Farhan: Cinta Sempurna untuk Anakku yang “Istimewa”

1-1“Jangan pedulikan omongan dan pandangan orang yang melihat anak saya berbeda. Anak saya memang tidak sempurna. Siapa sih manusia di dunia ini yang sempurna? Ia tidak sempurna, namun Ia adalah ‘istimewa’ yang saya punya,” tutur Farhan.

BEGITULAH sosok Muhammad Farhan, pria yang tak asing kita lihat hilir mudik menghiasi layar kaca sebagai pembawa acara atau pemandu talkshow. Bahkan, jika Anda pecinta radio, Anda akan akrab mendengarkan suara “renyah” dan wawasan yang luasnya pada jaringan radio Delta FM, baik di Jakarta, Bandung, Surabaya, Manado maupun Makasar.

Jangan heran, ketika menjelang hari Autisme setiap tanggal 2 April, ia “kebajiran” undangan sebagai narasumber dan banyak diwawancarai media massa. Itu karena, ia mempunyai anak “istimewa” autis bernama Rizky, yang kini berusia 16 tahun. Ia mengatakan bahwa pertama kali tahu anaknya autis adalah ketika sang buah hati berusia 18 bulan pada tahun 1999. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa autisme yang dialami anaknya disertai dengan hiperativitas.

“Siapa yang menginginkan anaknya terlahir dengan autistik? Dahulu, tak pernah terbersit sama sekali dalam pikiran,” tuturnya. Sempat ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya autis selama enam bulan. Perasaan marah, tidak bisa menerima, bahkan malu mengakui hal itu, adalah kondisi yang “memukulnya.”

Hal pertama yang menyesakkan dada adalah bagaimana ia dan istrinya sebagai orang tua bisa menerima keadaan bahwa si buah hati memiliki kebutuhan yang sangat berbeda. Hingga akhirnya, ia sadar bahwa tidak ada gunanya menyesali keadaan. Yang perlu ia lakukan adalah membantu tumbuh kembang Rizky agar bisa hidup lebih baik.

Farhan menerangkan, ada hal yang unik ketika ia pertama kali membawa Rizky terapi. “Cuma yang lucu yang pertama kali diterapi itu bukan anaknya tetapi orang tuanya. Kita sebagai orangtua mau nggak mau harus terapi selama enam bulan,” kenangnya. Orang tua harus mampu mengubah persepsinya mengenai pengasuhan anak.

Jika kebanyakan orang berpikir, anak boleh bermain sepuasnya sampai usia empat tahun kemudian masuk playgroup dan SD sampai sudah bisa cukup mandiri, maka hal itu tidak berlaku untuk anak autis. “Pengobatan autis memang tidak bisa dilakukan sepotong-potong, melainkan secara holistik, begitu juga dengan Rizky. Mulai dari perilaku, kognitif, juga sensori hingga terapi yang sudah diberikan,” imbuhnya.

Khusus dalam pendidikan kognitif, anak autis cenderung mengalami sedikit kesulitan. Farhan pun mengakui, putera sulungnya sulit memahami hal- hal yang bersifat abstrak dan penalaran. “Rizky lebih mudah memahami materi yang telah terstruktur dan pasti, seperti bahasa Inggris, sama seperti Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika,” terangnya.

Farhan menyampaikan bahwa anaknya memang perlu pendekatan berbeda dari anak kebanyakan. Jika selama ini, anak diberi pemahaman dulu lalu diminta menghafal. Maka, pada anak autis justru hafalan ditekankan dahulu baru diberi pemahaman. “Mereka butuh pengarahan yang sistematis,” tegasnya.

Menurut Farhan, memang terdapat beberapa perbedaan pada anak autis, terutama terlihat saat ia sedang berinteraksi. Kelainan fungsi bagian otak menyebabkan mereka bersikap hyperactive dan kurang empati dengan lingkungan. Seperti, kontak mata yang tidak bisa fokus, kurang peka memikirkan perasaan orang lain, gerakan tangan yang berlebihan, dan bicara yang terbata-bata.

Farhan mengaku memberikan pendidikan yang ekstra kepada anak pertamanya itu. “Saya harus mengeluarkan dua kali lipat tenaga dan pikiran saya,” cetusnya. Mulai dari pendidikan pengendalian diri, moral dan nilai yang harus diterapkan sehari-hari, sikap kepada orang lain saat berinteraksi hingga hidup mandiri serta bertahan hidup.1-2

“Rizky nantinya akan mempunyai kehidupannya sendiri, jadi dia harus bisa mandiri dan tidak bisa selamanya bergantung dengan orang lain,” ujar Farhan. Maka dari itu, ia tidak pernah menyerah dan berhenti memberikan anak “istimewa” nya latihan untuk hidup mandiri dan bersosialisasi dengan orang lain.

Farhan pun, kemudian aktif mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan anak autis. Ia bahkan, menabung selama enam tahun untuk bisa mendirikan rumah terapi anak autis. Selain itu, ia juga aktif memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai anak autis dan cara menanganinya. Melalui akun facebook, Au-tees Rizky, ia membagikan pengetahuan dan pengalamannya mendidik anak autis.

Baginya, anak autis juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama layaknya anak seusianya. “Saya berani mengakui bahwa anak saya autis kepada publik secara normal. Saya berharap, publik juga akan memperlakukan anak saya secara normal,” terangnya. Meskipun labeling di masyarakat masih tetap ada mengenai anak autis, tapi ia tak mau ambil pusing. Toh memang, tak ada yang sempurna di dunia ini.

Menutup perbincangannya, Farhan memberikan tips untuk orang tua yang dianugerahi anak autis seperti dirinya. Pertama, kesadaran dan pemikiran terbuka orang tua harus segera dimunculkan bahwa anak mereka mempunyai tumbuh kembang yang berbeda. Penerimaan ini, akan mendorong orang tua agar terus berusaha mengupayakan hal terbaik bagi anak.

Selanjutnya, mengonsultasikan atau mencari ahli yang enak diajak berdiskusi. Jangan menyerah, ketika menemui konsultan yang justru memberi labeling pada anak autis yang menyakitkan hati, teruslah mencari yang paling nyaman buat sharing dan memberi masukan membangun. Terakhir, memilih metode yang paling pas dan harus konsisten. Karena metode treatment bagi anak autis itu berjangka waktu panjang.

“Jika Anda cukup beruntung mempunyai anak yang ‘istimewa’, maka bukan menuntutnya untuk menjadi sempurna, tapi cintai ia dengan sempurna,” ujar Farhan. (Wine Anita Tesa/Nurul Nur Azizah/Anita Yuliana/Mahasiswa Ilmu Komunikasi FPIPS UPI)