Endang Yuli Purwati, Pengasuh Anak Terlantar

Bandung, UPI1

Guru yang menyayangi anak mungkin terdengar bdiasa. Namun pengajar yang memberi perhatian ekstra pada anak telantar, rasanya tidak terlalu banyak dijumpai. Itulah yang dilakukan Endang Yuli Purwati, perempuan berusia 50 tahun, guru yang rela menyisihkan sebagian waktu, tenaga dan materinya untuk mengurus anak-anak telantar dan bayi korban perkosaan.

Sehari-hari, wanita yang akrab disapa Yuli ini, bekerja sebagai guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 4 Bandung. Namun, begitu di sela-sela aktivitas mengajarnya, Yuli tetap mengurus bayi dan anak-anak terlantar di rumahnya. Dengan merawat anak terlantar, dia yang berasal dari keluarga miskin, yang kini memiliki rezeki berlebih, sebagai bentuk syukurnya, dia merawat anak-anak terlantar itu.

Yuli melakukan kegiatan sosial ini sejak tahun 1984. Hingga kini tak kurang dari 54 anak dia urus. Tahun 2001, ketika dia hendak melahirkan anak keempat. Saat itu, usianya menginjak 42 tahun, sebuah angka yang memiliki risiko tinggi untuk melahirkan anak. Ditambah lagi, saat itu dia berada dalam kondisi yang kurang baik, karena saat dia melahirkan anak ketiga, sempat kritis dan mengalami koma akibat serangan asma.

Selain itu, sebelum hamil anak keempat dia pernah jatuh, yang mengakibatkan tulang ekornya retak. Sebelumnya, dokter menyarankan kepada Yuli untuk menghindari kehamilan, karena akan membuat dia lumpuh. Tapi ternyata, Allah memiliki kehendak lain. Tiga tahun kemuddian dia hamil lagi.

Begitu tahu Yuli hamil, suami dan anak-anaknya panik. Apalagi anak keduanya. Katanya dia takut punya ibu tiri. Waktu itu, anaknya masih duduk di bangku SD. Dia melihat salah seorang temannya yang memiliki ibu tiri, menjadi tidak terurus dan sering dimarahi. Tapi kemudian Yuli mengumpulkan anak-anaknya di ruang tamu. Lalu dia bicara kepada anak-anaknya, bahwa mereka harus senang punya adik lagi. Dan kalau pun Ibu harus menghadap Allah. dan ayah mereka harus menikah lagi, maka pasti ibu itu adalah orang yang baik, karena ayah adalah orang yang baik.

Yuli menanamkan sikap ber-huznudzan atau berbaik sangka terhadap orang lain, pada buah hatinya. Sebenarnya, saat menjelaskan itu, dalam hatinya dia pun juga takut. Tapi ini harus dia sampaikan, karena dia ingin sikap berpikir positif sudah tertanam dalam benak buah hatinya sejak kecil. Sehingga, mereka akan terbdiasa berpikir, bahwa Allah sayang kepada mereka, dan Allah itu ternyata baik.

Di usia menjelang 43 tahun, kekhawatiran dalam dirinya akan risiko kehamilan semakin menjadi. Tapi ada keyakinan dalam dirinya, bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan Dia dan bayi dalam kandungannya. Karena itu, ketika hamil pun dia masih melakukan berbagai macam aktivitas seperti mengajar, mengajar les anak-anak, menyiapkan nilai, mengendarai mobil sendiri, bahkan berenang pun masih dia lakukan. Alhamdulillah, dia sangat bersyukur, selama 9 bulan kehamilan tidak ada kendala seperti yang dikhawatirkan banyak orang.

Menjelang kelahiran, dia pasrah dan menyerahkan segalanya pada Allah. Saat akan masuk ke ruang operasi, tiba-tiba semua hafalannya hilang. Dan hanya ada satu doa yang paling dia ingat waktu itu, “Rabbi adkhilni mudkhola sidqi, wa akhrijni mukhroja sidqi waja’alli milladunka sulthonan nashiira” Ya Allah ya Tuhanku, masukkanlah aku tempat masuk yang benar, dan keluarkan pula aku, tempat keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolongku. Berulang ulang dia membaca doa itu. Dan usai menjalani operasi, dia tidak merasakan sakit sama sekali. Dia dan suaminya pun heran, karena pada operasi sebelumnya, Yuli sempat tidak bisa tidur.

Maka lahirlah dengan selamat anak keempat dengan jenis kelamin perempuan. Dan dia diberi nama ‘Salsa’. Lengkap sudah kebahagiaannya, dengan dua orang anak laki-laki, dan dua orang anak perempuan. Ditambah lagi, kepala sekolah di tempat dia mengajar, memberikan dia kesempatan cuti selama 3 bulan. Padahal jatah cutinya sudah habis saat anak ketiga lahir. Kepala sekolah memberikan waktu untuk kembali memulihkan tenaga.

Tentu saja, dia merasa sangat bersyukur kepada Allah. Tapi saat itu dia bingung, dan bertanya dalam benaknya, apa bentuk rasa syukurnya? Hingga dia teringat surat di dalam Alquran yang berisi tentang rasa syukur, yang artinya “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri.”. Dan di dalam Alquran, Allah juga berfirman, barangsiapa yang bersyukur maka akan ditambah nikmatnya.

