Event Pemutaran Film BISKOTA Vol 3 Diselenggarakan di Gedung Parkiran UPI
|Bandung, UPI
BISKOTA (Bioskop Kampoes Oetara) merupakan acara yang rutin dilaksanakan setiap semester oleh mahasiswa program studi Film dan Televisi Universitas Pendidikan Indonesia. Acara ini dilaksanakan untuk mewadahi dan mengapresiasi karya-karya film dari sineas Indonesia terutama FTV UPI agar dikenal oleh khalayak umum. Berbeda dengan acara BISKOTA sebelumnya yang diselenggarakan di auditorium lantai 4 gedung Fakultas Pendidikan Seni dan Desain UPI, BISKOTA vol. 3 kali ini diselenggarakan di lantai 6B Gedung Parkiran UPI pada tanggal 18 dan 19 Februari 2023 lalu.
BISKOTA vol. 3 menyajikan 11 film yang telah dikurasi secara ketat. Hari pertama terdapat lima judul film yang ditayangkan. Tiga film pertama di bawah ini adalah film perdana karya mahasiswa baru FTV UPI 2022, sedangkan dua film yang lainnya bertemakan kepercayaan. Film “Romansa di Bawah Jemuran” oleh Aditya Wiratama bercerita tentang seorang lelaki dan perempuan yang tinggal pada satu indekos dan bertemu pertama kali saat sedang menjemur. Film ini sangat ringan dan humoris. Untuk film pertama yang dibuat oleh film-maker baru, film ini merupakan permulaan yang baik. Namun segi sinematografi dan teknis lainnya mungkin dapat ditingkatkan pada film berikutnya. “K” adalah film penuh plot-twist yang bercerita tentang sepasang kekasih mencurigakan yang disutradarai oleh Mahda Dehvan. Film ini memiliki sinematorafi dan tata artistik yang baik. Pengolahan warna pada film ini juga patut diacungi jempol. Hal yang dapat dimaksimalkan pada film selanjutnya mungkin berada pada kemampuan sutradara untuk mengarahkan aktor. Apabila para aktor dapat menjalani perannya dengan lebih alami, maka kesan canggung pada dialog akan berkurang.
Alpin Dea’a Sakti menyutradarai “Cerita Fiksi” yang mengandung makna tentang hubungan adik-kakak dan ekspektasi ideal-realita kehidupan. Terkesan ringan dan humoris, film ini membawakan makna yang lebih dalam dari kelihatannya. Penyampaian pesan yang sukses ini adalah salah satu kelebihan film. Namun, segi sinematografi dan artistik adalah hal yang dapat ditingkatkan pada film selanjutnya. Film “Berdoa, Mulai” karya Tanzilal Azizi menawarkan akting yang realistis dan cerita mengenai kepercayaan yang sangat relatable pada masa ini sebagai kelebihannya. Film ini cukup ringan dan dapat dinikmati bagi umum. Sedangkan film “Bungkeleukan” yang disutradarai oleh Agung Jakarsih adalah contoh dari eksekusi sinematografi dan konsep cerita yang luar biasa. Pada kedua film ini penulis tidak menemukan kekurangan yang mencolok, namun tentu saja ruang untuk peningkatan mutu akan selalu ada.
Sedangkan di hari kedua ditayangkan 6 film dengan sutradara Rangga Rizki Pramukti membawa “Lika-Liku Warna” sebagai pembuka. Film yang membawa isu FOMO dan perilaku konsumtif ini didukung dengan eksekusi tata pencahayaan yang unik. Namun, set dan properti yang kurang bervariasi dapat menjadi catatan untuk karya selanjutnya. Film “80’s Party” karya Aji Surya menawarkan adegan musikal yang meriah dan latar waktu 80-an dalam kemasan thriller. Artistik pada film ini patut diacungi jempol, namun akting para pemain dapat dikembangkan lagi agar dialog tidak terdengar canggung. Lucky Jaelani menyutradarai film “Taruh Nyawa” yang membawakan perasaan pasien penyakit mental dan dampaknya pada keluarga dengan gaya sinematografi yang khas. Namun, latar belakang yang kurang berkesinambungan dengan cerita dan pace yang cepat adalah poin yang dapat diperbaiki. Ketiga film ini bertemakan horror culture.
