Endang, Pria Nomaden dari Cililin

Bandung, UPI  1

Terik matahari yang menyengat kulit, tak jadi halangan untuk meneruskan pekerjaannya membuat alat untuk kerangka bangunan dari kayu atau pun besi. Hanya sisa rasa lelah yang ada tergambar di raut wajah keriputnya, melangkah menuju warung di sudut kampus Universitas Pendidikan Indonesia.

Sepiring nasi, segelas air teh manis hangat, bak surga bagi buruh bangunan yang sederhana ini. Begitu lahap menghabiskan makan siangnya Endang Saptaji (50) lelaki paruh baya asal Cililin, yang ditemui di sela waktu istirahatnya bekerja sebagai buruh proyek PT Saluyu, Selasa  (2/12/14).

Sepak terjang angkuhnya roda kehidupan ini Endang lalui, tak hanya bekerja sebagai buruh bangunan yang telah dijalani dari tahun 1983, sampingan kerja sebagai supir Elf pun jadi pilihannya yang baru 20 tahun ini dilakoni untuk menyambung hidup.

“Trong…trang…., trong…trang…! teriakan besi terdengar sangat riuh di kawasan projek yang menandai telah dimulainya aktivitas pembangunan sekitar pukul 08.00 WIB, Badanya yang kecil berusaha mengumpulkan tenaga untuk menyusun kerangka besi sehingga tetesan keringat pun bercucuran membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Bekerja banting tulang seperti ini harus mampu Endang lakukan sampai pukul 22.00 WIB.

Endang diberi upah kotor sebesar Rp.50.000/hari dan dipotong untuk makan jadi upah bersihnya sebesar Rp 25.000/hari. Setelah 2 minggu bekerja, barulah diberi upah Rp 400.000 sehingga bisa pulang dan memberikan nafkah untuk anak dan istri. “Kalau lembur bisa dapat sampai Rp 700.000. Saya cuma tamatan SD ya inilah kerja yang bisa saya lakukan untuk keluarga,” kata Endang.

Setiap keluarga menginginkan untuk selalu bersama, beda halnya dengan keluarga Endang. Siap tidak siap, keluarganya harus rela untuk ditinggalkan. Pekerjaannya yang nomaden menuntut Endang untuk pergi ke beberapa kota seperti Aceh, Cibubur dan kota lainnya sehingga proyek itu selesai. Sangatlah berat, berbulan-bulan harus meninggalkan keluarga tercinta, rata-rata 3 bulan dan paling lama kerja selama 9 bulan waktu yang dihabiskan untuk bekerja baik itu di dalam kota atau pun luar kota.

Dari upah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Endang selalu berusaha untuk menyisihkan uang bagi pendidikan anak-anaknya. 3 anaknya yang kini masih menyenyam pendidikan di SMP dan SD membutuhkan biaya yang cukup banyak. “ Saya hanya bisa terus berusaha dan berdo’a, insya Allah rezeki itu akan datang dengan sendirinya. Keinginan saya tidak muluk-muluk, saya ingin melihat anak-anak bisa mengenyam pendidikan, sholeh dan bisa berbakti pada orang tua,” tutur Endang. (Thia Rahma Fauziah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)