Sebagai wujud syukurnya, dia mengadakan akikah putri keempatmya. tapi setelah itu dia merasa masih ada yang kurang. Ketika banjir melanda Jakarta di tahun 2002, dia dan ibu-ibu majelis ta’lim mengumpulkan dana untuk membeli obat-obatan bagi korban banjir. Pada saat banjir itu, dia sering melihat di televisi, banyak anak yang terserang penyakit. Setelah melakukan aktivitas sosial itu, dia merasa masih ada yang kurang.

Pada saat nonton televisi itulah, dia seringkali melihat tayangan berita kriminal. Ada banyak berita tentang bayi dibuang, bayi ditemukan, atau bayi ditinggalkan orang tuanya. Semakin melihat jiwanya semakin tidak tenang. Di situlah terpikir dalam benaknya untuk mengasuh mereka. Akhirnya dia meminta izin kepada suaminya tentang keinginannya itu. Tapi ketika itu suaminya menggelengkan kepala. Sebenarnya bukan tidak boleh, tapi waktu itu kondisi Yuli tidak memungkinkan. Dia harus berkonsentrasi mengurus Salsa, karena dia juga amanah dari Allah SWT.

Suatu hari, Salsa jatuh dari tempat tidur. Yuli pun membawanya ke paraji untuk diurut. Pada saat mengurut Salsa, paraji memberi tahu bahwa ada anak yang ditinggalkan orang tuanya. Dia pun meminta izin pada suaminya untuk merawat anak itu, tapi suaminya tidak mengizinkan. Akhirnya, anak itu dirawat oleh teman ibunya.

Lalu dia mendapat informasi lagi dari poliklinik, ada bayi yang ditinggalkan oleh ibunya. Dia pun kembali meminta izin pada suaminya untuk merawat bayi itu, namun suaminya tetap tidak mengizinkan. Begitu terus sampai lima kali dia mendapat kabar tentang bayi yang ditelantarkan orang tuanya. Sesal memenuhi dadanya. Tapi justru hal ini membuatnya semakin bersemangat segera mengasuh bayi terlantar itu.

Suatu waktu Yuli bilang kepada suami yang sangat dia cintai, bahwa sudah lima anak yang ditolak untuk diasuh. Dia takut, jika nanti datang yang keenam dan ditolak juga, bisa jadi Allah nanti akan menghukum mereka. Suami Yuli yang bekerja menjadi seorang pembimbing jamaah haji, berangkat ke Tanah Suci. Ketika akan melakukan Thawaf Wada, suami mendapat taushiah dari ustadz bahwa Allah berada di tengah-tengah kaum dhuafa. Saat berputar mengelilingi Ka’bah suami Yuli pun berdoa, “Ya Allah kalau memang Engkau berada di tengah-tengah kaum dhuafa, dekatkanlah saya pada mereka.”. Pada hari di mana suami berdoa itu, saat itu juga Bu Endang pun mendapatkan bayi dari paraji.

Di situlah dia benar-benar merasakan, bahwa Allah telah mengatur segala sesuatu sesuai dengan waktunya. Saat pulang dari haji, suaminya menanyakan keadaan bayi yang dia beri nama Muhammad Azzam. Setelah digendong sebentar dan didoakan, suaminya memanggil ke kamar. Dia mengatakan ada syarat yang harus dia penuhi jika ingin mengasuh anak-anak ini.

Yang pertama tidak boleh mengeluh. Kedua, tidak boleh minta sumbangan dan yang ketiga, harus adil antara anak kandung dengan anak asuh. Dan dia pun mampu melewati semunya hingga kini, meski dia pernah berada dalam kondisi keuangan yang cukup mengkhawatirkan. Selama sekitar tiga tahun pertama merawat Azzam, gajinya hanya Rp 600.000 rupiah saja setelah dipotong utang. Dia pun harus bisa mengelola keuangan, untuk membeli susu anak-anak semuanya. Dia benar-benar merasakan bahwa keluhan itu tidak akan pernah memperbaiki masalah, yang ada hanya menambah beban saja.

Dalam dirinya dia selalu berkata, saya tidak boleh mengeluh, apa pun kondisinya. Dan Alhamdulillah, rezeki dari Allah berdatangan dari arah yang tak pernah dia duga, begitu banyak bantuan dari teman-temannya yang datang. Bahkan dia dipertemukan dengan sese-orang yang membuatkannya rumah dua lantai di sebuah perumahan, untuk tempat anak-anaknya berteduh. Subhanallah walhamdulillah, kata yang tak pernah lepas dia ucapkan atas rezeki kemudahan yang Allah berikan padanya dan suami.

Dan tidak ada di antara ciptaan-Nya yang sia-sia. Kalaupun suatu hari nanti mereka merasa disia-siakan, maka tugas kami adalah mengarahkannya, itulah ujar Yuli. Karena mereka dipertemukan dari rasa syukur, maka dia pun menanamkan nilai syukur dengan cara yang mereka pahami. (Gifary Nur Arizka, seperti dituturkan Endang Yuli Purwati kepada Purwanti dari Tarbawi di rumahnya di Kopo, Bandung.)