Catatan Alumnus UPI dari Sabah

Tulisan pendek ini lebih merupakan catatan tercecer ketika saya melaksanakan tugas sebagai guru relawan yang bertugas di Community Learning Centre (CLC) Kinabalu Sabah Malaysia. Pada tahun 2013-2015, saya bertugas di CLC  Tomanggong distrik Kinabatangan, Sabah, Malaysia. Saya mengajar secara penuh pada  SMP kelas 7, 8, 9. Kemudian, pada tahun 2015-2017, saya ditugaskan sebagai guru kelas di CLC Hanim distrik Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Saya bertugas menjadi guru kelas di  SD kelas 1-6.

Selama  empat tahun bertugas di 2 CLC di negeri jiran tersebut, ada beberapa kesan yang mungkin penting untuk diketahui oleh rekan rekan mahasiswa dan para pengambil kebijakan pendidikan di Tanah air. Pertama, tidak banyak negara yang memiliki kasus anak usia sekolah, yang terkantung-katung nasib dan masa  depannya di negeri lain, karena ikut dengan orang tua sebagai TKI    di luar negeri. Kasus siswa di Sabah lebih merupakan fenomena kemanusiaan, yaitu perjuangan orangtua sebagai buruh perkebunan sawit yang membawa anak istrinya tinggal di pedalaman perkebunan sawit negeri orang. Namun banyak anak anaknya yang  terlantar karena terbatasnya fasilitas pendidikan yang terbuka bagi warga negara asing. Kasus di Sabah, belasan ribu  siswa , masih memerlukan sentuhan pendidikan yang memadai. Suatu jumlah yang fantastik, dan perlu uluran perhatian banyak pihak antar kedua negara.

Kedua, wajib belajar 9 tahun adalah amanat undang undang. Sesuai dengan regulasi, pemerintah RI perlu menjamin    pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun (wajardikdas 9 tahun) untuk semua generasi muda usia 7 sd 15 tahun untuk mengikuti pendidikan dasar. Mereka bukan hanya tersebar di desa kota seluruh pelosok  Tanah air, tapi juga siswa usia sekolah yang bermukim di luar negeri. Termasuk sejumlah  kasus anak  Indonesia, yaitu anak usia sekolah WNI yang bermukim  di perkebunan terpencil di negeri jiran Malaysia. Ini uniknya. Siswa kita di luar negeri, tetapi nasibnya tak sebaik dengan generasi muda di dalam negeri. Dan jumlahnya cukup banyak, lebih dari 30 ribu orang yang terpencar di berbagai titik pemukiman TKI  di perkebunan sawit negeri orang.

Ketiga, saya sangat mengapresiasi keseriusan Pemerintah RI melalui Kemdikbud dan Kemlu RI, dan LSM Nasional melakukan terobosan dan koordinasi dengan pihak Pemerintah Malaysia dan pihak pengusaha Perkebunan di Sabah. Yaitu mencari solusi guna memberikan kesempatan pada anak anak TKI di luar negeri agar memperoleh kesempatan belajar melalui layanan pendidikan model Community Learning Centre (CLC).  Awalnya CLC ini dirintis oleh KJRI Kota Kinabalu Kemenlu, Kemdikbud dan LSM Humana yang bekerjasama dengan Jabatan Pendidikan Negeri Sabah (JPNS) Sabah Malaysia. Idenya sangat mulia yaitu memberi kesempatan belajar anak TKI di luar negeri.

Keempat, sebagai salah seorang alumni UPI,  saya bersyukur menjadi bagian program Indonesia Mengajar dan lulus seleksi yang dilaksanakan Kemdikbud, untuk menjadi guru di Sabah. Banyak suka dan duka ketika menjadi guru  di Sabah Malaysia. Ilmu yang saya peroleh di kampus, walau saya memilih program S1 non dik, tetapi bisa bermanfaat sebagai bekal awal mengajar. Selama 4 tahun, saya berkesempatan   berdialog dan membimbing para siswa anak TKI ini. Mereka  tekun untuk terus belajar, di tengah keterbatasan fasilitas pendidikan dan fasilitas sanitasi lingkungan. Mereka secara formal tinggal di wilayah negara  lain, dengan regulasi formal merujuk pada Regulasi di Malaysia. Mereka banyak yang berasal dari  TKI illegal.  Mereka tinggal bersama orangtuanya di bedeng  atau pemukiman kumuh yang menjadi rumah tempat berteduh mereka selama bertahun tahun.

Kelima, hal lain yang cukup mengesankan, bagi saya yang tidak memiliki latar belakang sebagai pendidik memiliki tantangan tersendiri ketika harus berkecimpung dalam dunia pendidikan. Keterbatasan yang saya miliki tidak menjadi halangan bagi saya untuk tetap bersemangat mengajar. Jujur saja, saya mengalami bahwa menjadi guru dan ditempatkan di daerah perbatasan jauh dari mudah, banyak tantangan yang dihadapi. Namun demikian, saya bertemu dengan anak-anak hebat yang luar biasa. Hal ini menjadi energi dan semangat di tengah masalah dan keterbatasan fasilitas yang ada.

Program pemerintah ini sangat mulia, pemerataan pendidikan dasar 9 tahun sampai ke pelosok Sabah. Walaupun banyak hal selain pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia di Sabah, Malaysia ini. Contohnya, masih banyak anak-anak Indonesia yang terlahir tanpa dokumen yang sah (surat lahir), ini akan menjadi persoalan hukum pada masa depannya. Juga masih banyak kasus pernikahan anak usia dini (12 tahun), pernikahan siri antar sesama TKI sehingga berimbas kepada dokumen anak-anaknya di masa depan. Hal di atas menyeret terjadinya  kasus lain yaitu pemalsuan umur untuk kemudian dibuatkan passpor untuk bekerja. Hal ini dilakukan  karena tidak sedikit usia anak sekolah yang lebih memilih untuk bekerja, karena sekolah dianggap terlalu sulit dan membuang waktu.

Semoga di masa mendatang,  hal tersebut di atas, bisa lebih mendapat perhatian pemerintah. Hal lain yang membuat hati ini bersyukur dan rasa bangga yang mendalam,  ketika anak-anak murid saya bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Indonesia. Banyak mereka yang pulang kampung ke Indonesia, dan tidak sedikit dari mereka yang sekarang ini sudah lulus menjadi Sarjana dan siap berjuang untuk kehidupan yang lebih baik.

Keenam, menurut saya, masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) sebagai tenaga pendidik di pelosok perkebunan sawit di Sabah Malaysia. Semoga generasi pendidik selanjutnya dapat lebih baik dan dapat lebih banyak memulangkan anak-anak  TKI ke tanah air Indonesi dengan perolehan keterampilan dan pengetahuan yang lebih baik. Semoga

Salam hormat. Alumnus Prodi Manajemen FPEB UPI, menjadi Guru pada sekolah CLC Sabah Malaysia 2013- 2017 (Amanda Oktriana)