusahaan di luar negeri.

Dengan demikian urusan pemulangan  ke  Tanahair, bukan hanya pertimbangan ketersediaaan perusahaan yang menawarkan gaji tinggi. Tetapi juga berkorelasi dengan tata nilai kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat di Tanah air. Termasuk governance system yang menjungjung tinggi clean governance dengan sistem birokrasi yang bersih dan tidak koruptif.

Brain drain Campus

Apakah fenomena brain drain bisa terjadi kampus ? Hal tersebut dimungkinkan terjadi apabila sejumlah ilmuwan atau profesor dari suatu universitas  bermutasi atau berpindah ke universitas lain. Banyak profesor dari berbagai universitas di suatu negara yang ber imigrasi dan memilih  tawaran bekerja di universitas lain di luar negeri. Di sejumlah universitas di  Hongkong, India, Srilangka, negara negara Aprika lainnya, banyak para profesornya yang memilih untuk berkarir di universitas negara maju.

Fenomena saat ini, perpindahan ilmuwan dan profesional, lebih pada terbukanya mobilitas SDM dalam berkarya yang bisa memberi manfaat lebih luas.Yaitu bagaimana pilihan brain drain yang cenderung merugikan  menjadi brain gain dan memberi nilai tambah bagi negeri yang ditinggalkan.  Perpindahan SDM yang memberi manfaat kepada kedua belah pihak melalui networking yang dilakukan (Dinn Wahyudin)