Gaji Guru Honorer Masih Sangat Memprihatinkan

NET
NET

Bandung, UPI

Pagi itu, di dataran atas Punclut, Bandung, seorang pria yang berperawakan tinggi sekitar 175cm dengan berat proposional menyempatkan waktunya untuk diwawancarai. Di tengah kesibukannya mengajar, di minggu pagi yang tenang, pria yang dipanggil Abi oleh keluarganya ini selalu menyempatkan diri kumpul bersama istri dan anak-anaknya.

Hikmat Danaatmaja, pria berusia 46 tahun ini adalah seorang guru honorer bahasa Inggris di SDN Ciumbuleuit 4 dan SMP Al-mukarramah. Ia menjadi pengajar tanpa status pegawai negeri selama 23 tahun. Namun tak ada keluh kesah di benaknya. “Menjadi guru itu asyik, karena kita bisa mengajarkan dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang malas menjadi rajin, bahkan ketika ada anak yang bermasalah, guru membantu sebisanya sehingga anak itu kembali ceria,” tuturnya ketika ditanya mengapa bertahan sejauh ini menjadi pendidik.

Menjadi guru, terlebih dengan status honorer bukan perkara mudah. Bukan hanya faktor ekonomi yang menghadang, faktor jaminan sosial seperti asuransi kesehatan ataupun beberapa tunjangan nihil dalam penglihatan. Dengan gaji minim perbulan, tak menjadi penghalang bagi Hikmat untuk tetap mengajar. Terlebih kini mengajar bukan hanya menjadi passion-nya, tetapi telah berubah menjadi kewajibannya menjadi tulang punggung keluarga.

Untuk mencukupi ekonomi keluarga serta biaya pendidikan anak, selain mengajar di sekolah, Hikmat juga bekerja paruh waktu menjadi pengajar les, pengajar privat dan penerjemah. Uang yang didapat dari pekerjaan sambilannya itulah yang mampu menutupi rendahnya upah guru honorer.

“Kalau ngandelin dari gaji mengajar di sekolah sih gak akan nutupin keperluan sehari-hari. Alhamdulillahnya ada beberapa penghasilan dari luar. Dan untungnya untuk pendidikan, terbantu dengan BOS dan Beasiswa Bidik Misi,” ucapnya sambil tersenyum memandang keempat putranya.

Di rumahnya, Hikmat bersama istrinya, Yanti,  juga mendirikan PAUD. Namun lembaga pendidikan informal ini bersifat non-benefit. Mungkin hanya ada beberapa rupiah yang masuk kedalam kotak amal. “Untuk kebutuhan makan sehari hari, biasanya kita ambil dari kencleng itu,” sahut Yanti, sambil menggendong Fadhl, putra bungsu di keluarga ini yang masih berumur delapan bulan.

Sepak terjangnya di dunia pendidikan terbilang sangat banyak. Ia pernah menjadi pengajar dari TK, SD, SMP, SMA, SMK hingga sempat pula mengajar di STSI Bandung. Dari mulai mengajar bahasa inggris, bahasa arab hingga kini menjadi pengajar Agama Islam.

Mengajar menjadi guru honorer selama hampir seperempat abad, tidak hanya menyiratkan beban di hidupnya. Hikmat mengaku sangat senang selama menjalani profesinya. Dia sangat mendalami karirnya ini hingga berkesempatan mendapat beasiswa penuh menjadi mahasiswa S2 Agama Islam di Universitas Paramadina, Jakarta. Antusiasmenya dalam bidang pendidikan membuat jarak Jakarta-Bandung tidak menjadi masalah. Begitupun dengan rasa letih dan beban ongkos yang dipikulnya. Hingga kini, dua tahun telah dilaluinya sebagai mahasiswa pascasarjana dengan baik.

Guru honorer di Indonesia, kian terpinggirkan. Gajinya yang bahkan di bawah buruh pabrik menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Pemerintah sebenarnya telah menjanjikan penghasilan yang layak untuk mereka. Namun pada kenyataannya, penghasilan resmi yang diberikan pemerintah melalui tunjangan fungsional guru tidak tetap (GTT) antara Rp 250.000 hingga Rp 300.000 per bulan. Bahkan, di beberapa daerah hanya memperoleh penghasilan Rp175.000/bulan. Sedangkan fakta menyebutkan beban guru honorer sama dengan guru yang telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka sama-sama mengajar, tugas dan tanggung jawabnya kepada peserta didik sama. Yang berbeda, hanyalah status kepegawaian dan hak yang dimiliki sebagai guru.

Persoalan guru honorer sebenarnya akan terselesaikan jika mereka diangkat menjadi PNS. Sayangnya mengangkat pegawai baru terkait dengan penyediaan anggaran dan hak lain yang melekat pada seorang PNS. Untungnya, Hikmat, direkomendasikan oleh tempatnya bekerja untuk menjadi PNS pada tahun depan. Melihat pengalamannya yang banyak dan pendidikannya yang sudah sangat layak untuk menjadi seorang guru dengan status pegawai negeri.

Kebijaksanaan Hikmat dalam memimpin keluarga sangat mempengaruhi kondisi psikologis para anggota keluarganya. Di tengah kesibukannya mengajar, dia selalu menyempatkan diri memberikan nasihat pada anak-anak dan istrinya. Yanti mengaku sangat bahagia dalam kesederhanaan yang dimilikinya. Menurutnya, dia tak pernah merasa kekurangan dalam hal apapun, karena selalu saja ada jalan pada setiap persoalan dalam keluarganya. (Haidar Abdurrohman, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FPIPS UPI)