BULD DPD RI Bekerja sama dengan Program Studi Magister Pariwisata UPI Gelar Dialog Uji Publik Atas Draft Hasil Pemantauan dan Evaluasi DPD RI Terhadap Raperda dan Perda Terkait Pariwisata
Bandung, UPI
Sebanyak 34 orang peserta dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) dan 50 orang peserta dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) terlibat dalam dialog uji publik atas draft hasil pemantauan dan evaluasi DPD RI terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dan Peraturan Daerah (Perda) terkait pariwisata. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Ketua Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI Ir. Stefanus B.A.N Liow, M.AP., dan Wakil Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Sekolah Pascasarjana (SPs) UPI Dr. Eng. Agus Setiawan, M.Si., di Auditorium Sekolah Pascasarjana UPI Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229 Bandung, Jumat (13/9/2024).
Dalam pokok paparan yang disampaikan oleh Dr. A.H Galih Kusumah, MM., dari Universitas Pendidikan Indonesia terkait uji publik atas draft hasil pemantauan dan evaluasi DPD RI terhadap raperda dan perda terkait pariwisata terungkap bahwa berdasarkan analisis dari Aspek Yuridis tentang Kesesuaian Materi Muatan tentang hasil evaluasi, disimpulkan jika sinkronisasi tidak hanya diperlukan antara Aturan Pusat dan Daerah, tapi juga antara peraturan dan instansi dilevel yang sama. Sementara itu di dalam pembahasan tentang Disharmoni Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah ditemukan fakta bahwa kebijakannya bersifat Top-Down sehingga seringkali tidak sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat. Demikian pula dengan Kekosongan Kebijakan. Kekosongan Kebijakan perlu didorong untuk dibiasakan dipenuhi oleh kebijakan daerah.
Kemudian di dalam Analisis Aspek Substantif, bahwa paradigma pembangunan pariwisata daerah ke depan harus memperhatikan dua aspek strategis yakni Global Sustainable Tourism dan kerangka kelembagaan dalam pengembangan pariwisata.
Dijelaskan Dr. Galih Kusumah,”Maraknya Penerapan berbagai macam “Strandarisasi” untuk menciptakan Destinasi Pariwisata yang Kompetitif. Pada periode 2019-2023 Indonesia telah memiliki dua destinasi wisata dan 36 desa wisata yang tersertifikasi pariwisata berkelanjutan yang diakui secara global. Kebijakan “Lokal” tidak selamanya buruk atau tertinggal, perlu dicermati bagaimana cost and benefit dari tiap kebijakan, dan tidak dipukul rata bahwa kebijakan “internasional” selalu lebih baik.”
Sementara itu di dalam Pengelolaan dan Pembiayaan Pariwisata diperlukan Komitmen dalam Dukungan Pembiayaan dan Anggaran, ujarnya. Istilah “One Stop Tourism” perlu didefinisikan dengan lebih hati-hati.
“Kemudian terkait Dukungan Anggaran diperlukan Dana Alokasi Khusus (DAK), ada yang namanya DAK Fisik dan DAK Non-Fisik. Di dalam DAK Fisik, dikeluarkan berdasarkan usulan daerah, terjadinya keterlambatan biasanya diakibatkan oleh proses administrasi di daerah. DAK Fisik terbatas untuk pembangunan fisik tertentu dan sering terkendala di dalam proses pengadaan barang/jasa. Sementara itu untuk DAK Non-Fisik dipersepsi hanya dapat diakses setelah Daerah berhasil mendapatkan DAK Fisik,” ujarnya.
Di dalam Analisis Aspek Hubungan Pusat Daerah, lanjutnya, Rencana Induk harus disinkronisasi mulai dari level nasional hingga level daerah. Dokumen Rencana Induk (RIPARNAS, RIPKD, RIPPARDA) seringkali hanya menjadi dokumen kajian yang tidak pernah diimplementasilkan.
Dijelaskan Dr. Galih Kusumah bahwa usulan Implementasi Sistem Perizinan OSS-RBA memiliki beberapa kendala, yaitu OOS memudahkan pengusaha, tapi tidak kontrol dan verifikasi dari Pemda, kemudian tidak ada kejelasan mengenai Pajak dan Retribusi untuk daerah.
Terkait kendala Implementasi Kebijakan Pariwisata Nasional, diketahui bahwa Draft Kajian lebih berfokus kepada Evaluasi terkait koordinasi Top-Down Pemerintahan, dan tidak banyak membahas Koordinasi Horizontal; Adanya Kompetisi antar Institusi Pemerintah, mungkin terjadi adanya program yang mirip/identik antar dua institusi pemerintah yang berbeda, sehingga terkesan berkompetisi, khususnya dalam bidang kepariwisataan. Dalam draft kajian belum nampak evaluasi terhadap KPI yang sifatnya cenderung kuantitatif, dan mengabaikan aspek kualitatif. KPI berfokus pada Perkembangan Mass Tourism. KPI yang seringkali muncul yaitu tingkat kunjungan, lama kunjungan, dan tourist expenditue.
Dikatakan lebih lanjut,”Program Pengembangan Kapasitas SDM cenderung Artifisial. Fokus pelatihan umumnya pada ketercapaian kuantitatif, dan bukan kualitatif. Sementara itu Program Pengembangan dan Pelatihan untuk Institusi Pemerintah belum disentuh dalam draft kajian. Usulan Pengembangan Sistem Informasi Pariwisata perlu dicermati dan dipertimbangkan secara cermat. Usulan artisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata sebaiknya dilakukan secara proaktif, dan bukan pasif dan bersifat satu arah.” (dodiangga)
Related Posts
-
Ms. Yangsook Lee: ToT GCED untuk Menghadapi Tantangan Global
No Comments | Jun 9, 2023
-
Bahas Kerjasama Manajemen Publikasi Jurnal Internasional, Kantor Jurnal Publikasi UPI Tingkatkan Kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada
No Comments | Jun 5, 2024
-
Surga Bernama Sekolah Adalah Hak Bagi Setiap Siswa
No Comments | Oct 26, 2018
-
UPI Kampus Cibiru Sukses Gelar Seminar Internasional Filsafat Pendidikan
No Comments | Dec 30, 2016