“The Man Who Can’t Kiss the Ground” karya Jason Erza membawakan potret realitas manusia tidak sempurna yang dibalut dengan genre romansa dan didukung oleh sinematografi yang sangat baik. Belum lagi makna yang dalam dan semiotika-semiotika yang membuatnya lebih menarik. Patriarki yang ada dalam rumah tangga dari sudut pandang istri adalah potret realitas yang dimuat pada karya Bihar Jafarian yang berjudul “Maybe Someday Another Day but Not Today”. Film ini memiliki segi sinematografi, akting realistis dan artistic yang sangat memanjakan mata. Sesi pemutaran film ditutup dengan film dokumenter “Kiamat Sampah” yang disutradarai oleh Enggar Asifani yang memperkenalkan cara mudah untuk mengelola sampah pada skala rumah tangga, sebelum sesi diskusi dimulai.
Venue yang Unik
Melihat sejarahnya, pemutaran film BISKOTA memang biasa dilaksanakan pada waktu sore menuju malam sehingga pemutaran film bertemakan outdoor sangat memungkinkan untuk dilaksanakan. Dengan ini, para pengunjung dapat merasakan sensasi matahari terbenam dan udara segar Bandung Utara. Akan tetapi, tentu saja muncul pertanyaan tentang alasan BISKOTA vol. 3 dilaksanakan pada Gedung Parkiran UPI. Menurut panitia, dilaksanakannya BISKOTA vol. 3 di Gedung Parkiran UPI adalah panitia ingin menawarkan suasana baru pada para pengunjung mengingat gedung auditorium FPSD UPI yang menjadi venue sebelumnya terasa sesak dan panas mengingat kurangnya sirkulasi udara ataupun pendingin udara untuk mengakomodasi para pengunjung yang kira-kira berjumlah 200 orang.
Walaupun usaha panitia untuk mengakomodasi sirkulasi udara yang baik dan suasana yang baru patut diacungi jempol, kurangnya persiapan mengenai layout venue yang kemudian harus diubah pada hari kedua mempertimbangkan diskusi yang kurang kondusif sangat disayangkan. Selain itu, gedung parkiran UPI memiliki banyak pintu masuk yang dapat menjadi celah untuk menyusup ke acara tanpa mendaftarkan diri sebagai pengunjung. Masyarakat yang juga harus melewati lantai 6B, tempat acara berlangsung, untuk menuju rooftop UPI yang menjadi tempat favorit untuk nongkrong pada sore hari juga harus diatasi agar acara berjalan lancar dan aman. Namun sekali lagi, mengingat gedung parkiran ini memang bukanlah tempat yang ideal untuk ditata menjadi bioskop, usaha panitia dalam mengatasi masalah secara spontan serta memastikan acara berjalan lancar akan selalu mendapatkan apresiasi.
Gagasan menyelenggarakan acara penayangan film di gedung parkiran sangatlah kreatif, namun kreativitas biasanya timbul untuk mengatasi sesuatu yang belum tersedia. Dalam hal ini, belum tersedianya ruangan penayangan film agar mahasiswa dapat segera mengajak audiens yang lebih luas untuk mengapresiasi karya-karya film yang telah dibuatnya pada venue yang nyaman.
Ketua pelaksana BISKOTA 3.0, Rizky Ridho, berharap pihak kampus dapat membantu untuk menyediakan fasilitas yang mudah diakses. Sebab, kampus memiliki fasilitas yang cukup baik namun sulit diakses untuk mahasiswa. Ia juga berharap acara ini terus berlanjut dan menjadi budaya program studi Film dan Televisi agar mahasiswa dapat mengenalkan diri dan karya-karyanya dapat diapresiasi oleh khalayak umum. (Angel Lika Susanto)